KEANEKARAGAMAN HAYATI JANGAN SAMPAI MATI

KEANEKARAGAMAN HAYATI JANGAN SAMPAI MATI

Menurut data yang dikeluarkan oleh Direktorat Konservasi Kawasan dan Keanekaragaman Hayati Laut, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.480 pulau-pulau besar dan kecil serta garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan Luas daratan hanya 1,9 juta km2, maka 75% wilayah Indonesia berupa lautan, yang terdiri dari 3,1 juta km2 wilayah laut teritorial dan 2,7 juta km2 zona ekonomi eksklusif (ZEE).  Tentunya anugerah alam dan perairan Indonesia memiliki begitu banyak potensi sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia terbagi pada sumberdaya alam dapat pulih (renewable resources), sumberdaya alam tidak dapat pulih (non-renewable resources), sumber energi kelautan, dan jasa-jasa lingkungan yang sangat besar. Salah satunya keanekaragaman hayati laut yang sangat beragam. 

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, dikatakan di Pasal 1 dimana disebutkan bahwa sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Untuk sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sementara sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut. Lalu sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.

Mangrove Bukan Sekadar Proyek Tebang Tanam

Keanekaragaman hayati laut merupakan variasi keanekaragaman berbagai macam organisme, spesies, genetik, dan ekosistem yang ada di dalam laut yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa- Bangsa (United Nations Convention on The Law of The Sea 1982) tentang pengaturan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam bagian XII tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (Pasal 192 -Pasal 196 UNCLOS) bahwa negara memang berhak untuk memberdayakan kekayaan alamnya namun di satu sisi juga memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan.

Hal tersebut juga ditegaskan pada UNCLOS Pasal 194 yang menjelaskan secara panjang lebar mengenai tindakan-tindakan pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut yang dapat terjadi karena beberapa faktor seperti dumping, pencemaran yang bersumber dari daratan atau udara, kendaraan air, instalasi dan peralatan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dasar laut, dan banyak lagi. Terutama pada Ayat (2) yang menggarisbawahi bahwa negara berkewajiban untuk “..mengambil segala tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada dibawah yurisdiksi atau pengawasan mereka dilakukan dengan cara sedemikian rupa supaya tindakan-tindakan tersebut tidak mengakibatkan kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran,”. Namun nyatanya, walaupun memiliki jumlah keanekaragaman hayati yang begitu banyak dan kawasan konservasi seluas 22 juta hektar, Indonesia masih termasuk dalam negara yang mengalami laju degradasi mangrove dan terumbu karang tertinggi. 

Di awal Februari lalu, Presiden Joko Widodo sempat menyatakan bahwasanya pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinannya telah dan sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 hektar sampai dengan tahun 2024. Melihat berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, Walhi menilai pemerintah tidak bekerja untuk memulihkan ekosistem mangrove di Indonesia yang mayoritas berada dalam kondisi tidak baik. Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2020 total luasan hutan mangrove tercatat seluas 2.515.943,31 hektar. Dari angka tersebut, hanya 31,34% hutan mangrove dalam kondisi baik. Sisanya, 15,64% berada dalam kondisi sedang, dan 13,92% dalam kondisi rusak. 

Data Walhi (2022), mencatat hingga saat ini hutan mangrove tidak lepas dari ancaman WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan). Di kawasan hutan mangrove tercatat luasan tambang mencapai 48.456,62 hektar, dengan rincian 24.728,03 hektar di hutan mangrove primer, dan 23.728,59 hektar hutan mangrove sekunder. Selain ancaman WIUP, program pemerintah yang gencar mengadakan reklamasi juga bertolak belakang dengan semangat rehabilitasi/ konservasi mangrove. Proyek reklamasi di Indonesia yang eksisting seluas 79.348 hektar dan akan terus dibangun seluas 2.698.734,04 hektar. Luasan tersebut berdasarkan data yang tercatat dalam dokumen Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di 22 provinsi di Indonesia. Hutan mangrove di berbagai wilayah pesisir di Indonesia hancur dan rusak oleh proyek reklamasi

Hal lainnya yang perlu dipertanyakan yaitu di dalam  28 dokumen Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, hanya 10 provinsi di Indonesia yang mengalokasikan ruang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove. Totalnya tercatat seluas 26.924,27 hektar. Sisanya, 18 provinsi di Indonesia tidak mengalokasikan ruang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove di dalam Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Apakah kemudian menurut Pemerintah ke-18 provinsi tersebut tidak memerlukan ruang aman konservasi hayati bagi mangrove, padahal mangrove menjadi salah satu keanekaragaman hayati yang sangat berpengaruh pada keberlanjutan sumberdaya ikan sebagai nursery ground dan penghasil oksigen untuk hewan-hewan laut?

Terumbu Karang Dimusnahkan Penambang

Terumbu karang sebagai salah satu keanekaragaman hayati di Indonesia, bukan hanya dinikmati oleh para fauna dan flora laut yang mendiaminya, tetapi tentunya juga dinikmati para turis, wisatawan, dan pengusaha pariwisata. Data  dari  World  Travel  and  Tourism  Council  menunjukkan  bahawa  industri  perjalanan  dan pariwisata  di enam  negara kawasan  Segitiga Karang telah memberikan dampak ekonomi  yang signifikan. Di tahun 2014, industri ini berkontribusi sebesar 58 miliar USD terhadap GDP di enam negara serta telah menyediakan lapangan kerja kepada lebih dari 5 juta orang. Diperkirakan sekitar 3 miliar USD pendapatan pariwisata bahari di kawasan Segitiga Karang didapat dari pertukaran mata uang di area tersebut. 

Sayangnya, Indonesia masih belum betul-betul menjalankan program perlindungan akan terumbu karang. Salah satunya adalah dengan masih didapatinya penambangan pasir laut yang mengancam keberadaan terumbu karang. Salah satu contohnya adalah penambangan pasir laut ilegal di Pulau Rupat. Pemerintah Provinsi Riau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) pada PT. Logo Mas Utama untuk berada di kawasan strategis Pariwisata Nasional, Rupat, Kabupaten Bengkalis. PT. LMU secara terang-terangan menyedot pasi di Pulau Beting Aceh, Pulau Babi, dan sekitarnya. Di akhir tahun 2021, masyarakat setempat dan juga Aliansi Mahasiswa Masyarakat Peduli Bengkalis (AMMPB) berdemo di kantor Gubernur Riau. Lalu di bulan Februari 2022, masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Pemerhati Pulau Rupat juga melayangkan aduan dan laporan ke Polda Riau terkait hal yang sama.  Tanpa adanya demo dan aduan masyarakat, mungkin Pemerintah Provinsi tetap menutup mata akan izin yang diberikan untuk mendestruksi wilayah laut dan KKP bisa jadi “buta” akan hal ini. 

Wakil Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Darwis menilai aktivitas penambangan pasir laut berdampak buruk bagi biota laut, terumbu karang, dan hewan-hewan yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan dampak penambangan pasir yang berujung pada abrasi, erosi, dan pendalaman. Selain itu, menurut penelitian dari Universitas Lampung, penambangan pasir juga dapat menurunkan kualitas lingkungan perairan laut dan pesisir, pencemaran yang berujung pada kekeruhan air, rusaknya pemijahan ikan dan nursery ground, menimbulkan turbulensi dan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut, banjir air rob, serta tingginya gelombang atau ombak dikarenakan dasar perairan yang sebelumnya terdapat kandungan pasir laut menjadi sangat curam dan dalam sehingga hempasan energi ombak yang menuju ke bibir pantai akan menjadi lebih tinggi karena berkurangnya peredaman oleh dasar perairan pantai.

Keanekaragaman hayati laut Indonesia masih sangat terancam dan dini untuk dikatakan mampu dieksploitasi keberadaannya. Degradasi kualitas dan jumlah yang terus menurun serta ancaman aktivitas di perairan seperti penangkapan ikan yang masif, eksploitatif, dan menggunakan alat yang destruktif, pengalihan fungsi lahan mangrove menjadi pertambangan/ pertambakan/ lahan sawit, hingga penambangan pasir membuat satu rantai ekosistem keanekaragaman hayati terancam. Pemerintah harus lebih tegas menindak oknum-oknum yang terkait dalam mata rantai kejahatan yang membahayakan lingkungan sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap UNCLOS dan lebih-lebih, upaya melindungi masa depan generasi dan bumi. Jika menunggu adanya aduan, ulasan, demo dari masyarakat, pemerhati, atau komunitas terlebih dahulu, tentunya sudah terlampau telat. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerjasama dan mengevaluasi semua IUP yang sudah diterbitkan. Jika kemudian ada yang melanggar, Pemerintah harus segera mencabut izin operasi dari PT tersebut. Penambangan pasir dan pembabatan hutan mangrove harus segera dihentikan. Sudah saatnya bagi pemerintah untuk lebih mengutamakan alam dan iklim.

******