NELAYAN INDONESIA DITEMBAK DI PAPUA NUGINI

Evakuasi jenazah Sugeng, nahkoda KMN Calvin-02 yang tewas dalam insiden penembakan yang dilakukan Patroli Laut Papua Nugini, Senin 22 Agustus 2022 yang lalu.

Nelayan Indonesia, Sugeng, menjadi korban tewas penembakan anggota patroli laut rutin milik Papua Nugini pada 22 Agustus lalu. Sugeng, selaku Nahkoda kapal memasuki wilayah laut Papua Nugini dari daerah asalnya Merauke. Kepala Badan Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri Papua suzanna Wanggai menyatakan bahwa dari laporan awal yang diterima pada hari itu, terungkap bahwa terdapat tiga kapal nelayan yang tertangkap tangan menjaring ikan di perairan Papua Nugini. Dua kapal berhasil ditangkap dan nahas, kapal KMN Calvin 02 yang dinahkodai Sugeng, justru melarikan diri hingga terjadilah insiden penembakan tersebut.

Dua hari setelah kejadian tersebut, Kementerian Luar Negeri memanggil Kuasa Usaha Sementara Papua Nugini ke Jakarta. Tidak lain dan tidak bukan, Pemerintah Indonesia menyampaikan rasa penyesalan akan tindakan yang diambil oleh pihak Patroli Laut, dimana insiden ini mengakibatkan Nahkoda KMN Calvin 02 asal Indonesia tersebut meninggal dunia. Pemerintah Indonesia juga meminta pihak Papua Nugini untuk melakukan investigasi secara menyeluruh dan menerapkan hukuman tegas apabila ditemukan pelanggaran prosedur termasuk penggunaan kekuasaan yang berlebihan.

Bukan hanya insiden penembakan, melalui kesempatan ini, Kemenlu juga meminta konfirmasi mengenai ditahannya dua kapan nelayan Indonesia yaitu KMN Arsial 77 dan KMN Baraka Paris dengan total awak sebanyak 13 anak buah kapal (ABK). Identitas ke 13 nelayan KM Arsyla 77 yang ditangkap yakni bernama Sarif Casiman (32/nakhoda), Riki Heni Setiawan (38), Farid Sasole (32) Feli Puswaskor (22), Joni (46), Ceno Jelafui (28), Rohman (43), Joni (51), Amin Nurul Mustofa (21), Nuriadi (42), Beni Wasel (26), Fernando Tuwok (22) dan Laode Darsan (40)  (iNews, 2022).

Polisi sedan melakukan olah TKP di kapal Calvin-02.

Tentunya KORAL tidak membenarkan tindakan Papua Nugini yang menembaki kapal ikan milik Indonesia. Kekerasan tentu bukan solusi dalam menertibkan IUUF. Walaupun tidak dapat disanggah, nelayan Indonesia yang berada di Merauke, misalnya, selalu menangkap ikan secara ilegal ke Papua Nugini guna menargetkan hasil tangkapan berupa gelembung ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Harga gelembung renang ikan gulama golongan 10 gram dapat mencapai Rp20 juta per kilogram, sedangkan golongan 40 gram bisa mencapai Rp50 juta per kilogram. Gelembung renang ikan duri dapat dihargai Rp150 ribu per kilogram.

Hal ini kembali membuka mata Pemerintah Indonesia, bahwa tindakan ilegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) atau penangkapan ikan ilegal, tidak teregulasi, dan tidak dilaporkan masih dilakukan oleh nelayan Indonesia. Selama ini Pemerintah sibuk memberitakan keberhasilan Indonesia dalam menangani tindak IUUF yang dilakukan kapal ikan asing (KIA), namun sepertinya masih belum dapat menerima kenyataan warga Indonesia sebagai pelaku di negara lain seperti Australia dan Papua Nugini. Hal ini dikarenakan batas wilayah perairan Negara memang menjadi ‘ladang’ yang jarang dihinggapi nelayan sehingga peluang untuk mendapatkan ikan pastinya lebih besar, begitu pun dengan resikonya yang juga tinggi. 

Pemerintah harus lebih proaktif dalam melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai IUUF kepada nelayan. Diikuti dengan resiko hukum di tiap negara yang bersinggungan dengan mereka seperti Australia, Papua Nugini, Vietnam, dan Philipina. Hal yang bisa dilakukan Pemerintah juga dengan menambah armada pengamanan laut, bukan hanya untuk sekadar mengamankan laut Indonesia dari KIA, namun juga menjadi pengawas bagi kapal ikan Indonesia yang sudah mulai mendekati atau melewati batas perairan negara. 

Selain itu, ‘perburuan’ akan wilayah perairan yang subur ikan ini tentunya perlu juga digarisbawahi. Laut Indonesia semakin sekarat dengan berkurangnya jumlah ikan karena banyak hal mulai dari tindak penangkapan ikan yang eksploitatif dan tidak selektif, hingga aktivitas penambangan yang destruktif seperti penambangan pasir dan nikel. Kita harus ingat, jika rumput milik sendiri jauh subur, tentunya kita tidak akan menilik rumput milik tetangga bukan? Hal-hal inilah yang harus direfleksikan kembali dalam mengatasi sebuah permasalahan. Kembali ke akar rumput permasalahannya dan dituntaskan kesana. 

IUUF bukan hanya beresiko tinggi secara hukum dan mencoreng nama baik warga negara saja, tapi terlebih, mencoreng nama baik Negara yang dianggap tidak mampu menjamin kesejahteraan dan keamanan rakyatnya. KORAL berharap, insiden ini tidak akan terjadi lagi kedepannya dan Pemerintah mampu, secara sadar dan legowo, menerima kenyataan warga Indonesia sebagai pelaku IUUF dan menghadirkan solusi hingga ke akarnya untuk menuntaskan hal ini.

******