AKANKAH KEADILAN PERIKANAN TERUKUR BISA DIREALISASIKAN?

Ilustrasi hasil tangkapan nelayan. (Gambar: Gema Sulawesi)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menegaskan agenda besar mereka pada tahun 2022, yaitu implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur yang akan dilakukan sepanjang tahun ini. Tidak lain dan tidak bukan, tentunya implementasi dari kebijakan yang menurut KORAL kurang tepat dan presisi ini, adalah guna mengejar target nilai ekspor perikanan tahun ini sebesar yang menginjak angka US$ 7,13 miliar. 

Seperti yang diketahui, KKP membagi wilayah penangkapan ke dalam empat zona. Zona pertama adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP) 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara dengan total kuota 473.000 ton ikan per tahun. Zona kedua adalah WPP 716 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera dan WPP 717 yang meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan laut lepas Samudra Pasifik dengan kuota 738.000 ton per tahun. Zona ketiga adalah WPP 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau serta WPP 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur dengan kuota 2.266.000 ton per tahun. Terakhir, zona keempat adalah WPP 572 yang meliputi perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda serta WPP 573 yang meliputi Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara dan juga laut lepas Samudra Pasifik dengan kuota 1.415.000 ton per tahun. Pertanyaannya adalah: apakah kemudian keadilan dalam implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur ini bisa direalisasikan? 

Program ini membuka kesempatan bagi investor baik dalam maupun luar negeri untuk mendapatkan slot kuota perikanan di program penangkapan ikan terukur ini. Pembukaan kuota komersial bagi para investor ini tentunya akan membuka celah ketidakadilan bagi nelayan lokal. Investor dan atau para pemenang lelang ini nantinya akan mengincar sejumlah komoditas perikanan besar seperti ikan tuna, tongkol, cakalang, dan akan memaksimalkan kuota yang diberikan kepada mereka. Maka dari itu sangat penting agar program ini dilengkapi sejumlah langkah nyata dalam menjamin pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bagi nelayan lokal, masyarakat pesisir, dan perikanan berkelanjutan dengan meningkatkan kesetaraan pertumbuhan industri perikanan lokal dengan memberdayakan nelayan lokal dan bukan semerta-merta mewajibkan investor asing mempekerjakan warga negara kita, lalu memastikan adanya pengembalian ke alam dari sejumlah kuota yang diberikan kepada para investor. Pengamat kelautan, Abdul Halim, mengatakan bahwa adanya pelelangan kuota ini juga dikhawatirkan mampu menimbulkan diskriminasi perlakuan kepada warga negara, khususnya mereka yang berprofesi sebagai nelayan tradisional dan kemudian akan berimbas pada privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir. Maka dari itu alur pengimplementasian program ini juga harus tersistem dengan baik dari hulu ke hilir.

Masih menjadi pertanyaan bagaimana kemudian cara mengukur implementasi dan realisasi program perikanan terukur ini. Apakah benchmark angka PNBP, nilai investasi atau ekspor saja yang menjadi acuan kesuksesan? Atau ada benchmark lainnya yang seharusnya dijadikan acuan seperti tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya lokal, tingkat kesehatan dan peningkatan stok ikan di laut, serta aspek lainnya yang mendasar pada kesejahteraan masyarakat pesisir, nelayan lokal, dan ekosistem laut? Lalu apa backup plan atau mitigasi yang direncanakan apabila program ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan? Karena harus Pemerintah ingat dan camkan dalam pikiran dan perbuatan mereka, bahwa yang akan menjadi korban utama apabila kemudian kebijakan ini melenceng, disalahgunakan, dan menyebabkan eksploitasi dan degradasi lingkungan yang masif dan mengakar selama bertahun-tahun adalah ekosistem dan seluruh sumberdaya kelautan, nelayan lokal, dan masyarakat pesisir, serta generasi mendatang yang bahkan belum dilahirkan ke bumi ini. Berpikir secara praktis saja tidak cukup. Berpikir secara masif, komprehensif, presisi dan implementatif dengan menyertakan bukan saja rencana mitigasi tetapi juga menyertakan resiko dan solusi serta program yang jelas dan terukur untuk keberlanjutan selama lima, sepuluh, bahkan dua dekade ke depan rasanya diperlukan ketika kita berbicara mengenai pendayagunaan dan pengerukan dari alam. 

******