PEREMPUAN NELAYAN DI PESISIR INDONESIA MASIH TERPINGGIRKAN

Perempuan pesisir bukan hanya sekadar istri dari nelayan ataupun pembudidaya. Mereka memiliki sejumlah kontribusi dalam meningkatkan taraf ekonomi dan kesejahteraan keluarga dan komunitasnya dan salah satunya adalah dengan menjadi perempuan nelayan. Pekerjaan yang dilakoni oleh perempuan pesisir ini mungkin masih asing terdengar karena stigma nelayan yang lekat dengan figur laki-laki. Namun nyatanya, perempuan nelayan sudah eksis sejak jaman dahulu. 

Menurut data yang dilansir oleh Lembaga Serikat Nelayan dan Masyarakat Pesisir, sebanyak 42% pekerja di sektor perikanan adalah perempuan. Ada beberapa cerita nyata mengenai kontribusi perempuan nelayan di pesisir, misalnya Perempuan nelayan di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan membantu suaminya dalam mengolah dan menjual hasil tangkapan ikan untuk membantu perekonomian keluarga. Lalu juga ada perempuan nelayan di Papua dan pesisir Sumatera yang memanen kepiting bakau dan kerang di hutan-hutan bakau sekitar daerahnya, perempuan di Maluku dan Maluku Utara yang berprofesi sebagai perempuan nelayan dan membuat ikan kayu dan ikan asap dari hasil tangkapan ikan tongkol dan cakalang, perempuan nelayan pembudidaya rumput laut di Sulawesi, dan masih banyak lagi.

Para perempuan nelayan ini terlibat erat dalam proses persiapan pelayaran, penangkapan, pengolahan dan produksi, hingga ke pasca produksi atau penjualan. Sementara dari catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dari sejak pra produksi, produksi, hingga pasca produksi yang jam kerjanya melebihi 17 jam dalam sehari.

 

 Bukan hanya berperan aktif dalam kegiatan perikanan, perempuan pesisir juga masih mengemban tugas sebagai ibu rumah tangga selaku istri, ibu, dan “menteri keuangan” rumah tangganya. Peran mereka di komunitas pun tidak kalah penting. Tidak sedikit komunitas perempuan nelayan yang menginisiasi begitu banyak program untuk peningkatan pemasukan dan kesejahteraan seperti koperasi, industri pengolahan produk hasil perikanan, hingga masih banyak lagi.

Selain itu, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling menderita secara berganda, khususnya akibat proyek reklamasi di 42 wilayah di Indonesia dan proyek tambang pesisir di 26 wilayah di Indonesia. Sebanyak 79.348 keluarga nelayan terdampak akibat proyek reklamasi serta lebih dari 35.000 keluarga nelayan, terdampak proyek tambang pesisir dan pulau-pulau kecil (KIARA, 2022). Belum lagi mereka jugalah yang harus putar otak ketika para suami pulang dengan tangan kosong akibat menurunnya hasil tangkapan. 

Seperti kasus yang terjadi di Kodingareng, Sulawesi Selatan misalnya. Saat itu para suami harus belayar lebih jauh ataupun beralih profesi ke kota lain akibat dampak dari penambangan pasir PT. Boskalis yang membuat hasil tangkapan mereka berkurang jauh karena abrasi. Alhasil, perempuan nelayan lah yang saling bahu membahu mengaktifkan komunitas Organisasi Perempuan Kodingareng. Mereka mencoba menyiasati kurangnya pendapatan suami mereka dengan jualan dan mengelola hasil laut berupa produk abon dan ikan kering, meskipun belum berjalan optimal. Mereka juga berusaha mengorganisir diri agar tetap solid dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan.

Peran yang begitu banyak dengan kontribusi yang besar, tidak menjadikan perempuan nelayan memiliki hak yang sama. Lazimnya sistem patriarki yang mengakar hingga ke regulasi, menjadikan pencantuman status profesi perempuan nelayan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) hampir mustahil ditemukan. Hal ini dikarenakan didalam Undang-Undang No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak, perempuan nelayan masih dianggap sebagai bagian dari rumah tangga nelayan. Padahal dengan dicantumkannya status profesi sebagai nelayan, perempuan nelayan dapat menerima kartu asuransi nelayan dan ikut masuk sebagai penerima program KUSUKA dan bantuan negara lainnya termasuk jaminan sosial untuk nelayan.

Kontribusi perempuan nelayan pada roda ekonomi dan sosial di pesisir wajib diapresiasi dan diakui negara. Pengakuan perempuan nelayan yang masih belum dianggap penting oleh Pemerintah ditakutkan akan makin teralienasi dengan sejumlah regulasi dan kebijakan baru terutama terkait privatisasi laut melalui program Penangkapan Ikan Terukur dengan skema zonasi. Dengan diakuinya profesi perempuan nelayan, mereka bukan hanya kredibel untuk program dan bantuan negara, tetapi juga mendapatkan pengakuan dalam ragam profesi masyarakat wadah untuk mengembangkan diri melalui pelatihan dan fasilitas.

 

*****