Pasir bukan hanya sekadar pelengkap dari keindahan suatu pantai. Pasir memiliki nilai dan kegunaan yang tinggi dalam jajaran ekosistem laut. Pasir bukan hanya menjadi penghadang ombak dan juga filter alami bagi air laut, tetapi mempunyai peran penting dalam keberlanjutan sumber daya laut di masa depan.
Pertama-tama, mari kita mengenal asal muasal pasir laut. Pasir terbentuk ketika bebatuan terurai akibat pelapukan dan pengikisan selama ribuan bahkan jutaan tahun. Batuan membutuhkan waktu untuk terurai, terutama kuarsa (silika) dan feldspar (NOAA, 2023). Pasir juga lahir dari komponen lainnya seperti fosil dan hasil dari proses ekologis hewan dan tumbuhan. Misalnya saja hasil dari sekresi hewan-hewan laut. Salah satunya adalah hewan dilindungi, Ikan Kakatua, yang mengeluarkan kotoran berupa pasir putih halus yang banyak sekali. Ikan Kakatua dewasa akan mengeluarkan kotoran berupa pasir putih halus sebanyak 450 kilogram setiap tahun.
Mau Laut Sehat dan Subur? Jaga Pasir Laut!
Ada beberapa alasan mengapa pasir penting untuk dipertahankan. Alasan yang paling mendasar adalah karena pasir sebagai penyeimbang tatanan biodiversitas laut. Karena proses terjadinya dari batu hingga menjadi butiran pasir yang memakan waktu lama, pasir tentunya kaya akan mineral. Sebagian besar pasir di pantai terdiri dari butiran mineral kuarsa (SiO₂). Pasir mineral adalah pasir pantai, sungai atau gundukan tua yang mengandung konsentrasi mineral penting seperti rutil, ilmenit, zirkon, dan monasit. Pasir juga memiliki peran untuk menjaga salinitas laut dan keseimbangan kadar oksigen dalam air. Maka dari itu, pasir menjadi komponen penting untuk kesehatan mangrove.
Bagi hewan dan terumbu karang, pasir merupakan lahan bertempat tinggal. Misalnya saja Ikan Pasir dari Kepulauan Moora, kawasan Teluk Cenderawasih. Ikan ini hidup pada laut yang terdapat karang berpasir dengan kedalaman 1 hingga 90 meter. Ikan ini merupakan ikan subtropis yang dikonsumsi oleh warga lokal. Lalu ada Ikan Pari yang suka berendam dan menguburkan diri di dalam pasir, Ikan Batu, Belut Laut, Bulu Babi dan masih banyak lagi, menjadikan pasir sebagai kediaman mereka untuk bereproduksi dan membantu mereka untuk bertahan hidup.
Maka tidak heran, pasir berpengaruh pada perkembangbiakan sumber daya ikan di laut. Nantinya ini akan berujung pada stok sehat perikanan di masa depan karena rantai makanan pun terikat dengan pasir. Salah satunya Belut Pasir. Belut Pasir betina meletakkan telurnya pada kedalaman 20 hingga 100 m di tumpukan kecil di tanah berpasir atau tepian kerikil yang terbuat dari pecahan kerang. Ia baru bisa bereproduksi ketika mencapai usia dewasa atau 10 tahun. Jika kemudian pasir dikeruk, terumbu karang menjadi jarang, maka keberadaan Belut Pasir akan perlahan-lahan punah. Padahal Belut Pasir adalah bagian dari spektrum mangsa dari hampir semua spesies ikan laut yang lebih besar hingga banyak spesies ikan pipih. Mamalia laut dan burung laut juga memangsa mereka. Sementara itu, belut pasir memakan plankton tumbuhan dan hewan tingkat trofik yang lebih rendah seperti copepoda, cladocera, dan ikan kecil. Ini artinya tidak kecil kemungkinan, deretan hewan-hewan di atas juga bisa punah atau overpopulated.
Terumbu karang di satu sisi juga sangat menggantungkan hidupnya pada pasir. Pasir bukan hanya menjadi tempat bersandar bagi terumbu karang. Jika pasir tersebut dikeruk, maka dasar laut/ seafloor akan semakin turun dan mengakibatkan terumbu karang ikut tersedot semakin ke bawah dan mati. Hal ini dikarenakan terumbu karang masih membutuhkan sinar matahari untuk bertahan hidup. Maka dari itu terumbu karang sering disebut “hutan hujan laut” karena beberapa jenis terumbu karang, terutama di perairan yang tidak terlalu dalam, masih melakukan fotosintesis (NOAA).
Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), sekitar 25% ikan laut bergantung pada terumbu karang yang sehat. Ikan dan organisme lain berlindung, mencari makan, bereproduksi, dan membesarkan anak mereka di banyak celah dan celah yang dibentuk oleh karang. Terumbu karang juga menjadi tempat bersarangnya berbagai jenis anemon.
Terumbu karang dan ganggang menjadi dua elemen alam yang saling bersimbiosis mutualisme yang sangat berpengaruh pada kesehatan laut. Karang menyediakan lingkungan yang terlindungi dan senyawa zooxanthellae dibutuhkan untuk fotosintesis. Sebagai imbalannya, ganggang menghasilkan karbohidrat yang digunakan karang untuk makanan, serta oksigen. Ganggang juga membantu karang membuang limbah.
Sedimentasi Berbahaya Bagi Ekosistem Laut? Nanti Dulu!
Baru-baru ini gencar dinarasikan bagaimana endapan sedimen membahayakan ekosistem laut, sehingga menjadi alasan mengapa Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut dikeluarkan. Namun yang perlu dikritisi, sedimentasi seperti apakah yang sebenarnya membahayakan laut?
Sedimentasi sejatinya merupakan sebuah proses natural yang sudah terjadi selama jutaan tahun. Namun, ada beberapa pencetus peningkatan laju sedimentasi dalam jumlah besar seperti aktivitas gunung vulkanik dan juga aktivitas manusia di daratan. Contoh sedimentasi akibat aktivitas vulkanik ada di perairan di dekat Garut, Jawa Barat (Dinas Komunikasi dan Informatika Kab.Garut). Pada dasarnya sedimentasi akibat faktor alam akan menemukan caranya untuk beradaptasi dan merehabilitasi dirinya sendiri. Ibaratnya dari alam kembali ke alam; sama seperti proses terjadinya pasir secara alami. Hingga saat ini pun, tidak ada kasus terkait kerusakan ekosistem akibat sedimentasi vulkanik maupun gangguan pelayaran karena pendangkalan.
Sementara, contoh sedimentasi yang terjadi akibat ulah manusia justru dapat dilihat di Timika, Papua. PT. Freeport sebagai tambang emas raksasa yang sudah beroperasi puluhan tahun, membuang setidaknya 230 ribu ton limbah tailing setiap harinya. Alhasil, sering kali ditemui kejadian ikan-ikan mati busuk, dalam jumlah mengerikan banyaknya (Betahita, 2022). Bukan hanya kematian ikan dan rusaknya habitat hewan sungai, pengendapan material di dasar sungai dalam jangka panjang akan mengakibatkan pendangkalan sungai, sehingga sarana transportasi warga setempat menjadi terganggu.
Bukan hanya itu, pendangkalan akibat sedimentasi karena ulah manusia justru terjadi akibat dari reklamasi. Kasusnya seperti di Muara Angke, Jakarta Utara. Menurut laporan kesimpulan DHI Water & Environment (2011), reklamasi membuat terjadi perlambatan kecepatan arus, material lama tertinggal, dan sedimentasi logam berat. Hal ini mengakibatkan bertambahnya proses pencemaran dan sedimentasi. Hal ini juga berujung pada berkurangnya jumlah ikan dan hasil tangkapan nelayan. Menurut pakar Oseanografi IPB, Alan Koropitan, dengan adanya pembangunan di Teluk Jakarta, bisa dipastikan ikan-ikan hilang. Pembangunan reklamasi menyebabkan sedimentasi akan terjadi dan membuat fotosintesis di dasar laut terganggu hingga mengakibatkan pasokan makanan ikan juga pasti akan berkurang.
Selamatkan Laut dari Sedimentasi: Harus Mulai di Hulu dengan Kajian Empiris
Upaya penyelamatan laut dari sedimentasi harus jelas dan mendetail. Pemerintah juga harus jujur, apakah betul pengelolaan sedimentasi laut ini bukan “udang dibalik batu”, dengan hidden agenda yang sebenarnya adalah untuk peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dengan jual ekspor pasir ke negara tetangga.
Lalu di satu sisi, endapan sedimentasi yang terjadi karena proses unnatural yaitu dari hasil limbah dan aktivitas buatan manusia seharusnya diselesaikan dari akarnya yaitu di darat. Alih-alih menguras laut, pembenahan ini seharusnya dilakukan dari regulasi awal yaitu UU No. 3 Tahun 2020 yang mengatur pertambangan mineral dan batubara dari hulu ke hilir dan berbagai perizinannya. Lalu juga memperketat perizinan analisis dampak lingkungan (AMDAL) bagi para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan yang akan berdampak pada lingkungan dan laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga seharusnya cukup sadar bahwa resiko kerusakan dimulai dari celah-celah lemahnya regulasi yang mengatur penggunaan ruang laut dan pulau-pulau kecil.
Belajar dari Selandia Baru, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak sedimentasi yaitu dengan tindakan sederhana di darat (Departemen Konservasi Pemerintah Selandia Baru), beberapa di antaranya adalah:
- Penanaman dan pemeliharaan vegetasi di tepi sungai dan sungai, seperti perimbunan mangrove dan padang lamun.
- Membuat zona penyangga rumput panjang sepanjang 5–10 m di samping sungai untuk menjebak sedimen dari banjir sebelum mencapai saluran air.
- Tidak membuang limbah apapun ke sungai sehingga bermuara di laut dan menyebabkan lapisan endapan unnatural.
PP Nomor 26 Tahun 2023 dirasa tidak cukup jujur dan murni dalam proses “kelahirannya”. Tidak ada kajian empiris dan menyeluruh yang dapat mendukung alasan pengelolaan hasil sedimentasi di laut dalam bentuk pasir untuk menyelamatkan lingkungan. Alih-alih memaksakan PP yang sudah cukup banyak ditolak oleh berbagai lapisan masyarakat, lebih baik Pemerintah sadar diri untuk segera mencabut PP 26/2023 dan betul-betul jujur serta transparan dalam menyuarakan keadilan bagi lingkungan dan keberlanjutan. Ingat, jabatan dan kekuasaan di dunia harus bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai hanya untuk keuntungan sesaat dan ego pribadi, Pemerintah justru melelang laut Indonesia dan mengorbankan masa depan generasi mendatang.
***