HARI POPULASI SEDUNIA: SALAH URUS DI DARAT, BERBUNTUT NEGATIF DI LAUT (PART #2)

Pada artikel sebelumnya, KORAL membahas mengenai faktor-faktor penyebab penurunan muka tanah. Merangkum artikel kemarin, ada beberapa penyebab penurunan muka tanah yaitu mulai dari tingginya eksploitasi air tanah, bukaan tanah akibat tambang, konsolidasi tanah, dan berat beban bangunan di atas permukaan tanah yang berlebihan. 

Tidak bisa dipungkiri, hasil penelitian dan observasi para pakar menyimpulkan bahwa kegiatan penduduk di darat dan di laut, berpengaruh akan penurunan muka tanah, semakin tingginya permukaan air laut, dan makin rusaknya laut kita. 

Maka dari itu perlu solusi untuk menghentikan laju penurunan muka tanah maupun limbah sampah manusia di laut. Berikut ulasannya!

Bukan Takdir Tanpa Akhir, Mulai dengan Manajemen Air

Dalam menghentikan atau mengurangi laju penurunan muka air tanah, ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti peraturan sentral yang melingkupi seluruh daerah di Indonesia mengenai pembatasan pengambilan air tanah dan pengenaan pajak melalui manajemen air. 

Ini berarti, Pemerintah harus membuat sebuah ekosistem manajemen air yang mumpuni dan tentunya tidak sedikit hal yang harus dilakukan. Meniru dari Jepang, pembangunan tanggul dan pembatasan jumlah air tanah untuk industri sudah dilakukan sejak tahun 1950an. Sebagai gantinya, sumber air diambil dari sungai, tadahan air hujan, dan teknologi daur ulang air. 

Sama halnya dengan di Dubai, Uni Arab Emirates. Di UAE, tidak ada sungai atau perairan besar selain oase. Oleh karena itu, Arab Saudi dapat memenuhi kebutuhan air penduduknya dengan menggunakan oase dan proses desalinasi, yang berarti menghilangkan garam dari sumber air asin.

Selain itu, menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto, ada tiga hal yang dapat dilakukan Pemerintah untuk mencegah dampak negatif dari eksploitasi air tanah (Liputan6, 2023), yaitu:

  1. Melindungi daerah imbuhan air tanah.
  2. Mengendalikan pengambilan air tanah di daerah lepasan (groundwater discharge area). Di sisi lain, perlu ada efisiensi super ketat dalam penggunaan air untuk kebutuhan pokok.
  3. Mengelola kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara terpadu.
  4. Melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya mengelola air tanah.

Penambahan Lahan dengan Reklamasi? Nanti Dulu!

Ketika berbicara mengenai ledakan penduduk dan imbasnya pada eksploitasi air tanah hingga penurunan muka tanah, penambahan luas wilayah huni dengan pulau buatan atau reklamasi rasanya menjadi solusi praktis, namun bukanlah jawaban yang tepat. Reklamasi justru hanya mengubah masalah lama di satu tempat menjadi masalah baru di tempat lain. 

Misalnya saja belajar dari kasus Pulau Reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Jumlah pasir laut diperlukan untuk program reklamasi mencapai 330 juta meter per kubik. Nelayan di Banten memberikan kesaksian dampak pasir laut untuk keperluan reklamasi di Jakarta Utara diambil dari Banten, maka terjadi abrasi yang cukup besar di Serang Utara. “Ada 750 hektar lahan Bandeng masyarakat di pesisir terdampak abrasi akibat pengambilan pasir untuk pulau reklamasi,” jelasnya (Republika, 2017). 

Pemindahan pasir laut yang berlebihan ke tempat lain jelas sangat merugikan karena dapat merusak ekosistem di dalam laut, seperti terumbu karang dan spesies ikan langka lainnya. Hal ini tentunya akan berakibat fatal bagi ekosistem laut karena berpengaruh pada rantai makanan dan lingkaran kehidupan ekosistem laut. 

Pulau hasil reklamasi juga menjadi hasil uji-coba ekologis yang justru merugikan. Dalam membuat pulau artifisial ini, tidak jarang dilakukan pembabatan habitat alami dengan tujuan dijadikan reklamasi. Misalnya seperti di pulau reklamasi Palm Jebel Ali, di Uni Emirat Arab. Lebih dari 8 km² habitat terumbu alami hancur selama pembangunannya. Proyek-proyek ini juga mencegah aliran air normal dari laut yang memiliki konsekuensi serius bagi kehidupan laut karena berpengaruh akan kedalaman, tingkat salinitas, dan juga arus alami.

Banyak yang Perlu Dibenahi

Maka dari itu, untuk menghentikan ini semua, banyak hal yang dapat kita lakukan. Sebagai warga masyarakat biasa, tentunya kita bisa mulai berbenah mindset dengan hidup lebih ramah lingkungan. Sudah banyak tips dan trik cara hidup lebih ramah lingkungan yang dapat kita jalani. Rasanya perlu dilatih  juga untuk hidup lebih “conscious” atau sadar dalam memutuskan banyak hal. Kita juga harus mendukung program maupun regulasi yang berdampak positif bagi lingkungan, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih efisien dan bijaksana untuk mendukung kebijakan manajemen air tanah, meminimalisir atau bahkan menghilangkan pemakaian plastik dan styrofoam, pembalut sekali pakai, hingga memberikan perhatian lebih dalam agenda pembangunan maupun regulasi yang berdampak pada lingkungan.

Berkaca pada petikan “Power to the people, stick it to the man” dari dialog di film “Captain Fantastic”, KORAL mengajak masyarakat untuk bisa lebih kritis dalam memandang regulasi/kebijakan, program, maupun proyek-proyek yang berdampak buruk bagi lingkungan jebolan Pemerintah atau milik Perusahaan swasta. Tidak selalu dengan melakukan unjuk rasa yang anarkis, kritik dapat dilakukan dengan berbagai cara damai dan cerdas. Namun yang jelas, kita harus berhenti bersikap apatis dalam menjaga Bumi dimulai dari negara sendiri. Ketika Bumi satu-satunya rusak, yang dirugikan dan terancam bukan hanya pengusaha atau pejabat saja, tapi semua mahluk hidup akan terkena dampaknya.

Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga harus membenahi regulasi/kebijakan dan program maupun proyek yang berdampak buruk bagi laut. Hal ini kendati masih banyaknya PR Pemerintah untuk memastikan laut bebas dari dampak negatif yang berasal dari darat. Maka tidak perlu semakin menyiksa laut dengan regulasi dan program yang merugikan laut secara langsung.

Rasanya tidak perlu KORAL ulang berkali-kali, regulasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, Penangkapan Ikan Terukur (PIT), harus segera direfleksikan kembali dan diberhentikan hingga Pemerintah mampu menjamin keberlanjutan perikanan dan kesembuhan ekologis. Selain itu, KKP dan Kementerian lainnya juga harus segera menghentikan aktivitas kegiatan pertambangan (ilegal) di darat maupun di laut. Buktinya sudah terlalu banyak dan akan terlihat sangat konyol bagi Pemerintah untuk mengabaikan bukti-bukti tersebut dan sementara hanya diam saja.

Lalu KORAL ingin mengajak juga Pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk lebih ‘amanah dan tawakal’. Jangan karena memegang titel kekuasaan, Pemerintah seolah-olah jumawa dan merasa paling berkuasa dan ‘si paling kerja keras’. Jangan lupa, bahwa Pemerintah bekerja untuk rakyat. Pengusaha yang ingin ‘berkontribusi’ bagi program-program jebolan Pemerintah juga tidak melulu demi kebaikan lingkungan. Pastinya ada keuntungan yang mereka incar. Jangan hanya demi kepentingan itu, Pemerintah kemudian melegalkan segala cara untuk menggadaikan laut dan lingkungan kita. Jujurlah pada diri sendiri, bahwa pundi-pundi uang tidak selalu dapat membereskan masalah. Laut yang sudah kepalang sekarat belum tentu bisa diselamatkan dengan pemasukan negara bukan pajak (PNBP) hasil tarikan KKP. Jika laut sekarat dan rusak, yang rugi bukan hanya KKP saja tapi seluruh masyarakat Indonesia akan merugi dan terancam! 

***