APAKAH EKONOMI BIRU MASIH COCOK UNTUK INDONESIA?

Setidaknya sudah setahun kebelakang ini, kita mengenal istilah ekonomi biru. Konsep ekonomi biru merupakan sebuah kerangka kerja dan kebijakan untuk kegiatan ekonomi kelautan yang berkelanjutan serta teknologi baru berbasis kelautan. Menurut situs web Uni Eropa, ekonomi biru memiliki beberapa tujuan: Mitigasi perubahan iklim dapat dicapai melalui ekonomi biru dengan cara mengembangkan energi terbarukan di lepas pantai, mengurangi emisi dalam transportasi laut, dan menghijaukan pelabuhan. Perekonomian akan lebih sirkular dan berkelanjutan dengan ekonomi biru melalui beberapa cara. Misalnya dengan memperbarui standar desain alat tangkap ikan, daur ulang kapal, dan penonaktifan anjungan lepas pantai. Ekonomi biru melindungi keanekaragaman hayati dan bentang alam dengan membangun infrastruktur hijau di wilayah pesisir. Sektor pariwisata dan pesisir juga mendapat manfaat dari ekonomi biru.

Namun, apakah kemudian Indonesia siap menerapkan ekonomi biru dalam tata kelola kelautan dan perikanan? Menurut Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi dan merupakan salah satu koalisi KORAL, ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia, mengingat secara mendasar laut di Indonesia masih diposisikan sebagai ruang kompetisi terbuka (mare liberum). Doktrin mare liberum atau Laut Bebas yang digagas oleh Hugo de Groot alias Hugo Grotius, seorang ahli hukum Belanda dipadukan dengan ekonomi pasar modern, sesungguhnya mendorong terjadinya eksploitasi berlebih pada sumber daya laut dan merepresentasikan ekonomi kapitalis (Betahita, 2023). “Dalam situasi ini, ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses yang terbuka kepada siapapun atas dasar siapa kuat secara finansial. Kondisi ini mengakibatkan apa yang disebut tragedi kepemilikan bersama,” tambahnya. 

Banyak Track Record Buruk, Ekonomi Biru Rawan Merugikan

Menurut Parid, ekonomi biru tidak memiliki track record yang baik. Di beberapa negara seperti Palau, Pohnpei, Papua Nugini, dan Namibia, ekonomi biru justru berujung pada deplesi perikanan dan merusak kualitas ekologi laut dan pesisir. Caranya adalah melalui eksploitasi laut dan justifikasi pertambangan laut. Bahkan di negara Zanzibar, Tanzania, dan Chile ekonomi biru justru menghadirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil. 

Sektor kelautan dan perikanan di Indonesia sendiri masih jauh dari kata siap untuk mendukung implementasi kebijakan ini. Resiko perampasan ruang laut untuk kepentingan segelintir penguasa sudah mulai nampak sedikit demi sedikit. Parid menambahkan bahwasanya  forum KTT AIS 2023 hanya akan menjadi ruang perluasan konsolidasi kapital dan investasi untuk menguasai pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Apalagi dengan adanya perubahan atau regulasi-regulasi baru yang semakin membuat rakyat Indonesia yang mencari uang dari laut semakin terpojok. Contohnya adalah penarikan pemasukan negara bukan pajak (PNBP) Pasca-Produksi dan juga rumusan Pasal 27 angka 10 UU Cipta Kerja mempertahankan Pasal 30 UU Perikanan yang membuka akses penangkapan ikan oleh kapal ikan asing di ZEE Indonesia yang berpotensi kuat menyebabkan eksploitasi sumber daya ikan Indonesia secara besar-besaran oleh pihak asing. Selain itu, Pasal 27 angka 15 UU Cipta Kerja menghapus kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia sebesar 70% di satu kapal ikan berbendera asing yang beroperasi di Indonesia. Dengan penghapusan kewajiban ini, maka dimungkinkan kapal ikan asing yang beroperasi di Indonesia menggunakan 100% ABK asing

Bak jadi kelinci percobaan yang diuji bertubi-tubi, bagaimana kemudian sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu bertahan dengan begitu banyak perubahan seperti ini. Apalagi kesiapan sarana, prasarana, dan sumber daya manusianya masih jauh dari kata siap. Sementara, di satu sisi, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir masih belum keluar dari jerat kemiskinan. Apakah dengan adanya ekonomi biru, sektor kelautan dan perikanan Indonesia benar-benar “berlayar” ke horizon baru yang menjanjikan, atau justru mendorong dan mempercepat perampasan ruang laut dan degradasi ekologi yang merugikan nelayan dan masyarakat pesisir sebagai pihak yang paling bergantung pada laut? 

***