HARI PEKERJA MIGRAN INTERNASIONAL: GOTONG ROYONG LINDUNGI PEKERJA MIGRAN INDONESIA

Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengeluarkan fakta lapangan yang menyedihkan. Menurut World Bank, sebanyak 9 juta Warga Negara Indonesia (WNI) bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) dan tersebar di beberapa negara penempatan. Namun, sebanyak 4,5 juta PMI tidak terdaftar dalam sistem yang dikelola Pemerintah karena adanya pemalsuan dokumen dan sindikat tidak bertanggungjawab (BP2MI, November 2022).

Untuk Awak Kapal Perikanan Migran sendiri, BP2MI mencatat saat ini jumlah WNI yang bekerja sebagai AKP Migran di kapal berbendera asing ada sekitar 254.186 orang. Dengan angka tersebut, Indonesia menduduki peringkat penyumbang pekerja maritim terbesar ketiga di dunia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan dalam Data Rujukan Wilayah Kelautan Indonesia, bahwa ada sedikitnya 61 ribu WNI yang bekerja di atas kapal penangkap ikan Korea Selatan dan Taiwan di Perairan Selandia Baru. 

Dilansir dari situs BP2MI, selama tahun 2018 hingga pertengahan 2020, terdapat sebanyak 389 pengaduan terkait AKP. Sementara laman resmi Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat terdapat 1451 laporan per 2020. Jumlah ini meningkat dalam dua tahun terakhir. Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan, bahwa PMI merupakan pekerjaan yang rawan eksploitasi, menjadi korban perdagangan manusia dan kekerasan fisik, verbal, psikis, maupun seksual, berpotensi besar dirugikan karena adanya tindak pemalsuan dokumen, perjanjian kerja, dan juga gaji yang tidak dibayarkan, hingga ke resiko kehilangan nyawa yang acap kali dialami oleh AKP Migran.

Selain Regulasi, Apa Tameng Perlindungan AKP Migran?

Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap AKP Migran yang bekerja di kapal ikan asing (KIA) diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Istilah yang digunakan adalah Pelaut Perikanan. Selain itu Indonesia juga memiliki Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Sedangkan dalam kerangka hukum internasional, AKP Migran diatur dan dilindungi berdasarkan Konvensi International Labour Organization (ILO) No.188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, walaupun Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi ILO No. 188 tersebut. Tapi apakah regulasi tersebut cukup?  

Perlindungan secara hukum dan adanya konvensi yang mengatur standar tentunya hanya menjadi pondasi dan petunjuk dalam implementasi di lapangan. Selanjutnya yang masih menjadi pekerjaan rumah Pemerintah adalah memastikan calon AKP Migran mendapatkan informasi yang jelas mengenai proses perekrutan. Menurut laporan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bertajuk “Lingkaran Setan Pekerjaan di Laut” dikatakan bahwa kecenderungan nelayan dan awak kapal Indonesia yang diperdagangkan, tidak mencari informasi tentang peluang-peluang pekerjaan penangkapan ikan atau melamar secara langsung kepada majikan atau perekrutan melalui agen perekrutan. Mereka cenderung mempercayai orang- orang yang telah mereka kenal sebelumnya yang memiliki pengalaman kerja dalam industri penangkapan ikan luar negeri. 

Dibutuhkan filter dan pendataan yang jelas, serta koordinasi Pemerintah Pusat dengan sektor pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten/kota maupun yang paling dekat dengan akar rumput seperti RT dan RW, untuk menyebarkan informasi yang berisi daftar manning agency yang valid, proses perekrutan dan dokumen yang dibutuhkan, kriteria pelamar, hingga ke pusat pengaduan dan himbauan. 

Selain itu, perlu adanya standar dalam detail informasi mengenai kesempatan kerja sebagai AKP Migran yaitu:

  1. Isi Perjanjian mencakup standar minimum dan sistem pembayaran upah, jam kerja dan jam istirahat, waktu lama dinas, keberadaan bonus/ insentif dan asuransi.
  2. Kondisi kerja yang mencakup akomodasi selama berada di kapal dan ketika bersandar, kepastian fasilitas mandi, cuci, kakus yang layak saat berada di kapal, konsumsi dan air minum yang layak, akses dan fasilitas keamanan dan keselamatan kerja, serta akses kesehatan.
  3. Adanya pengawasan yang memadai dari institusi Pemerintahan seperti kunjungan berkala. Hal ini dapat dimulai dengan adanya negosiasi dan kerjasama bilateral dengan negara penempatan untuk menentukan dan memberitahukan standar pelindungan AKP Migran sesuai dengan standar internasional yang berlaku. Memorandum of Understanding/ MoU ini nantinya akan menjadi bukti kuat jika ada pelanggaran di masa depan.
  4. Penempatan dengan adanya mekanisme seperti detail pekerjaan, surat izin perekrutan, verifikasi data calon AKP, adanya pemeriksaan medis, uji kompetensi dan kemampuan, kepesertaan jaminan sosial.
  5. Adanya basis data terintegrasi antara agen penempatan, informasi AKP yang ditempatkan, penanggungjawab dari agensi luar negeri, dan pengguna jasa.
  6. Pencatatan detail alur perekrutan, seleksi, penempatan, lalu adanya pelaporan selama bertugas, hingga kembalinya AKP Migran ke tanah air. Termasuk didalamnya pencatatan dan bukti pembayaran gaji hingga tuntas.
  7. Pengaduan yang jelas dan penelusuran hingga tuntas. Pusat pengaduan ini harus memiliki koneksi dengan Pemerintah termasuk Perwakilan Pemerintah Indonesia di Luar Negeri dan juga manning agency serta agensi di luar negeri. 

Pekerjaan rumah terakhir bagi Pemerintah Indonesia adalah meratifikasi Konvensi ILO No.188 Tahun 2007 yang hingga saat ini belum dilakukan. Anggota koalisi KORAL, IOJI menyampaikan ratifikasi ILO 188 perlu dilakukan pemerintah Indonesia sebelum menyusun MoU dengan negara-negara tujuan penempatan, untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi. Karena walaupun UU No.18 Tahun 2017, PP Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan peraturan turunannya No.22 Tahun 2022 tentang Penempatan Dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran Dan Awak Kapal Perikanan Migran sudah mengadopsi beberapa poin dari Konvensi ILO 188, tetap saja ada perbedaan mendasar yang melemahkan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini di mata internasional. Misalnya saja perbedaan istilah penyebutan, pengupahan, masa istirahat dan masa kerja, akomodasi dan konsumsi, serta masih banyak poin lainnya.

Perlu adanya gotong royong dalam “membersihkan” jalur perekrutan, penempatan, hingga ke pembayaran AKP Migran di Indonesia. Pemerintah dan seluruh stakeholders harus saling melengkapi dan saling menjaga agar memperlancar keamanan dan perlindungan bagi calon rekrut dan AKP Migran yang sudah bertugas.

Selamat Hari Pekerja Migran Internasional, para Pahlawan Devisa Indonesia. KORAL senantiasa berlayar dan berjuang bersamamu.

***