LAUT INDONESIA APAKAH MASIH AMAN? 

LAUT INDONESIA APAKAH MASIH AMAN?

Pemerintah Indonesia mempunyai sejumlah rencana besar untuk sektor Kelautan dan Perikanan (KP) seperti Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan rencana Zonasi Perikanan dalam skema kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Namun tentunya semua itu tidak akan berjalan dengan baik dan lancar, apabila armada pengawasan dan pengamanan laut Indonesia masih lemas seperti bihun basah. Nyatanya, pencurian ikan masih terus berlangsung di laut Indonesia. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) per tahun 2021 saja, ada 167 kapal yang berhasil diamankan atas illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Dari 167 kapal tersebut, 114 kapal berasal dari Indonesia, 25 Vietnam, 21 Malaysia, dan 6 Filipina (SindoNews, Desember 2021). Selain itu kapal ikan asing berbendera Tiongkok dan Panama juga tertangkap tangan beroperasi di Laut Natuna Utara. Bukan hanya illegal fishing, perairan Indonesia juga masih belum aman dari konflik laut yang masih mengintai di Laut Natuna dan Laut Natuna Utara.

Pada 22 April yang lalu, EcoNusa bersama dengan Pung Nugroho Saksono,A.Pi,MM selaku Direktur Pemantauan dan Operasi Armada KKP, Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M. yaitu selaku CEO IOJI, Azwar Anas dari DPW KNTI Aceh, dan Dekan FIKP UMRAH melakukan paparan detail mengenai situasi keamanan di sektor KP Indonesia. Diskusi yang berlangsung virtual dengan tema “Laut Indonesia Apakah Masih Aman?” ini membahas beberapa poin diskusi penting untuk mempertahankan wilayah perairan dan perikanan kita dari intrusi kapal ikan asing atau kapal ikan ilegal yang melakukan IUUF di wilayah perikanan kita.

Nyatanya, potensi laut Indonesia memang sangat menggiurkan. Indonesia merupakan negara dengan garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Kanada. Memasok 10% komoditas perikanan dunia, tidak heran laut Indonesia menjadi “tambang emas” bagi industri perikanan baik kecil maupun mafia besar yang menjadi lakonnya. Menurut Azwar Anas dari DPW KNTI Aceh, ada beberapa jenis tangkapan hasil laut yang menjadi primadona Indonesia, seperti ikan cakalang, ikan tuna, tongkol, ikan karang, cumi, serta teripang. 

Sumberdaya ikan yang banyak terdapat di perairan Indonesia ini tragisnya tidak serta merta hanya dinikmati oleh nelayan lokal yang merasakan dampak melimpahnya hasil tangkapan. Mereka justru harus melawan rasa takut, bersaing dengan “pencuri” yang tidak jarang, memiliki armada kapal yang berukuran lebih besar daripada milik nelayan tradisional ditambah juga mengoperasikan alat penangkap ikan (API) terlarang. Salah satu contoh kasus adalah nelayan di Laut Natuna Utara yang resah dengan kehadiran puluhan kapal nelayan Vietnam yang dengan “santainya” menurunkan trawl dan menguras sumber daya ikan di wilayah itu (CNN Indonesia, November 2021) atau jumlah hasil tangkapan menurun yang terjadi di Laut Natuna Utara periode bulan Mei-Juni 2021.  

Selain IUU fishing, ancaman lainnya adalah geopolitik yang masih terjadi di perbatasan Indonesia dengan negara lain. Prinsip kepulauan Indonesia yang didasarkan dari prinsip United Convention on the Law of the Seas (UNCLOS) 1982 sudah diakui dunia. Namun intrik geopolitik masih menghantui atas klaim Tiongkok dengan Nine Dash Line (NDL) atau sembilan garis putus-putus dalam upaya untuk memetakan klaim historis didalam batas maritim dan Laut China Selatan, dimana 80% dari Laut China Selatan adalah milik Tiongkok. Klaim ini tidak didukung oleh batas koordinat dan geografis, sehingga membuat klaim ini sangat elastis.  Tiongkok selalu menerapkan bahwa penangkapan ikan tradisional (Traditional Fishing Right) diperbolehkan/legal di wilayah Nine Dash Line dan sekitarnya. Selain Tiongkok, wilayah kedaulatan Indonesia di laut melalui ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang berbatasan dengan Vietnam dan Malaysia juga masih belum menemui titik sepakat.

Laut yang Tidak Aman: So What?

Lalu mengapa kemudian keamanan dan kedaulatan negara di laut menjadi sangat penting? Kejahatan IUUF dan belum diakuinya batas wilayah Indonesia di perairan, membuat resiko adanya pencurian ikan masif dengan cara yang destruktif sangat mungkin terjadi. Dampaknya tentu bukan hanya kerugian finansial, dimana berdasarkan data dari Indonesian Justice Initiative (IOJI), setidaknya Indonesia mengalami kerugian mencapai US$4 Miliar per tahun atau setara dengan Rp 56,13 Triliun. 

Tapi lebih dari itu, dampak IUU fishing pada biodiversitas dan perubahan iklim bahkan jauh lebih buruk dan akan menjadi bencana besar di masa depan bagi manusia. Menurut Ersti Yulika Sari, dampak pertama dari overfishing adalah siklus hidup ikan yang lebih pendek karena penangkapan yang masif dan tidak selektif, tingkatan trofik dalam rantai atau jaring makanan juga akan rendah, serta ikan akan cenderung didominasi ikan planktivora. Hal ini berujung pada penurunan populasi sumber daya ikan, kerusakan kritis pada habitat laut yang berujung pada hilangnya beberapa biodiversitas laut dan ketahan ekosistem, dan berujung pada hilangnya sumber pangan dan mata pencaharian. 

Sementara dampak IUUF pada perubahan iklim juga tidak kalah mematikannya. Laut yang kosong membuat perputaran rantai makanan dan keragaman biodiversitas yang mensuplai laut dengan plankton dan oksigen serta mineral lainnya yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan suhu laut menjadi nihil. Hal ini menyebabkan temperatur laut naik dan menjadi lebih hangat, tentunya akan berdampak pada keragaman biodiversitas yang tidak tahan terhadap perubahan suhu misalnya saja plankton dan terumbu karang. Tingkat keasaman laut, perubahan arus, kehilangan habitat alami terumbu karang yang mengalami pemutihan, hingga perubahan produktivitas dan kesuburan perikanan menjadi dampak dari IUUF terhadap perubahan iklim.

Apa yang Harus Dilakukan?

Tentunya penambahan armada pengawasan dan pangkalan PSDKP bisa menjadi solusi praktis di lapangan. Namun lebih dari solusi praktikal, tentunya harus ada dasar penilaian efektivitas bagi pengawasan dan keamanan itu sendiri. IOJI memberikan beberapa prasyarat efektivitas penanganan tindak pidana perikanani untuk peningkatan keamanan dan pengawasan serta kedaulatan Indonesia di laut, yaitu:

  1. Ability to Detect → kemampuan untuk mendeteksi
  2. Ability to Respond → kemampuan untuk merespon
  3. Ability to Collaborate  → kemampuan untuk berkolaborasi dengan stakeholders internasional
  4. Ability to Punish → kemampuan untuk menghukum
  5. Ability to Build Perception → kemampuan untuk membangun persepsi bahwa prasyarat ini penting untuk dilaksanakan.

Dengan menggunakan multi rezim penegakan hukum (multi-door approach).

Selain ke-5 prasayarat tersebut, rekomendasi berikutnya adalah mengimplementasikan instrumen hukum sebagai dasar penegakan keadilan. Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No. 13 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia menegaskan bahwa kewenangan atas berbagai persoalan keamanan dan penegakan hukum di laut dimiliki oleh berbagai instansi Pemerintah (Multi Agencies Multi Tasks). PP 13/2022 bertujuan untuk menyinergikan tugas dan fungsi semua instansi Pemerintah yang berwenang di laut. Sinergi ini diupayakan melalui:

  1. Penyusunan Kebijakan Nasional Keamanan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah
    Yurisdiksi Indonesia
  2. Rencana Patroli Nasional
  3. Sistem Informasi Keamanan dan Keselamatan Laut
  4. Pemantauan dan Evaluasi

Hasil dari patroli bersama, mandiri, dan terkoordinasi akan ditindaklanjuti oleh instansi penegak hukum yang berwenang. Tindak lanjut atas penegakan hukum di laut akan dievaluasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan secara berkala. Efektivitas PP 13/2022 tergantung dari muatan dan efektivitas pelaksanaan poin (1)(2)(3)(4) dan keterlibatan seluruh stakeholders terkait (Pemerintah dan non-Pemerintah) dalam proses penyusunan dan pelaksanaannya. Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021 memberikan kewenangan penyidikan TPPU kepada penyidik PPNS KKP.

Untuk menangani IUUF, Pemerintah pusat maupun daerah harus saling bahu-membahu terutama karena IUUF bukan musuh bagi KKP atau Satgas 115 saja, tetapi bagi kita semua. KORAL mengajak Pemerintah Pusat dan daerah, bersama-sama dengan TNI Angkatan Laut, Kejaksaan, Badan Keamanan Laut (BAKAMLA), dan Polisi Air agar terus mengupayakan sinergi menjaga kedaulatan laut di Indonesia. Kolaborasi dan kerjasama yang efektif dari hulu ke hilir sangat penting karena persoalan di masa mendatang adalah mengenai kelangsungan hidup biodiversitas laut yang menjamin kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, sumber daya alam, khususnya di bidang perikanan harus kita jaga keberlanjutannya. Sehingga dengan begitu kita dapat mewujudkan peran kita untuk memastikan keberlanjutan keragaman biodiversitas laut dan sumberdaya ikan kita cukup dan terus ada untuk generasi di masa mendatang.

******