Hari Bumi atau juga disebut Earth Day diperingati setiap tahun oleh seluruh dunia pada 22 April. Pertama kali dicanangkan di tahun 1970 di Amerika Serikat, Hari Bumi berangkat dari gerakan lingkungan modern yang terjadi pada 22 April 1970 disana. Roda industri yang sedang giatnya bergerak, membuat polusi udara dimana-mana dan pada waktu itu, masih belum banyak orang yang paham akan dampak buruk yang menghantui lingkungan dan kesehatan manusia. Berangkat dari isu inilah, Hari Bumi tercipta dan sekarang diperingati seluruh dunia, sebagai momentum pengingat untuk mendorong kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya menjaga Bumi dan kerusakan lingkungan.
Pada tahun ini, Hari Bumi mengusung tema “Invest in Our Planet” yang berisi kampanye untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari investasi di masa depan. Sementara sub tema Hari Bumi 2022 “Nature in the Race to Zero” yang menyoroti pengurangan emisi gas rumah kaca untuk menjaga suhu global tetap di bawah 1,5ºC. Dalam laman resminya, Hari Bumi 2022 mengajak masyarakat dan generasi ini untuk mengubah semuanya seperti iklim bisnis, politik, dan bagaimana kita semua mengambil tindakan terhadap iklim.
Peran Laut dan Iklim: Hubungan Simbiosis yang Tak Terpisahkan
Agaknya tema Hari Bumi 2022 ini setema dengan perilaku, arah kebijakan, dan program Pemerintah Indonesia dalam sektor Kelautan dan Perikanan. Laut mendominasi 70% wilayah dunia dan Indonesia. Perubahan iklim ini tentunya akan berdampak pada laut begitupun sebaliknya, laut yang berpengaruh terhadap iklim. Ada beberapa pengaruh laut terhadap iklim, antara lain:
- Arus laut yang dingin menyebabkan penurunan suhu udara di sekitar daratan, sedangkan arus laut panas menaikkan suhu.
- Arus panas mengakibatkan peningkatan curah hujan. Sebaliknya, arus dingin justru membawa sedikit uap air dan bergerak ke daerah yang lebih panas, kelembapan menjadi menurun.
- Udara yang terbentuk diatas macam-macam arus terkadang dapat bertemu dan terkondensasi menjadi kabut.
- Laut berpengaruh pada fenomena alam El Nino dan La Nina. El Nino, merupakan kejadian dimana suhu laut yang ada di Samudera Pasifik memanas diatas rata- rata suhu normal. Sementara La Nina, merupakan kejadian turunnya suhu air laut di Samudera Pasifik di bawah suhu rata- rata normal.
Interaksi laut dan atmosfer yang berkaitan dan saling mempengaruhi dengan iklim menjadikan laut salah satu faktor krusial dalam menghalangi lajur perubahan iklim itu sendiri. Lautan merupakan sebuah ekosistem yang kompleks. Satu mata rantai dalam satu rantai makanan penting peranannya dalam mendukung kelimpahan dan kesehatan laut hingga berujung pada kestabilan iklim. Contohnya saat mulai dari laut yang sehat dengan kadar oksigen laur dalam air yang seimbang, memiliki suhu yang baik membuat padang lamun dan terumbu karang yang menjadi sehat dan subur, padang lamun dan terumbu karang menjadi tempat untuk ikan mencari makan, berlindung, dan berkembang biak, ikan menghasilkan kotoran yang menjadi salah satu partikel pembentuk fitoplankton, fitoplankton menyerap karbon serta menghasilkan oksigen, dan berputar siklusnya seperti itu. Memiliki lebih banyak ikan dan kehidupan laut lainnya di laut, berarti lebih banyak penyerapan karbon – sebuah proses penting yang mengunci emisi karbon. Diperkirakan lautan mengandung sekitar 38.000 gigaton karbon, dan sejauh ini merupakan reservoir karbon terbesar di Bumi.
Pada tahun 2019 yang lalu, sebuah laporan penting dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyoroti kebutuhan mendesak tentang kelautan. Laporan yang bertajuk UN Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (SROCC) diluncurkan pada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC) pada September 2019 mengungkapkan fakta bahwa eksploitasi dalam sektor perikanan telah mendorong bumi kita ke ambang kehancuran. Penangkapan ikan skala industri menjadi ancaman nomor satu dalam rusaknya tatanan keanekaragaman ekosistem hayati laut.
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Awal Dari Kiamat yang Dipercepat?
Program pemerintah yang menggarisbawahi target utama pemasukan negara bukan pajak dan investasi besar-besaran, baru-baru ini mulai terkikis oleh narasi iklim dan karbon biru. Padahal dalam implementasi penangkapan ikan terukur, zona konservasi hanya ditunjuk pada satu Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPPNRI) 714, sementara zona pendayagunaan terbagi menjadi beberapa zona dengan kuota yang ditawarkan mencapai 5,99 juta ton per tahun. Belum lagi mekanisme kontrak yang tertuang dalam rancangan kebijakan penangkapan terukur ini, dimana sistem kontrak itu diartikan sebagai kerja sama pemanfaatan sumber daya ikan antara KKP dengan badan usaha di zona tertentu dalam jangka waktu dan persyaratan tertentu, dengan durasi kontrak selama 15 tahun dan dapat diperpanjang satu kali. Dengan adanya potensi perpanjangan tersebut pelaku usaha bisa mengeksploitasi sumber daya alam di perairan Indonesia selama 30 tahun.
Secara nilai ekonomi, mungkin target PNBP yang diimpi-impikan pemerintah akan tercapai. Melalui kebijakan ini, pemerintah hanya berfokus pada manfaat jangka pendek saja dan cara paling mudah dan menguntungkan; lelang sumberdaya alam. Menurut KORAL, alih-alih memaksakan penerbitan Kebijakan Penangkapan Ikan secara terukur lewat sistem kontrak, KKP seharusnya fokus menuntaskan beberapa persoalan utama, yaitu membangun kebijakan pemulihan semua stok kelompok jenis ikan di semua WPP yang mengalami overfishing dan menyusun skema kebijakan penyelamatan wilayah pesisir, perikanan, dan kelautan guna merespon dampak buruk krisis iklim yang dapat berakibat kepada ketahanan pangan. Laporan terbaru IPCC yang terbit pada 28 Februari 2022 menyebutkan peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis, mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia sebesar 24%. Kebijakan penangkapan ikan terukur yang menyetarakan nelayan kecil dengan pelaku usaha akan membuat perekonomian nelayan tradisional semakin terpuruk dengan sulitnya mendapatkan ikan di laut.
Ketika pemerintah berjibaku “melelang” laut untuk dieksploitasi secara legal, disitulah kita semua ikut ditarik masuk kedalam zona kegelapan. Solusinya hanya 1: reformasi hijau dan biru besar-besaran tanpa embel-embel lain. Diantaranya adalah memastikan stok laut sehat melalui nursery ground dan zona konservasi yang subur dan tanpa diganggu gugat aktivitas penangkapan ikan yang masif dan destruktif, memperbanyak konservasi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun dengan memperhatikan kualitas, kuantitas, keberagamannya.
Ketika lautan melimpah, keseluruhan tatanan ekosistem laut dapat melanjutkan peran vital mereka sendiri dalam mengatur dan mempengaruhi iklim. Laut kritis, iklim kritis, manusia pun kritis. Apalagi setelah ditemukannya fakta bahwa cadangan oksigen di Bumi, 80% bergantung pada laut. Perlu bukti apalagi bagi pemerintah dan kita semua untuk menjaga laut? Apakah Indonesia lupa bahwa menurut perhitungan IPCC, Indonesia punya batas waktu hingga tahun 2030 untuk menekan dampak perubahan iklim yaitu naiknya suhu hingga batas maksimum 1,5ºC? Tragis sekali jika kemudian Pemerintah lebih memprioritaskan angka PNBP dan capaian Kementerian untuk satu masa jabatan saja, dibanding dengan pencegahan percepatan kiamat hanya karena kemarukkan jangka pendek semata.
*****