MENDORONG KOLABORASI UNTUK KEADILAN DAN PELESTARIAN LAUT: PERSPEKTIF KRITIS DARI DISKUSI IOJI

Prof. Emil Salim beserta masyarakat pesisir terdampak perubahan iklim dan para penanggap Ocean-Climate Open Forum di @america, Jakarta Selatan pada 7 Juni 2024. (Muhammad Salachudin/IOJI)

Diskusi yang diadakan IOJI bersama Kumparan dan @america   bukan hanya sekedar sebuah forum, melainkan bagian dari perjuangan besar untuk mencapai keadilan dan pelestarian laut. Melalui kolaborasi dengan berbagai pihak dan mendengarkan suara masyarakat pesisir, IOJI berupaya mengadvokasi kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Tantangan masih banyak, tetapi harapan tetap ada bahwa dengan kesadaran dan tindakan kolektif, perubahan nyata dapat dicapai untuk melindungi laut dan komunitas yang bergantung padanya.

Menghadapi Tantangan dengan Perspektif Sosial

Dalam diskusi bertajuk “Ocean-Climate Open Forum”, Prof. Emil Salim menekankan pentingnya Indonesia, sebagai negara kepulauan, untuk mempertimbangkan fungsi ekosistem dalam pembangunan. Emil menyoroti bahwa pendekatan sosial harus berbeda di setiap wilayah mengingat keberagaman adat istiadat dan kondisi ekosistem yang unik. Menurut Emil, pembangunan yang tidak memperhatikan kualitas sumber daya manusia akan sulit meningkatkan resiliensi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim.

Suara dari Komunitas Pesisir

Diskusi ini juga menjadi wadah bagi perwakilan masyarakat pesisir untuk berbagi pengalaman. Yudi Amsoni, nelayan dari Belitung Timur, mengeluhkan kerusakan mangrove akibat pertambangan ilegal yang mengancam kehidupan dan ekosistem. Sementara itu, Asmania dari Pulau Pari berbicara tentang masalah sampah dari Jakarta yang mencemari laut dan mengurangi hasil tangkapan mereka. Ia juga menyoroti diskriminasi yang dialami nelayan perempuan yang belum diakui sesuai mata pencahariannya.

Muhamad Kafandi dari Pemalang berbicara tentang bagaimana perubahan iklim memicu cuaca ekstrem yang memperburuk kemiskinan dan memaksa banyak nelayan beralih menjadi awak kapal perikanan migran, yang sering kali menjadi korban perdagangan orang. Sementara itu, Hendri dari Natuna mengeluhkan kuota tangkap ikan yang terus dibatasi bagi nelayan kecil sementara nelayan industri besar terus mengeruk keuntungan.

Tantangan dan Harapan

Stephanie Juwana dari IOJI menegaskan bahwa kebijakan pemerintah sering kali tidak berpihak pada keberlanjutan ekosistem kelautan. Susan Herawati dari KIARA menyoroti kontribusi manusia terhadap perubahan iklim melalui pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan. Ia juga mempertanyakan apakah pemerintah mau mendengar dan bertindak terhadap keluhan nelayan kecil yang seringkali terabaikan.

Bobi Anwar Ma’arif dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkapkan pelanggaran hak-hak awak kapal perikanan migran yang sering kali diperintah untuk menangkap ikan dan mamalia laut yang dilindungi. Kondisi ini menunjukkan korelasi antara kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM.

Peran Negara dalam Perlindungan dan Kesejahteraan

Gridanya Mega Laidha dari IOJI menegaskan bahwa ketidakadilan membuat masyarakat lebih rentan secara ekonomi, mudah dieksploitasi, dan mudah dipecah belah. Ia menekankan pentingnya negara hadir untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat pesisir yang kerap dikriminalisasi, mengalami pelanggaran HAM  dan bahkan terusir dari daerah mereka sendiri.

Acara ini ditutup oleh Mas Achmad Santosa, CEO IOJI, yang mengingatkan pentingnya menerapkan Pasal 28(h), Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menekankan pembangunan ekonomi harus berdasarkan prinsip berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan berkeadilan. Prinsip-prinsip ini jarang dibahas politisi dan akademisi, padahal memiliki potensi besar untuk mengubah arah kebijakan pembangunan kelautan Indonesia.

***

Sumber Utama :  IOJI