Baru-baru ini, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, menyebutkan bahwa laut Indonesia yang seluas 6,4 juta kilometer persegi dan berada di posisi geostrategis sangat menguntungkan. Dilihat dari sisi nilai dan peluang ekonomi, jika sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia dikelola dengan baik, keberadaannya dapat menyumbang lebih dari 7% dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Maka dari itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) optimis meluncurkan program Ekonomi Biru dengan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang dilengkapi oleh skema zonasi dengan izin khusus. Hal ini tentunya disambut baik oleh Kemenkomaritim, mengingat salah satu goal bagi sektor kelautan dan perikanan adalah meningkatkan daya ekonomi dan investasi di bidang perikanan. Menteri Luhut Binsar Panjaitan pun berharap regulasi tersebut dan turunannya secara simultan dapat meningkatkan produktivitas perikanan nasional, melindungi investasi nasional, kesejahteraan nelayan, dan mempercepat target Indonesia menjadi pemain perikanan global yaitu lima besar negara ekspor dunia.
Ekonomi Biru dan PIT Meningkatkan Resiko Eksploitasi Laut
Ekonomi Biru sejatinya berangkat dari keinginan yang mulia; yaitu untuk memberdayakan laut tanpa mengenyampingkan sisi konservasi. Tapi di lain sisi, beberapa kebijakan dan program yang ditempelkan mengancam kesehatan laut menunggangi penyelamatan laut.
Misalnya saja penangkapan ikan terukur ini. KORAL melihat kebijakan ini memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun. Padahal dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.19/2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menunjukkan fakta bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di sebagian besar WPPNRI telah menunjukkan status eksploitasi penuh (fully exploited) dan eksploitasi berlebih (over exploited). Kepmen KP itu semestinya menjadi patokan dalam penyusunan kebijakan perikanan tangkap agar lebih berkelanjutan. Hal ini tentu membuka kesempatan eksploitasi laut yang lebih besar dan masif.
Tentunya resiko eksploitasi laut merupakan gerbang bagi dampak lanjutan yang sebenarnya sudah dirasakan Nelayan kita yaitu perubahan iklim. Bak lingkaran setan, segala jenis kebijakan dan program yang beresiko eksploitasi dan destruktif juga akan mempercepat laju perubahan iklim. Kekhawatiran yang sama disampaikan oleh Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, yang merupakan bagian dari Koalisi KORAL, melihat adanya maladaptasi krisis iklim dari kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang digulirkan oleh KKP dan akan memperparah dampak krisis iklim yang selama ini dialami oleh nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional di Indonesia. Bukan hanya sumber daya alam dan lingkungan yang terancam makin “sakit”, perubahan iklim juga membahayakan nyawa nelayan tradisional yang melaut dengan peralatan seadanya, tapi harus menerjang ombak tinggi dan iklim yang tak pasti.
Fungsi Pengawasan dan Keamanan = Syarat Mendasar Penyelenggaraan Perikanan Tangkap
Pada 28 September, KKP telah melakukan soft launching Integrated Maritime Intelligent Platform (IMIP) di Gedung Mina Bahari I, Jakarta Pusat. Peluncuran itu menjadi langkah besar KKP dalam mengimplementasikan lima Program Ekonomi Biru yang sudah digagas untuk menjaga kesehatan ekologi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir dan secara nasional.
Integrated Maritime Intelligent Platform yang berfungsi sebagai pusat komando (command center) dan pusat data terintegrasi untuk merespons kejadian di laut ini akan dijadikan rujukan pengambilan kebijakan dan keputusan dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia serta fokus pada kebijakan penangkapan ikan secara terukur dengan melakukan pemantauan aktivitas perikanan di perairan Indonesia dan mendeteksi setiap potensi pelanggaran secara real time dan kontinu menggunakan data satelit. Dilansir dari Indonesia.go.id sisi ekonomi, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan, aktivitas ilegal di perairan Indonesia seperti pencurian ikan juga menurunkan tingkat kepercayaan pasar perikanan global dan minat investasi kelautan perikanan. Selain itu, akan berpengaruh terhadap pencapaian ekonomi biru.
Fungsi pengawasan dan keamanan yang diimplementasikan dengan peluncuran IMIP ini bukan hal yang buruk. Namun perlu diingat, ada tidaknya program Ekonomi Biru beserta seluruh kebijakan dan program turunannya, sudah menjadi tugas KKP untuk melakukan fungsi pengawasan dan keamanan di wilayah perairan Indonesia, khususnya terkait sektor perikanan dengan maksimal. Jika kemudian adanya fasilitas penunjang kemanan dan pengawasan baru dimaksimalisasi ketika ada program nasional yang ditujukan untuk menarik investasi asing, maka hal ini menimbulkan tanda tanya. Kemana saja KKP dalam upaya memaksimalkan keamanan dan pengawasan laut Indonesia sebelum Ekonomi Biru? Toh tindak kriminal IUUF sudah ada dari dekade ke dekade dan bahkan hingga kepemimpinan Menteri KP yang sekarang pun masih ada.
Mida Saragih, selaku Sekretaris Koalisi KORAL mengatakan ada atau tidak adanya kebijakan kebijakan penangkapan ikan terukur, fungsi pengawasan dan monitoring ini harus diselenggarakan oleh KKP. Selanjutnya perlu mendorong dan menjalankan langkah nyata untuk WPP dengan tingkat pemanfaatan ikan over exploited. Pada kawasan dengan status stok ikan krisis, KKP sudah saatnya mendorong kebijakan moratorium, mengurangi trip penangkapan dan melarang alat tangkap merusak.
Bukan Karena Buka Lapak Investasi, Laut Sehat dan Aman Sudah Wajib Jadi Prioritas
Sejauh ini, adanya program peningkatan keamanan dan pengawasan hingga upaya konservasi tidak berada jauh dari narasi PIT dan Ekonomi Biru. Bak promosi ala developer perumahan, seolah-olah semua sarana dan prasarana itu diadakan demi menarik minat investor dunia untuk mau menanamkan modal di perikanan Indonesia dan bukan sebaliknya, untuk kesejahteraan dan keamanan nelayan lokal yang selama ini menjaga dan menggantungkan hidupnya di laut. Padahal, setidaknya masih ada jutaan nelayan lokal Indonesia yang memerlukan dukungan nyata dan diprioritaskan Pemerintah.
Laut yang sehat dan aman harusnya ditujukan terutama untuk kemudahan dan keuntungan rakyat. Diharapkan keberadaan IMIP dan fasilitas penunjang industri perikanan lokal kedepannya bukan semata-mata ada karena adanya kepentingan untuk menarik minat investasi kelautan perikanan semata, tetapi terlebih untuk keberlanjutan laut yang sehat dan kesejahteraan dan napas lega bagi nelayan lokal Indonesia.
******