STRANAS BISNIS HAM: DAPATKAH MENYELESAIKAN PELANGGARAN HAM DI LAUT?

Pada Selasa, 26 September 2023, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpres No. tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM). Stranas BHAM, harapannya menjadi acuan tentang kewajiban negara untuk melindungi HAM, tanggungjawab pelaku usaha, serta hak korban pelanggaran HAM untuk mendapat akses atas pemulihan yang “efektif, sah, dapat diakses, beri kepastian, adil, transaran, dan akuntabilitas, baik melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial.”

Inisiasi pemerintah dalam mengeluarkan Stranas BHAM perlu mendapatkan apresiasi karena dapat menjadi rujukan tentang tanggung jawab perusahaan, pemerintah, dan hak-hak dari pekerja yang dieksploitasi oleh pengusaha. Ironisnya, Stranas BHAM dikeluarkan tidak lama setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan cacat formil atas UU Cipta Kerja dan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia di tengah proyek strategis nasional.

Namun, Stranas BHAM tidak dapat menjadi solusi satu-satunya dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi atau menjadi label dalam menentukan siapa perusahaan yang ‘bersih’. Bisnis dan HAM perlu dipandang sebagai tanggung jawab perusahan untuk mengorbankan sebagian dari keuntungan untuk meningkatkan standar-standar perlindungan pekerjanya dan lingkungan tempat sebuah perusahaan beroperasi. Selain itu, Stranas BHAM tidak akan terlaksana apabila pemerintah terus melanjutkan kebijakan pro-pembangunan dan melanggengkan impunitas bagi pelaku usaha. 

Sehingga, Stranas BHAM tetap perlu dicermati secara kritis agar dapat diimplementasikan dengan baik. Khususnya, DFW melihat Stranas BHAM belum mencakup konteks industri kelautan. Destructive Fishing Watch (DFW Indonesia) mencatat terdapat tiga hal yang perlu dikritisi dari Stranas BHAM, khususnya dari sektor kelautan:

Pertama, Stranas BHAM masih bias perspektif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di daratan dan tidak terwakilkannya industri perikanan tangkap. 

Kedua, inisiatif sertifikat HAM telah tertuang pada Peraturan Menteri KKP. No 35 tahun 2015 tentang Sertifikat HAM Perikanan. Namun, hingga saat ini belum ada sertifikat yang diterbitkan oleh KKP. Kurangnya insentif untuk pelaku usaha dan adanya sertifikat ‘tandingan’ di PP No. 27 tahun 2021 menjadi hambatan dari pelaksanaan sertifikat HAM perikanan.

Ketiga, belum adanya mekanisme pengawasan dan penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia di sektor bisnis.

Berdasarkan tiga masalah tersebut, DFW Indonesia mendesak pemerintah untuk:

  1. Memastikan Peraturan Menteri, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Hukum dan HAM memuat perspektif industri perikanan tangkap.
  2. Menjamin akan adanya pengawasan dan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar hak asasi manusia.
  3. Memastikan pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas antara kementerian dan satuan tugas BHAM.

***

Sumber utama: Destructive Fishing Watch Indonesia

Narahubung :

0821 2466 8684

0858 3178 1183