Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh wilayah laut dan perairan. Dilansir dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, bergaris pantai sepanjang 81.000 km. Sekitar 62% luas wilayah Indonesia adalah laut dan perairan, dengan luas wilayah perairan mencapai 6,32 juta km². Maka tidak heran, profesi nelayan sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Jika berkaca pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sementara deskripsi mengenai nelayan oleh beberapa ahli pun beragam. Jika menurut Kusnadi (Akar Kemiskinan Nelayan, 2003) masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah daratan dan laut. Sementara menurut Imron (Hukum Perikanan di Indonesia, 2003), Nelayan adalah kelompok orang yang hidupnya bergantung pada hasil laut, baik melalui penangkapan atau budidaya. Mereka biasanya tinggal di pinggir pantai maupun di pemukiman yang dekat dengan aktivitasnya.
Kemiskinan di Tengah Masyarakat Pesisir
Adanya perbedaan definisi tidak mengurangi pengertian dari profesi nelayan yang berarti bagi Indonesia. Saat ini sebanyak 1.27 juta penduduk menjalani profesi ini. Sebanyak itu pula jumlah nelayan yang terancam kemiskinan. Menurut data yang dibagikan MetroTV, 70% kemiskinan ekstrim berada di kawasan pesisir pantai.
Momok kemiskinan ini bukan ‘lagu’ baru dan sudah lama terdengar dan dapat disaksikan oleh kita semua. Penyebab utama kemiskinan ditengah-tengah nelayan dan masyarakat pesisir adalah arus modernisasi yang agaknya meninggalkan mereka. Menurut Kusnadi, setelah seperempat abad kebijakan modernisasi perikanan diterapkan, tingkat kesejahteraan hidup nelayan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sebaliknya, kemiskinan meningkat dan kesenjangan sosial ekonomi antara kelompok sosial dalam masyarakat nelayan meningkat. Seharusnya, nelayan menjadi faktor utama yang dijadikan motor penggerak modernisasi pesisir dengan membekali mereka melalui pelatihan, sarana, dan prasarana modern sehingga mereka ikut tersejahterakan.
Hal ini sedikit banyak terkait dengan kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh kondisi struktur sosial yang ada menjadikan nelayan-nelayan terutama nelayan kecil, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia. Termasuk didalamnya akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Alhasil nelayan kecil pun terpinggirkan, dan tidak masuk arus modernisasi dengan sejumlah upaya edukasi dan perbaikan nasib didalamnya.
Penyebab kedua kemiskinan di tengah-tengah nelayan dan masyarakat pesisir adalah eksploitasi laut dan ruang laut. Sebagai profesi yang bergerak di bidang penangkapan dan/atau pembudidayaan hasil laut, tentunya nelayan dan masyarakat pesisir sangat bergantung pada faktor alam. Jika kemudian laut dan sekitarnya dalam keadaan rusak, tentunya akan mengurangi jumlah hasil tangkapan.
Sayangnya, nelayan juga menjadi agen dan korban dari lingkaran setan ini. Dikarenakan berada dalam putaran kegiatan yang memaksa mereka untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya, tidak jarang ditemukan aktivitas kegiatan penangkapan menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang dilarang seperti cantrang dan bom.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Staf Pengajar Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang di tahun 2011, terdapat 15 faktor penyebab kemiskinan di tengah-tengah nelayan.
Jika diteliti lebih lanjut, hal ini sebetulnya preventif atau bisa dicegah jika nelayan diikutsertakan dalam modernisasi dan pembekalan mengenai pentingnya menjaga sumber daya alam. Apalagi beberapa komunitas masyarakat pesisir sudah mempunyai latar belakang tradisi dan menjalani budaya menjaga laut seperti di Maluku dan Aceh. Faktor kemiskinan karena alam juga mengancam dari sektor proyek nasional yang bersifat eksploitatif dan destruktif di laut, seperti berbagai jenis kegiatan pertambangan dan pembuatan tambak yang mencemari lingkungan. Misalnya kasus nelayan-nelayan di Kepulauan Kodingareng yang merasakan sendiri dampak penambangan pasir yang membuat laut mereka mengalami pedalaman, menghilangkan ekosistem terumbu karang, membuat lokasi penangkapan ikan makin jauh ke tengah laut, dan tidak sedikit beberapa jenis ikan hilang. Hal ini tentunya menjadi multiplier effect dan salah satu faktor yang menyebabkan nelayan sulit keluar dari kemiskinan.
Selain itu, faktor program dan kelembagaan menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan di tengah-tengah nelayan yang sebetulnya dapat diatasi pemerintah. Program dan kegiatan kelembagaan seperti pemasaran atau penjualan hasil tangkapan nelayan seharusnya dilakukan dengan keberpihakan dan membuat posisi tawar nelayan cukup seimbang dan menguntungkan. Program-program nasional seperti Penangkapan Ikan Terukur (PIT) justru membuat posisi nelayan menjadi terancam, karena dibukanya zona industri bagi pengusaha perikanan tangkap skala besar bahkan asing.
Lalu apa yang dapat dilakukan? KORAL akan mengulas lebih dalam pada Part-2 artikel ini bertajuk Hari Pengentasan Kemiskinan: Peran Perempuan Dan Anak Muda Dalam Memakmurkan Pesisir Part-2! STAY TUNE!
***