JELANG 2023: MARI PERBAIKI NASIB AKP MIGRAN!

AKP sedan menurunkan hasil tangkapannya di dermaga. (Gambar: Greenpeace)

Menurut data dari Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), mencatat dari 1 Januari 2018 hingga 31 Mei 2021, terdapat 415 kasus Awak Kapal Perikanan (AKP) Migran yang diadukan ke BP2MI yang didominasi aduan eksploitasi. Selain itu, BP2MI juga menangani pengaduan dan kepulangan PMI ABK selama Januari-Desember 2021 sebanyak 2.070 Pekerja Migran Indonesia (PMI). 

Berdasarkan masukan dari Food Agriculture Organization (FAO) menyarankan Livelihood Approach dari Mozambique sebagai petunjuk dalam menyejahterakan pekerja di industri perikanan tangkap, salah satu cara yang harus dilakukan adalah dengan memperkuat dan mengonsolidasikan pelaksanaan undang-undang atau regulasi terbaru sebagai instrumen yang dapat meningkatkan perlindungan kelompok minoritas melalui partisipasi lokal yang efektif. 

Indonesia bisa belajar dari Mozambique. Strategi yang dilakukan di Mozambique terdiri dari enam cara. Pertama, penyediaan informasi dan peningkatan kesadaran dilakukan sebagai proses yang berkelanjutan. Kedua, menyediakan waktu yang panjang untuk mendengar aspirasi orang lokal. Ketiga, dalam negosiasi peraturan, diskusikan semua kemungkinan dalam proses perencanaan bersama. Keempat, negosiasi diharuskan adanya perwakilan lokal yang nyata dan sah dari masyarakat secara keseluruhan. Kelima, memberikan informasi yang jelas, memprioritaskan kebutuhan untuk meningkatkan pemahaman dan memberitahu masyarakat apa yang terjadi, dan memberikan manfaat yang jelas dan nyata. Keenam, kesinambungan, termasuk penjabaran dan implementasi langkah-langkah yang akan menghasilkan perubahan sebagai bentuk keseriusan yang terdata, dapat ditelusuri, dan terorganisir.

Jika dasar pembentukannya sudah berdasarkan asas keadilan dan keterbukaan dengan mementingkan masukan dari pihak yang paling terdampak (AKP Migran), selanjutnya yang dibutuhkan adalah perbaikan perlindungan. Aspek pertama yaitu Aspek Regulasi. Menurut Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI) penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal harus sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dengan memperhatikan hak-hak fundamental AKP Migran dan kewajiban khusus bagi manning agency untuk melindungi hak-hak AKP Migran. 

Selain itu, dalam aspek regulasi, perlu dilakukan pengesahan hasil dari konvensi-konvensi yang mendukung perlindungan AKP Migran seperti Konvensi Perjanjian Cape Town yang diadopsi Organisasi Maritim Internasional (IMO, 2012). Konvensi Perjanjian Cape Town sendiri merupakan dasar dari kerangka peraturan mengenai standar keselamatan dalam konstruksi dan desain kapal perikanan. Namun sayangnya, tidak ada satupun negara di Asia yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town. Padahal negara-negara di Asia termasuk Indonesia, mayoritas adalah penghasil perikanan tangkap yang aktif. Ini artinya, besar kemungkinan standar keselamatan dalam konstruksi dan desain kapal perikanan di Asia masih beragam dan diserahkan kepada masing-masing negara yang bisa saja standarnya dibawah negara yang lain. 

Dalam aspek kelembagaan, perlunya single agency atau agensi tunggal yang bertanggungjawab untuk menerbitkan izin penempatan AKP Migran di kapal ikan asing. Hal ini tentunya untuk menghindari tumpang tindih kebijakan dan peraturan yang berujung pada kompleksitas implementasi. 

Tentunya untuk menyudahi resiko AKP Migran, perlu adanya pencegahan dari akar rumput. Karena menurut data BP2MI, Indonesia turut “menyumbang” sekitar 30.864 AKP Migran pada periode 2011-2019. Namun kasus  kekerasan, human trafficking, dan juga kecelakaan kerja cukup banyak dan sering terjadi dengan kasus terbanyak di ketenagakerjaan yaitu 49% dari total aduan AKP Migran di Luar Negeri tahun 2012-2015. Menurut data dari Greenpeace dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), manning agency ambil bagian besar dalam pelanggaran dan modus kriminal yang mengorbankan AKP Migran seperti informasi tawaran pekerjaan seringkali tidak benar, biaya rekrutmen tidak gratis, penahanan dokumen identitas maupun harta, gaji tidak dibayarkan, hingga pemalsuan identitas. 

Maka dari itu, dalam aspek pencegahan, Pemerintah Pusat harus bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam mempersiapkan armada kerja di akar rumput. Mulai dari:

  1. Membekali mereka dengan informasi dan pengetahuan mengenai hak dan kewajiban mereka serta kewajiban manning agency.
  2. Memberikan informasi dan alur perekrutan yang benar dengan daftar manning agency yang terdaftar di Pemerintah. Serta dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
  3. Membekali para calon AKP Migran dengan keahlian dan sertifikasi kerja sesuai dengan Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel (STCW-F) serta kemampuan bahasa dasar negara tujuan untuk keperluan sehari-hari.

Lalu aspek yang terakhir adalah perlindungan selama bekerja hingga ke pemulangan. Dalam aspek ini, Pemerintah harus saling berkoordinasi dengan Kantor Perwakilan Indonesia di Luar Negeri secara pro-aktif dan secara regular melakukan inspeksi atau monitoring kondisi kerja dan pemenuhan hak PMI ABK kapal ikan asing, bekerja sama dengan port authority dari negara di mana kapal singgah. Dalam hal pemulangan, Pemerintah harus berkoordinasi dengan manning agency untuk memastikan kepulangan mereka terjamin dan pemenuhan hak AKP Migran tercatat dan tersalurkan penuh. 

Tahun yang baru menjadi lembaran baru bagi Pemerintah untuk bebenah diri. KORAL berharap, tahun 2023 menjadi tahun yang berkesan baik bagi AKP Migran di manapun mereka berada; agar dapat mencari rezeki dengan aman, nyaman, dan terlindungi, demi hidup yang lebih baik.

***