Analisis tentang percakapan publik terkait ekspor pasir laut dilakukan oleh INDEF atau Institute for Development of Economics and Finance. Analisis ini menggunakan big data dari Twitter yang dirangkum sejak tanggal 30 Mei hingga 12 Juni 2023. Hasilnya, dari 9,9 juta cuitan yang diteliti, terdapat dua tokoh yang paling disorot terkait kebijakan ini adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Presiden Joko Widodo. Menteri Luhut sendiri mendapatkan 3,8 juta cuitan.
Dari 28.561 akun media sosial Twitter, ada 40.702 diskusi tentang ekspor pasir laut. Menurut Maisie Sagita, selaku Data Analyst Continuum INDEF, data tersebut benar-benar menggambarkan opini publik di platform tersebut karena telah dikumpulkan dari buzz dan media. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, yang hanya memiliki 800 juta percakapan di Twitter, tidak mendapat perhatian publik sebanyak Jokowi dan Menteri Luhut. Padahal, Maisie menyatakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah salah satu lembaga yang mendapat manfaat dari kebijakan ini. Pasalnya, seperti yang dijelaskan oleh Maisie, penandatanganan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut akan menghasilkan peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) melalui KKP.
Hasil analisis menunjukkan bahwa warganet menganggap kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi justru menjual kedaulatan Indonesia dan “tanah air”. Percakapan yang menyoal pendapat tersebut hampir mendominasi setengah temuan atau mencapai 49,8%. Selain itu, Maisie menyatakan bahwa masyarakat menganggap pengambilan kebijakan ini terlalu berani. Faktor penyebabnya adalah bahwa Indonesia telah melarang ekspor pasir laut selama 20 tahun terakhir untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah yang disebabkan oleh penambangan pasir laut. Namun, pemerintah secara tiba-tiba mengeluarkan PP yang justru membuat lingkungan menjadi terancam.
Selain itu, pernyataan Menteri Luhut kepada media menjadi perhatian publik terkait kebijakan ekspor pasir laut. Maisie mengatakan bahwa warganet tidak setuju dengan pernyataan Menteri Luhut bahwa ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan tetapi sebaliknya menyehatkan lingkungan. “Alhasil, warganet meminta Menteri Luhut untuk tidak hanya memikirkan keuntungan bisnis saja, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya seperti pulau kecil yang terancam hilang.” ujar Maisie.
Sementara itu, pernyataan Menteri Sakti Wahyu Trenggono yang dianggap membingungkan menarik perhatian publik di Twitter. Maisie menyatakan bahwa banyak warganet mempertanyakan pernyataan Menteri Sakti bahwa kebijakan ekspor pasir laut bertujuan untuk memenuhi reklamasi dalam negeri.
Sebanyak 18.9% warganet juga percaya bahwa kerugian negara akibat kerusakan lingkungan akan jauh lebih besar daripada keuntungan bisnis dari ekspor pasir laut. Sebanyak 2,6% warganet menganggap kebijakan ini sebagai akal-akalan oligarki, dan 1% warganet percaya bahwa kebijakan ini dapat membahayakan kehidupan nelayan. Alhasil sebanyak 10,6% meminta Jokowi membatalkan izin ekspor pasir laut. Warganet juga masih menolak PP 26/2023 untuk reklamasi domestik dan ekspor.
Mayoritas Menolak, Masa Depan PP 26/2023 Bagaimana?
Sejauh ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan bahwa ekspor pasir laut masih dilarang. Dilansir dari Liputan 6, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso mengatakan bahwasanya hingga saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai peraturan ekspor pasir laut yang tertuang dalam regulasi yang dikeluarkan oleh Kemendag. Di sisi lain, Budi juga menjelaskan bahwa PP 26/2023 memperbolehkan pengerukan hasil sedimentasi atau pasir laut untuk kebutuhan dalam negeri, namun hingga saat ini peraturan teknis belum ada. Budi juga mengatakan bahwa KKP telah membuat tim penilai dan memperbolehkan pengerukan pasir laut di titik tertentu, namun ekspor tetap belum dapat dilakukan karena aturan ekspor Kemendag belum diubah.
Lalu apakah PP 26/23 dengan segala peraturan turunannya hanya perlu mendengar dan menghargai hasil diskusi pejabat Pemerintahan saja? KORAL berpendapat tidak begitu. Dengan adanya banyak pertanyaan dan penolakan dari rakyat, Pemerintah harusnya berpikir berkali-kali sebelum menggadaikan alam dan justru mengarahkan lingkungan pada kerusakan dan kehancuran.
KORAL tidak henti-hentinya mengingatkan dan menghimbau Pemerintah, bahwa dampak kerusakan lingkungan bukan dirasakan oleh Pemerintah yang duduk nyaman di Ibukota. Degradasi lingkungan justru dirasakan oleh warga pesisir yang daerahnya menjadi area pengerukan pasir atau ‘hasil sedimentasi di laut’. Mereka yang akan merasakan dampak abrasi ataupun erosi, pendalaman laut yang membunuh terumbu karang dan mengusir ikan-ikan, hingga gempuran ombak dan arus yang mengancam nyawa para nelayan dan masyarakat pesisir. Jika kemudian Pemerintah lebih mengutamakan keuntungan yang diprediksi mencapai Rp 74 miliar saja (Liputan 6, 2023), dapat disimpulkan bahwa sebesar itulah harga tanah air kita; dan sebesar itulah harga Pemerintah Indonesia yang dapat dibeli sejumlah kepentingan milik kaum oligarki.
***