DFW SEBUT MASIH BANYAK KAPAL NELAYAN BELUM TERDAFTAR OLEH PEMERINTAH

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Muhammad Abdi Suhufan

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyatakan bahwa masih banyak kapal berukuran kecil milik nelayan yang belum terdaftar oleh pemerintah sehingga juga menjadi tantangan dalam menerapkan kebijakan penangkapan terukur. Ia mengatakan, sejauh ini pemerintah belum pernah melakukan kegiatan sensus kapal ikan, sehingga jumlah kapal yang teregistrasi diperkirakan jauh dari angka yang sebenarnya.

Mengantisipasi penangkapan ikan berlebih atau overfishing, pihaknya mendukung pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melakukan registrasi kapal ikan melalui kegiatan pengukuran dan penerbitan pas kecil. Ia mengingatkan bahwa bila sensus penduduk dengan 270 juta jiwa berhasil dilakukan  maka hal serupa dapat dilakukan untuk memastikan jumlah kapal ikan dari berbagai ukuran yang diperkirakan jumlahnya kurang dari 700 ribu di Tanah Air.

Semestinya, sensus kapal nelayan dan atau pelaku usaha perikanan menjadi prioritas saat ini. Hal ini dikarenakan, sensus dan registrasi kapal ikan merupakan titik masuk untuk penelusuran hasil tangkapan tuna jika Indonesia ingin mengikuti sertifikasi produk oleh sejumlah lembaga internasional. Abdi menuturkan, apalagi saat ini kegiatan penangkapan tuna oleh nelayan kecil kini makin berkembang, bersamaan pula dengan rencana pemerintah melalui KKP dalam menerapkan kebijakan penangkapan terukur mulai 2022 ini, dimana salah satu tantangan perikanan terukur adalah masih banyak perahu atau kapal penangkapan ikan ukuran kecil yang belum memiliki pas kecil dan Tanda Daftar Kapal Perikanan atau TDKP.

DFW Indonesia bekerja sama dengan Burung Indonesia telah memfasilitasi pengukuran dan penerbitan pas kecil bagi nelayan penangkap tuna di kabupaten Buton. Koordinator Program Wabula, DFW Indonesia, Nasruddin mengatakan pengukuran kapal dan penerbitan pas kecil ini diperuntukan bagi nelayan kecil pada beberapa desa di kabupaten Buton. Kegiatan yang menyasar nelayan penangkap tuna dengan armada di bawah 5 GT ini berhasil mengukur 86 perahu nelayan tuna dan dilaksanakan selama 2 hari yaitu tanggal 8-9 Januari 2022 berlokasi di desa Holimbobo Jaya, Wabula, Wasuembda dan Tolando, kabupaten Buton. Kegiatan ini merupakan bentuk sinergi berbagai pihak dalam perlindungan nelayan dan merupakan implementasi dari kerjasama antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta DFW Indonesia dalam mendukung perlindungan nelayan kecil.

Perlu diketahui sebelumnya terkait kebijakan penangkapan terukur, KKP telah memperkenalkan sistem kontrak dalam penerapan kebijakan penangkapan terukur, sekaligus menjaring masukan dari beragam pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan domestik. Penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan sistem kontrak ini merupakan hal baru yang juga sejalan dengan kebijakan ekonomi biru untuk menyeimbangkan ekonomi dan ekologi. Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini menjelaskan, sistem kontrak yang dimaksud adalah bentuk kerja sama antara pemerintah dengan mitra dalam pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Sedangkan mitra kerja sama tersebut, lanjutnya, adalah berupa entitas usaha berbadan hukum yaitu koperasi dan perseroan terbatas. Zaini mengatakan sistem kontrak ini juga dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dia berharap industri perikanan dapat tumbuh di seluruh wilayah Indonesia dengan potensi perikanan yang besar dari Aceh hingga Papua.

Sensus atau pendataan jumlah kapal dan industri perikanan yang beraktivitas melakukan penangkapan ikan merupakan salah satu langkah awal yang harus segera dilakukan oleh pemerintah. Bagaimana mungkin kemudian pemerintah bisa melawan tindak penangkapan ikan ilegal atau mengukur keefektifan dan implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur apabila kemudian tidak mengetahui secara pasti dan jelas serta terlacak dengan baik, jumlah kapal yang beraktivitas di laut kita. Tentunya aspek “terukur” menjadi sebuah pertanyaan bukan kalau pemerintah saja tidak tahu berapa banyak yang harus diukur.

******