RUU MASYARAKAT ADAT: KEBERADAAN MEREKA PENTING, STATUS PENGAKUANNYA GENTING

Masyarakat Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut, menarik sami bersama untuk mengumpulkan ikan dalam acara manam’mi pada Sabtu (21/5/2016). Manam’mi merupakan acara menangkap ikan secara tradisional. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

Indonesia, sebuah negara merdeka yang telah berdiri lebih dari setengah abad ini, mempunyai masa lalu yang bukan hanya kaya akan perjuangan, tapi juga kaya akan nilai historis budaya. Nilai budaya itu bahkan sudah lahir jauh sebelum cerita perjuangan masyarakat melawan penjajah dimulai. 

Jika berangkat dari definisi yang dikeluarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat adalah sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya, serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.

Dilansir dari Amnesty Internasional, terdapat lebih dari 70 juta Komunitas Adat hidup di wilayah Indonesia yang merupakan 25% dari populasi Indonesia, dan terdiri dari 2 422 Komunitas Adat yang tersebar di 31 Provinsi. Mereka inilah yang masih menjunjung tegak adat nenek moyang dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit juga sejumlah tradisi tersebut yang diwujudkan dalam bentuk upacara, yang bertujuan untuk menyelamatkan dan menghormati lingkungan.

Hak Masyarakat Adat dalam Panduan dan Aturan Nasional Maupun Internasional

Terdapat beberapa aturan atau panduan internasional maupun nasional yang mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat. Pada Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya sudah dituliskan bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal 28I ayat (3) menyatakan bahwa identitas budaya dan hak-hak masyarakat adat dihormati sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Sementara di aturan atau deklarasi internasional, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Masyarakat Adat menuliskan bahwa hak individu maupun kolektif masyarakat adat mencakup hak budaya dan identitas, hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, bahasa, dan hak lainnya. Lalu pada Pasal 3 Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 yang menuliskan bahwa masyarakat adat juga berhak atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar tanpa hambatan atau diskriminasi. Ini termasuk bebas dari diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan sebagai anggota masyarakat adat. Sayangnya, negara ini belum meratifikasi konvensi ini.

Menurut Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyatakan bahwa setidaknya enam hak masyarakat adat masih membutuhkan perhatian tambahan:

  1. Hak atas Wilayah Adat: Wilayah adat adalah tempat di mana suatu entitas Masyarakat Adat menjalankan, mengawasi, dan menggunakan wilayah tersebut menurut hukum adat.
  2. Hak atas Budaya Spiritual: Dalam perspektif hukum, ini didefinisikan sebagai “Identitas Budaya Masyarakat Adat”, dan dalam perspektif sosial-antropologi, ini didefinisikan sebagai kearifan lokal.
  3. Hak Perempuan Adat: Mereka memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan; mereka memiliki hak untuk mengatur, mengelola, memanfaatkan, dan merawat wilayah yang dikelola oleh perempuan adat; dan mereka memiliki hak untuk menggunakan, mengontrol, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan tradisional mereka.
  4. Hak Anak dan Pemuda Adat: Anak dan pemuda harus dihargai karena peran penting mereka sebagai generasi berikutnya dalam komunitas.
  5. Hak atas Lingkungan Hidup: Lingkungan memberikan kehidupan dan pengetahuan kepada masyarakat adat. Ini menghasilkan pengetahuan dan kearifan lokal, yang menjadi bagian dari budaya dan iman mereka.
  6. Hak atas FPIC/Free, Prior, Informed, Consent. FPIC adalah hak masyarakat adat untuk memilih untuk setuju atau tidak setuju terhadap agenda pembangunan apa pun yang direncanakan dan dilaksanakan di wilayah adat.

Perjalanan Masyarakat Adat dari Masa Penjajahan hingga Pasca Kemerdekaan

Secara kultural, Indonesia dulu dibagi menjadi teritori zelfbesturende landschappen (daerah-daerah swapraja atau daerah kerajaan, yaitu daerah yang sejak semula memiliki sistem pemerintahan sendiri seperti kesultanan Yogyakarta) dan volksgemeenschappen (daerah adat seperti di Jawa, Minangkabau, Palembang, Tapanuli, dan Aceh). Pada waktu itu, keberadaan keduanya diakui dan dihormati sebagai satuan pemerintahan kecil. 

Lalu terdapat perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terjadi antara tahun 1999 dan 2002. Perubahan dilakukan setiap empat kali. Pasca-perubahan UUD 1945 membedakan pemerintahan daerah yang unik dan istimewa dengan mengatur volksgemeenschappen (daerah masyarakat hukum adat). Akibatnya, volksgemeenschappen diatur dalam ayat terpisah. Selain itu, pengakuan terhadap volksgemeenschappen harus didasarkan pada kondisi konstitusional tertentu. Ini pasti berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan, yang menetapkan zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen sebagai daerah istimewa.

Dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU MK), terdapat perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat untuk mempertahankan hak konstitusionalnya apabila terdapat undang-undang yang merugikan hak konstitusionalnya. Namun, tidak semua masyarakat hukum adat memiliki kedudukan hukum dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Tahun demi tahun bergulir. Sudah sejak tahun 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat dinanti. Di tahun 2013 itulah, RUU Masyarakat Adat masuk dalam Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR pun sudah membentuk panitia khusus yang bertugas untuk membahas rancangan undang-undang ini. Namun agaknya jalan RUU ini justru tersendat di DPR. Hingga saat ini, sudah 1 dekade berjalan, RUU Masyarakat Adat masih berstatus “dalam pembahasan” Prolegnas. 

Keberadaan Mereka Penting, Status Pengakuannya Genting

Padahal keberadaan RUU ini sangatlah penting bagi masyarakat adat di Indonesia. Terutama terkait ruang hidup yang semakin terpinggirkan. Misalnya saja masyarakat adat Kepulauan Aru yang daerahnya semakin terpinggirkan karena proyek di kawasan pesisir. Seperti yang dilansir dari Ali Mahrus, seorang Peneliti di Papua Study Center yang mengungkapkan bahwa ada sejumlah proyek yang sedang berlangsung yang mengancam ekosistem Kepulauan Aru. Kehidupan ekosistem diancam oleh berbagai proyek, termasuk kerusakan hutan, karst, termasuk hutan mangrove, sumber air bersih, dan satwa endemik. Padahal, kehidupan masyarakat adat di pulau-pulau kecil ini sangat bergantung pada alam.

Masyarakat adat juga bukan hanya bergantung pada alam, tetapi juga turut andil dalam melestarikan dan memprioritaskan keberlanjutan alam daerahnya. Misalnya saja sejumlah upacara seperti di Maluku dan di Papua. Masyarakat Maluku dan Papua biasanya melakukan tradisi Sasi di daerahnya masing-masing. Sasi juga menerapkan periodisasi untuk menentukan kapan masyarakat boleh dan tidak boleh menangkap dan memanfaatkan hasil laut. 

Durasi “buka-tutup” laut ini juga bervariasi, tergantung pada apa yang dibutuhkan di masing-masing daerah. Ada yang memutuskan untuk menutup selama tiga bulan, enam bulan, dua tahun, bahkan empat tahun. Selama masa larangan, orang yang melanggar aturan akan dikenakan denda. Dengan demikian, kekayaan laut di daerah tersebut dapat dijaga dengan aman dan bebas dari tindakan nakal yang dilakukan oleh manusia hingga kita masih bisa merasakan manfaat dan keuntungannya hingga sekarang.

Akan beda tentunya jika kemudian tradisi itu tidak dilakukan atau dipinggirkan nilai-nilainya. Hal yang terjadi justru adalah eksploitasi laut tanpa jeda. Membuat laut bukan hanya rusak, tapi juga merenggut kesempatan bagi laut dan seluruh ekosistemnya untuk tumbuh dan berkembang. Ujung-ujungnya, celaka yang akan dirasakan manusia. Mulai dari langkanya stok ikan hingga ke bencana alam.

Pengakuan masyarakat adat melalui RUU Masyarakat Adat sebetulnya bukan hanya untuk ‘kalangan mereka sendiri’. RUU Masyarakat Adat menjadi jembatan yang memulihkan hubungan negara kita saat ini dengan akar budaya dan sejarah Indonesia yang ramah dan guyub dengan alam dan modal budayanya. Bolak baliknya RUU Masyarakat Adat di tahapan Prolegnas, menjadi bukti bahwa komitmen Pemerintah masih timpang sebelah. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan bahwa RUU ini  tidak pernah disahkan untuk dibahas di tingkat paripurna. AMAN juga mencatat hingga awal 2022 baru ada 158 peraturan tingkat daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat di seluruh Indonesia. 

Sementara di sisi lain, keberadaan masyarakat adat dan sejumlah tradisi maupun nilai budaya yang ingin menjaga alam, terancam Undang-Undang sentralistik yang melenggangkan proyek yang mengancam keberlanjutan seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bukan hanya itu, mirisnya, sejumlah ketentuan dalam UU CK ini justru bertentangan dengan komitmen perlindungan hak masyarakat adat. Mungkin memang komitmen Pemerintah condong pada keuntungan material semata. Sementara ruang hidup dan beraktivitas masyarakat adat dianggap beban; padahal nilai dan tradisi yang sudah diturunkan dari zaman dulu hingga sekarang tidak bisa diukur dan dibeli dengan uang.

***