Pemerintah terus mendorong penerapan apa yang disebut prinsip “ekonomi biru” atau blue economy untuk memanfaatkan sumber daya maritim Indonesia yang luas. Namun lebih dari sekadar blue economy sebagai gagasan dan proyek besar, jalan menuju laut yang berkelanjutan ada di tangan penanganan-penanganan kecil dan sehari-hari yaitu dukungan untuk penangkapan ikan skala kecil dan pemberantasan praktik ilegal yang perlu diprioritaskan.
Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP) Sakti Wahyu Trenggono menggarisbawahi pentingnya keberlanjutan dalam industri perikanan untuk memastikan Indonesia menjadi negara dengan industri kelautan dan maritim yang kuat dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang lebih dari 6,4 juta kilometer persegi perairan teritorial. Menteri Sakti menegaskan bahwa Indonesia bisa menjadi pemain terbaik di regional maupun global. Menteri Sakti menambahkan bahwa keseimbangan harus dicapai antara eksploitasi sumber daya maritim sebagai kegiatan ekonomi dan kesehatan yang baik dari ekosistem laut dan pesisir.
Ekonomi biru adalah sebuah konsep pengembangan ekonomi dunia dengan prinsip berkelanjutan, didorong untuk terus diaplikasikan pada sektor perikanan dan kelautan di seluruh dunia. Dorongan itu, menjadi bentuk perhatian dunia dalam upaya penyelamatan ekosistem lautan yang saat ini semakin mendapat ancaman karena berbagai faktor. Konsep dan istilah ini disampaikan sebagai komitmen bersama negara-negara peserta Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 29-30 Oktober 2018 yang lalu. Menteri KKP menyampaikan beberapa program prioritas yang akan dilaksanakan hingga tahun 2024, antara lain peningkatan PNBP di sektor perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan bangsa. Sebagai bagian dari langkah ini, Menteri Sakti mengatakan telah menetapkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714, yang terletak di sekitar Laut Banda di Maluku, sebagai tempat pengembangbiakan eksklusif untuk populasi ikan. Ia juga mengatakan para pejabat juga mengembangkan pusat-pusat peternakan ikan yang berorientasi ekspor dengan memperbaiki dan revitalisasi tambak rakyat. Selain itu, kementerian saat ini sedang mempromosikan keputusan dan peraturan yang menindaklanjuti perubahan di sektor perikanan yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja 2020.
Serangkaian program Ekonomi Biru tersebut tampaknya belum cukup untuk mengembalikan laut Indonesia menjadi asri kembali. Dalam webinar tersebut, sejumlah ahli di bidang kelautan dan perikanan mengatakan bahwa negara juga harus mencari cara lain untuk mencapai ekonomi kelautan yang berkelanjutan, termasuk dengan menempatkan perikanan skala kecil di garis depan daripada pemain industri yang besar dan memiliki lebih banyak akal. Indonesia masih perlu mengatasi “ketidakadilan laut” yang biasa terjadi dengan meningkatkan mata pencaharian nelayan skala kecil dan bekerja pada tata kelola yang inklusif dan hak asasi manusia, kata Stephanie Juwana, Director For International Engagement and Policy Reform untuk Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). Bagian dari solusinya adalah mengetahui secara pasti status kesehatan ekologis perairan negara dan seberapa besar potensi ekonomi yang mereka miliki dan bagaimana mendistribusikan semuanya secara adil.
Ia menambahkan bahwa Indonesia perlu mulai secara terbuka melacak data kapal sebagai pengetahuan awal mengenai berapa banyak kapal yang benar-benar beroperasi di negara ini, baik yang legal maupun ilegal. Informasi ini menurutnya adalah hak konstitusional sebagai warga negara, hak partisipasi publik dalam hal kelautan dan perikanan. Menurutnya, data yang tidak konsisten dan tidak detail serta manajemen yang buruk telah menyebabkan begitu banyak perdebatan kontroversial bahwa kasus pidana terhadap mantan Menteri KKP Edhy Prabowo. Seperti yang diketahui, Jaksa menuntut hukuman lima tahun penjara untuk mantan menteri perikanan Edhy Prabowo pada hari Selasa atas skandal suap yang melihat upaya untuk mengizinkan ekspor benih lobster, kebijakan yang sangat diperdebatkan yang konon mencegah industri lokal mendapatkan keuntungan dari komoditas panas?
Penangkapan ikan secara ilegal sendiri bukan menjadi hal baru di Indonesia. Baik nelayan lokal maupun asing, masih tertangkap tangan melakukan begitu banyak pelanggaran hukum yang merugikan negara puluhan triliun Rupiah. Contohnya pada 26 dan 28 Februari 2021 yang lalu, kapal ikan Vietnam terlihat memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Natuna Utara sebanyak 52 unit. Berikutnya di tanggal 18 dan 20 Maret 21, sebanyak 35 kapal ikan asing Vietnam masuk dan diduga kuat menjaring ikan di Natuna Utara. Per 2 April 2021, diperkirakan ada 100 kapal ikan asing asal Vietnam yang terdeteksi dan bukan hanya merampok wilayah perbatasan perairan, tetapi juga masuk lebih jauh mendekati pulau Natuna. Contoh tersebut hanya satu dari ratusan kasus yang terjadi di laut Indonesia. Bayangkan berapa banyak bentuk kerugian baik materiil maupun immateriil yang ditanggung negara akibat tidak tuntasnya penanganan illegal, unregulated, unreported fishing ini.
Bustar Maitar, CEO dari EcoNusa Foundation mengkritik undang-undang ketenagakerjaan karena menghapus perbedaan signifikan antara nelayan skala kecil dan pelaku industri, yang kemudian berpengaruh akan subsidi negara yang diterima nelayan berdasarkan tonase kapal. Aktivis telah memperingatkan ancaman yang ditimbulkan oleh undang-undang ketenagakerjaan, yang sangat menarik investasi baru dan merevisi beberapa ketentuan dalam Undang-undang Perikanan Tahun 2004 dan Undang-undang Tahun 2016 tentang perlindungan bagi nelayan skala kecil yang secara khusus, tidak lagi membedakan antara nelayan dengan perahu besar dan mereka dengan perahu kecil, yang menurut para kritikus dapat menempatkan nelayan skala kecil dalam persaingan yang tidak sehat dengan nelayan yang lebih besar.
Disisi lain, Arifsyah Nasution, Campaign Leader dari Greenpeace Asia Tenggara mengutip sebuah studi bersama dengan Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) yang mengemukakan bahwa pekerja migran Indonesia yang dipekerjakan di kapal penangkap ikan asing harus menjalani praktik kerja paksa. Kementerian Luar Negeri telah melobi untuk perlindungan yang lebih baik di negara-negara di mana pekerja migran Indonesia bekerja di sektor perikanan. Baru-baru ini, panggilan itu dilakukan dalam pembicaraan dengan pejabat Korea Selatan.
Sementara itu, Hawis Madduppa, ilmuwan biodiversitas kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan ekosistem laut Indonesia berada dalam situasi genting, karena menghadapi ancaman mulai dari degradasi terumbu karang hingga praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, seperti penangkapan ikan yang berlebihan, rantai predator seperti hiu dan kerapu. Untuk melindungi ekosistem dengan lebih baik, Hawis juga mengatakan bahwa negara perlu memiliki database kehidupan laut yang lebih baik.
Program Ekonomi Biru memang merupakan program yang baik untuk dijalankan. Namun perlu diingat, The Economy Blue hanya akan menjadi program setengah matang apabila instrumen pendukung di lapangan yang memastikan kelautan dan perikanan Indonesia berjalan dengan baik, tidak dilengkapi terlebih dahulu. Penanganan akan kasus penangkapan ikan ilegal yang berfokus pada tindakan preventif dan menambah armada pengamanan dan pengawasan di laut Indonesia, data mengenai kelautan dan perikanan termasuk didalamnya jumlah kapal yang penangkapan ikan yang “beredar” lalu jumlah stok ikan dan komoditas laut lainnya yang termanajemen serta selalu diperbaharui menjadi penting untuk diprioritaskan didepan. Data dan jalan keluar bagi kedua masalah ini akan menjamin keseluruhan program Ekonomi Biru yang digadang KKP bisa berjalan dengan optimal. Selain itu pentingnya jaminan kesejahteraan dan keselamatan warga pesisir, nelayan, dan anak buah kapal (ABK) terutamanya yang bekerja di kapal ikan asing juga wajib diprioritaskan. Bagaimanapun, Pemerintah harus sadar bahwa kehadiran mereka adalah untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang paling terdampak oleh ratusan pembangunan di laut dan wilayah pesisir.
Sumber Utama:
Webinar The Jakarta Post dengan KKP, IOJI, EcoNusa, dan Ahli Kelautan dan Perikanan berjudul “Lautan Dan Kita: Bekerja Bersama Menuju Keberlanjutan Perikanan”.
Selasa, 29 Juni 2021