MENANTI PENGESAHAN RUU MASYARAKAT HUKUM ADAT BAGI KEADILAN MERATA UNTUK MASYARAKAT PESISIR

Foto: SONY DSC

Indonesia merupakan negara kesatuan dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sebagai negara kepulauan, tentunya wilayah pesisir Indonesia tersedia pada tiap daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darah dan laut seperti yang dituliskan pada Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

Menurut Pasal 1 (30) dikatakan bahwa pemangku kepentingan utama adalah para pengguna sumber daya dan pulau-pulau kecil dan salah satunya adalah Masyarakat Hukum Adat (MHA). MHA menurut UU No.1/2014 adalah “sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”  

Keberadaan MHA di kawasan pesisir sendiri sudah diakui negara sejak tahun 2004 yaitu tepatnya ketika Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan dikeluarkan. Pada Pasal 6 UU tersebut dinyatakan bahwa ​​pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat. Namun sayangnya, berdasarkan temuan dari Destructive Fishing Watch, sekitar 35% masyarakat pesisir di pulau-pulau kecil terluar (PPKT) hidup di dalam tingkat kemiskinan yang tinggi. Bahkan angka tersebut mengalahkan angka nasional sebesar 9,71% di tahun 2021. Hak-hak yang kemudian dituliskan pada Undang-Undang, nyatanya hingga saat ini masih belum terealisasikan dengan baik. Masih banyak perampasan ruang hidup masyarakat adat dan pesisir untuk kemudian dijadikan ruang industri dan keberadaan mereka tidak dianggap.

Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai masyarakat adat juga masih dalam status ‘dormant’ alias belum jelas nasibnya. RUU ini sangat vital keberadaannya sebagai landasan hukum yang mengikat negara, pelaku investasi, dan masyarakat adat itu sendiri dalam berinteraksi dan melakukan pemanfaatan di wilayah masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat sejatinya sudah disetujui di Rapat Pleno Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2020 yang lalu, namun belum disahkan pada Rapat Paripurna DPR, tanpa kejelasan penyebabnya.

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo bersama sejumlah Kementerian termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), badan terkait lainnya berkumpul di Wakatobi, Sulawesi Tenggara untuk mengadakan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 sebagai bentuk pengakuan dengan memberikan sertifikat tanah kepada warga Wakatobi yang bermukim di perairan. Menjadi angin segar bagi ketidakjelasan status kepemilikan tanah di wilayah hunian masyarakat pesisir, MHA masih menanti kejelasan dari pemerintah. 

MHA memiliki peranan penting dalam tatanan hidup mereka di wilayah pesisir; bagaimana kemudian cara untuk melestarikan dan memanfaatkan sumber daya alam pesisir di lingkungan hidup mereka dengan mempraktekkan kearifan lokal. Kearifan lokal ini merupakan salah satu langkah tepat dalam mitigasi iklim karena sudah sejak turun temurun, MHA menanamkan pengetahuan dan pemahaman tentang alam dan sumberdayanya berdasarkan karakterisitik geografis di masing-masing tempat. Pengetahuan dan pengalaman yang sudah dikumpulkan selama ratusan atau puluhan tahun ini sebenarnya dapat dijadikan salah satu aspek esensial bagi Pemerintah dalam mengadakan regulasi atau kebijakan. 

Salah satu bukti praktik perikanan dengan berasaskan tradisi adat yang memitigasi iklim maupun overfishing ada di Papua Barat  bernama Sasi Nggama. Sasi Nggama merupakan sebuah praktik tradisi yang diaplikasikan di perairan Kaimana oleh masyarakat pesisir merupakan tradisi adat dimana diadakan sistem ‘buka-tutup’ mengenai kapan masyarakat boleh mengambil hasil laut, dan kapan hal itu dilarang. Periode larangan mengambil hasil laut ini bisa bervariatif, tergantung kebijakan dari kampung masing-masing. Ada yang memberlakukannya selama 11 bulan, 2 tahun, bahkan hingga 4 tahun. Jika dalam periode larangan ini ada yang melanggar aturan, maka mereka akan dikenakan denda.

Maka sebelum Pemerintah muncul dengan sistem zonasi atau Perikanan Tangkap Terukurnya dan kebijakan atau armada lain, beberapa praktik pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir berbasis masyarakat adat sudah ada terlebih dahulu hadir, antara lain awig-awig, lamba,, panglima laot, malombo, romping, seke, pele-karang, dan sasi serta masih banyak yang lainnya. Tradisi-tradisi ini pantas untuk dihormati dan dibina, bagaimana kemudian nilai-nilai penghormatan alam guna menjaga kelestariannya, bisa diaplikasikan dalam ranah kebijakan modern tanpa mengganggu hak-hak MHA dan masyarakat tradisional pesisir. Dalam acara National Policy Dialog on Sustainable Fisheries and Ocean Webinar Online, yang diadakan EcoNusa pada Juni lalu, Prof. Rilus. A Kinseng MA selaku Guru Besar Ilmu Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, dalam rezim sumber daya laut sekarang, MHA memiliki kekuatan yang cukup besar sepanjang sistem adatnya masih berlaku. Namun sistem adat ini mulai memudar seiring perkembangan zaman. Dibutuhkan bukan hanya sekadar pranata hukum adat dan tatanan adat yang kuat saja, tetapi juga kepastian hak dan pengakuan dari Pemerintah akan keberadaan dan praktik adat itu sendiri melalui pengesahan RUU MHA.

******