PEMERAN PENTING DALAM KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi perikanan tangkap laut di Provinsi Maluku Utara sebesar 288,2 ribu ton pada tahun 2020. Menurut Gubernur Maluku Utara, KH. Abdul Gani Kasuba Lc, luasan wilayah laut mencapai 79% dari keseluruhan daerahnya. Sementara, untuk Maluku sendiri, mempunyai 4 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) antara lain WPP 714 hingga 717 dan mempunyai potensi sebesar 1,4 juta ton per tahun. Hal ini diungkapkan beliau saat membuka secara resmi Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan Dan Kelautan Indonesia (FP2TPKI) di Hotel Sahid Bela Ternate, Selasa (17/5/2022).
Maluku Utara memang terkenal memiliki sejumlah potensi komoditas perikanan tangkap seperti ikan tuna, cakalang, dan tongkol. Sementara di perikanan budidaya, udang vaname dan rumput laut menjadi primadonanya. Menurut Gubernur Maluku Utara, di tahun 2021 sendiri, perikanan tangkap mencapai 350 ribu ton dan 210 ribu ton perikanan budidaya dengan nilai ekspor mencapai US$3.203 juta. Selain itu Maluku Utara dilengkapi dengan fasilitas 14 pelabuhan perikanan.
Tidak heran jika kemudian Pemerintah Pusat menfokuskan perhatiannya pada Indonesia Timur dan menggagas proyek Lumbung Ikan Nasional di Ambon. Proyek yang sudah digaungkan sejak jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini, akan memakan perkiraan anggaran Rp 3,2 Triliun yang digunakan untuk membangun sejumlah fasilitas, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan.
Namun sayangnya, ini bertitik tolak dari realita pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Menurut laporan BPS 2021, masyarakat belum berada dalam level sejahtera yang ideal, termasuk masyarakat pesisirnya yang masih belum sejahtera, Maluku Utara memiliki potensi sumber daya ikan tinggi, tetapi pembangunan tambang di daerah pesisir telah berdampak terhadap kondisi lingkungan. Belum lagi perluasan perkebunan sawit juga banyak mendesak masyarakat ke arah pesisir. Dengan kondisi ini mereka dikepung oleh tekanan eksploitasi sumber daya alam yang membuat akses terhadap sumber penghidupan berkurang.
Memiliki sejumlah instrumen hukum dan kebijakan yang bernarasikan kesejahteraan dan keadilan di sektor kelautan dan perikanan. Mulai dari Undang-Undang (UU) Kelautan, UU Pesisir, UU Perlindungan Nelayan, hingga Peraturan Pemerintah (PERMEN) dan Keputusan Menteri (KEPMEN), salah satunya adalah KEPMEN KP No. 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. KEPMEN KP No. 19/2022 yang dikeluarkan KKP menyatakan stok perikanan tangkap masih dalam status kuning atau masih ‘aman’. Padahal kenyataannya, stok perikanan tangkap hampir diseluruh Indonesia sudah masuk ke zona merah alias exploited atau fully-exploited dan akan sangat membahayakan apabila masih dipaksakan untuk memenuhi kuota proyek nasional macam penangkapan ikan terukur.
Terbaru, kebijakan penangkapan ikan terukur bukan lagi termasuk dalam Omnibus Law, walaupun pertama ditelurkan didalam Undang-Undang Cipta Kerja yang sedang dalam ‘penahanan’ Mahkamah Konstitusi. Sekarang penangkapan ikan terukur masuk ke dalam Undang-Undang Perikanan No.45 Tahun 2009. Padahal UU Perikanan merupakan ‘rezim izin’ bukan ‘rezim kontrak’ seperti skema penangkapan ikan terukur. Padahal sektor Kelautan dan Perikanan dihadirkan bukan semata-mata sebagai ‘mesin pencetak uang’ dan sudah menjadi tugas dan fungsi utama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merumuskan kebijakan yang berfokus pada kesejahteraan dan keberlanjutan laut dan masyarakat pesisir, pengelolaan ruang laut yang berbasis pada penelitian murni dan transparan. Seharusnya pemerintah juga merefleksikan keadaan sektor KP dari tahun-tahun sebelumnya dan berfokus pada perubahan zona perikanan tangkap merah menjadi hijau di tiap WPP. Restorasi dan konservasi seharusnya diutamakan dan dievaluasi lebih lanjut untuk menjawab krisis stok ikan per WPP, bukan malah memborbardir sektor KP dengan proyek nasional yang bersifat eksploitatif.
Begitu banyaknya program dan proyek nasional yang justru bertolak dari semangat keberlanjutan dan kesejahteraan nelayan menjadi poin penting mengapa keberadaan dan opini masyarakat madani dan akademia dapat melengkapi Pemerintah. Wakil Ketua FP2TPKI Dr Ersy Yuika Sari, menuturkan FP2TPKI sangat berkomitmen untuk mendukung kebijakan nasional dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan, sehat dan kaya dalam konsisten mensejahterakan masyarakat.
Karena itu, FP2TKI ini bisa menjadi forum kajian yang strategis untuk memberikan rekomendasi terhadap kebijakan kelautan dan perikanan pada penghujung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan antara lain, mengevaluasi kebijakan poros maritim dunia di era Presiden Jokowi, sehingga memerlukan pembangunan kebijakan berbasis sains. Rekomendasi berikutnya adalah peningkatan partisipasi FP2TPKI dan masyarakat madani dalam penyusunan kebijakan. Yang tak kalah penting adalah penyelesaian masalah keadilan dan kesejahteraan yang disebabkan oleh kerusakan sumber daya alam di Indonesia timur.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Wiro Wirandi, Manajer Program Kelautan EcoNusa. Wiro mengatakan Lembaga FP2TPKI ini strategis tetapi belum maksimal dalam memainkan perannya terkait kelautan dan perikanan. Ada banyak penelitian yang sudah dilakukan dan dihasilkan, tetapi belum dijadikan referensi pembuatan kebajikan. Penelitian itu sifatnya masih parsial sifatnya. “Ada banyak doktor, profesor dan para pakar, tetapi pemerintah masih belum memosisikan lembaga ini seperti lembaga think tank,” kata Wiro.
******