KOMITMEN PEMERINTAH ATAS PELARANGAN PENGGUNAAN CANTRANG DIPERTANYAKAN

Penggunaan cantrang yang bersifat tidak selektif dan eksploitatif. (Gambar: Detik.com)

Kembali didemo nelayan, peraturan pelarangan penggunaan cantrang kembali dipertanyakan. Sebelumnya pada 19 Januari 2022 yang lalu, sejumlah nelayan eks kapal cantrang di Kota Tegal menggelar aksi dengan memblokade Jalur Lingkar Utara (Jalingkut) Kota Tegal. Mereka meminta pemerintah mempercepat proses izin peralihan alat tangkap cantrang menjadi jaring tarik berkantong. Hal ini tentunya dikarenakan buntut dari pemulangan ratusan nelayan kapal cantrang yang masih melaut setelah dikeluarkannya surat dari Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tegal. Surat tersebut diketahui adalah surat perintah yang menyebutkan bahwa seluruh kapal yang masih beroperasi menggunakan alat tangkap cantrang, diminta untuk “pulang” ke pelabuhan masing-masing dan akan diberikan sanksi bagi yang melanggar. 

Surat perintah itu tentunya dikeluarkan setelah adanya regulasi baru yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No.18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan negara Republik Indonesia Dan Laut Lepas Serta Penataan Andon Penangkapan Ikan. Peraturan ini kemudian melarang penggunaan cantrang dan diganti dengan jarik tarik berkantung ala Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 

Foto aerial kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Tegal, Jawa Tengah, Rabu (8/1/2020). Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, pemerintah akan memfasilitasi segala hal yang diperlukan bagi para nelayan Pantura untuk melaut di perairan Natuna Utara, termasuk perizinan dan kapal. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Semenjak Juni 2021 lalu, yaitu hari diresmikannya peraturan baru tersebut, polemik implementasi regulasi alat penangkapan ikan (API) ini masih terjadi dimana-mana. Polemik timbul bukan hanya karena protes dari beberapa komunitas nelayan kapal cantrang yang merasa dibebani, namun juga dikarenakan tidak adanya kejelasan dari implementasi peraturan tersebut. Seperti yang diutarakan pada acara demonstrasi nelayan eks-kapal ikan cantrang di Tegal kemarin, Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Jawa Tengah, Riswanto, mengatakan ada beberapa kesulitan yang tidak bisa dimitigasi dengan baik oleh KKP. Mereka mengeluhkan, proses pengurusan perizinan peralihan dari alat cantrang ke jaring tarik berkantong yang dinilai lambat. Ia menjelaskan bahwa sudah empat bulan diajukan perizinan ke KKP via online namun ternyata masih menggunakan sistem reguler. Selain itu, ia mengatakan bahwa jumlah petugas yang melakukan prosedur pengecekan fisik kapal tidak sebanding dengan jumlah kapal yang berjumlah ratusan.

Selain itu, komitmen KKP dalam menegakkan zero tolerance akan penggunaan API yang bersifat destruktif ini juga dipertanyakan kembali.  Skema transisi yang terbukti tidak jelas dalam kurun waktu yang cukup lama sejak Juni 2021 hingga tahun 2022 ini, menjadi pertanyaan pertama akan komitmen KKP. Pertanyaan kedua adalah, penerbitan PERMEN KP No.18/2021 ini tidak dibarengi dengan skema implementasi. Jenis alat pengganti yang ditawarkan oleh Pemerintah di periode transisi harus diuji implementasinya. Mengapa demikian? Ada dua alasan: pertama, jarik tarik berkantong dinilai sama dengan cantrang, hanya berbeda nama saja. Ketika jaring berkantong ini diberikan pemberat dan ditarik, maka  ia akan mengeruk dasar laut dan menyebabkan kerusakan, apalagi jika diameternya rapat.  Cantrang dan jaring tarik berkantong sama-sama berbentuk jaring, yang berbeda hanyalah mata jaring di seluruh bagian kantong cantrang berbentuk berlian (diamond mesh) sedangkan mata jaring di seluruh bagian kantong jaring tarik berbentuk persegi (square mesh). Meski demikian, keduanya memiliki dampak destruktif yang sama.

Kedua, dengan adanya skema transisi yang tidak jelas, pemerintah seolah-olah tidak belajar dari pengalaman “pendahulunya” yang juga menghadapi situais yang sama. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Perikanan (KIARA), Susan Herawati, mengatakan pada periode transisi di masa pemerintahan mantan Menteri KP Susi Pudjiastuti, anggaran negara akhirnya terbuang sia-sia karena alat tangkap pengganti yang diberikan pemerintah tidak bisa digunakan oleh nelayan karena adanya disparitas geografi, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini berujung pada pembuangan anggaran negara dan pada akhirnya, nelayan menjual alat tangkap pengganti yang dianjurkan tersebut. 

Jika kemudian regulasi baru yang dikeluarkan hanya “gimmick” gebrakan dari Pemerintah, maka tidak heran jika implementasi dan skema transisi yang diberikan pun akhirnya setengah-setengah. Zero tolerance pun rasanya lebih tepat disebut “Zero Effort” mengingat sudah 9 bulan sejak peraturan baru dikeluarkan, tapi implementasi dari peraturan tersebut masih tidak jelas. Bagaimana kemudian peraturan bisa ditaati, apabila pemberi peraturan sendiri masih belum bisa menyamakan bahkan menentukan langkah kedepan untuk memberlakukan peraturan tersebut, yang bahkan substansinya yaitu alat penangkapan ikan yang menggantikan cantrang saja, juga masih memberikan dampak yang sama rusaknya dengan cantrang. 

******