Nuansa merdeka secara penuh dalam momentum dirgahayu kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-77 tak dirasakan lagi nelayan dan masyarakat pesisir yang tinggal di sepanjang pesisir Kampung Baru, Kota Manado. Merdeka bagi nelayan dan masyarakat pesisir adalah pemenuhan atas Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 dan Undang-undang nomor 7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya ikan, dan Petambak garam, yang menjadi mandat Pemerintah dalam memegang amanat Republik ini. Kehadiran perusahaan swasta yaitu PT. Tj Silfanus yang melakukan penimbunan Pantai Minanga-Malalayang telah mengabaikan hak konstitusional nelayan yang sekaligus mencabut dan menghancurkan kemerdekaan bagi nelayan dan masyarakat pesisir.
Korporasi tersebut berencana melakukan penimbunan pantai (reklamasi lahan) di Pantai Minanga-Malalayang sepanjang ± 500 meter. Sejak awal rencana penimbunan pantai ini mulai muncul, berbagai penolakan telah dilontarkan nelayan dan masyarakat pesisir. Namun sejak 1 Agustus 2022, PT. Tj Silfanus telah memulai aktivitas penimbunan pantai di Pantai Minanga. Melihat adanya aktivitas penimbunan pantai, masyarakat pesisir di sekitar Pantai Minanga melakukan penghadangan untuk menghentikan aktivitas perusahaan karena menolak keras penimbunan pantai tersebut.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa aktivitas penimbunan pantai yang tengah dan akan dilakukan di Pantai Minanga merupakan bentuk penghancuran wilayah pesisir beserta ekosistem yang hidup di dalamnya secara terencana. Penimbunan pantai bertolak belakang dengan semangat perlindungan wilayah pesisir khususnya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang tengah dilakukan dan diperjuangkan oleh nelayan dan masyarakat pesisir yang hidup di wilayah tersebut.
Lebih jauh, Susan menyatakan, aktivitas penimbunan pantai tersebut telah merusak ekosistem alami terumbu karang yang ada di perairan Pantai Minanga. KELOLA (Kelompok Pengelola Sumber daya Alam) yang sebelumnya telah membuat studi terkait terumbu karang bersama Scientific Exploration Team, menemukan material-material penimbunan pantai berupa batu menimpa dan merusak ekosistem terumbu karang yang hidup di perairan Pantai Minanga. Temuan lainnya, adanya spesies karang berstatus dilindungi yaitu Kima Raksasa (Tridacna) yang terancam kehidupannya pada perairan yang ditimbun. Padahal di dalam kebijakan Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jelas mengatur terhadap larangan merusak ekosistem terumbu karang.
Melanggar Peraturan Perundang-undangan Yang Ada
“Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dalam Pasal 35 secara tegas menyebut bahwa setiap orang secara langsung maupun tidak langsung dilarang menimbulkan kerusakan atau merusak ekosistem terumbu karang, juga dilarang melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya,” tegas Susan.
Susan melanjutkan, di dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 pada Pasal 73 menerangkan tentang ketentuan pidana bagi yang melakukan pengrusakan terumbu karang. “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana dengan paling sedikit Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang yang sengaja mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 35,” jelas Susan.
KIARA telah melihat di berbagai wilayah bahwa praktik penimbunan pantai selain merusak 3 (tiga) ekosistem di wilayah pesisir dan laut (:ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove), juga membatasi bahkan memutus hak konstitusional nelayan dan masyarakat pesisir. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010 telah dijelaskan bahwa hak konstitusional nelayan antara lain: 1). hak untuk melintas dan mengakses laut; 2). hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3). hak untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan laut; serta 4). hak untuk mempraktikkan adat istiadat atau kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut.
Susan menegaskan bahwa proyek penimbunan pantai telah berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan di berbagai tempat yang telah terjadi. Hal penting lainnya adalah KIARA mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera menindak PT. Tj Silfanus dan korporasi lainnya yang telah dan tengah melakukan penimbunan pantai yang merusak ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut, sehingga minumbulkan efek jera dan menunjukkan eksistensi dan standing position yang tegas dari negara dalam mewujudkan perlindungan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil serta ekosistem di dalamnya secara adil dan berkelanjutan.
******
Sumber utama: Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)