PERJANJIAN KERJA LAUT DAN ANCAMAN EKSPLOITASI KERJA DI KAPAL PERIKANAN

Perjanjian Kerja laut (PKL) menjadi kunci untuk mencegah perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan para oknum di atas kapal ikan asing (KIA) ataupun kapal ikan Indonesia (KII). Kehadiran PKL diyakini akan bisa mencegah terjadinya eksploitasi awak kapal perikanan (AKP) yang akan dan sedang bekerja di atas kapal perikanan.

Agar PKL bisa menjadi senjata untuk melindungi para AKP asal Indonesia dari eksploitasi di atas kapal perikanan, Pemerintah Indonesia terus memperkuat PKL yang akan menjadi bukti hubungan kerja antara AKP dengan pemilik kapal perikanan.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPT KKP) Mansur pekan lalu di Jakarta. Dengan PKL, dia yakin akan bisa meminimalkan resiko yang harus dihadapi AKP saat sedang bekerja.

Selain bisa mencegah perbuatan eksploitatif kepada para AKP dari Indonesia, keberadaan PKL yang diterbitkan DJPT KKP juga diyakini akan bisa memberikan perlindungan dan pemenuhan antara hak dan kewajiban AKP. “Penerapan PKL ini juga memberikan jaminan sosial untuk AKP,” ungkap dia.

Menurut Mansur, keberadaan jaminan sosial juga akan bisa memberi perlindungan kepada AKP, karena ada resiko pekerjaan yang selalu mengintai mereka saat ada di atas kapal. Resiko tersebut, bisa kecelakaan kerja, ataupun kematian.

Jaminan sosial yang bisa memberikan perlindungan tersebut, tidak lain adalah asuransi kesehatan dan pekerjaan yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia melalui BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan data yang ada di 49 pelabuhan perikanan Indonesia, sudah ada sebanyak 133.796 AKP yang terdaftar sebagai peserta jaminan sosial atau asuransi.

Dia menuturkan, rincian 49 pelabuhan perikanan yang sudah menyampaikan data, terdiri dari 22 unit pelaksana teknis (UPT) Pusat, 21 UPT Daerah, lima pelabuhan perintis/SKPT, serta satu pelabuhan umum. “Kami berharap terus meningkat sehingga para AKP dapat terlindungi jiwa dan sosialnya,” sebut dia.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi mengatakan bahwa ada persoalan lain yang tak kalah penting, agar perlindungan kepada para AKP Indonesia bisa berjalan lebih baik dan tegas.

Hal tersebut tidak lain adalah transparansi pengupahan yang perlu dipastikan lagi, khususnya yang menggunakan sistem bagi hasil. Untuk itu, diperlukan kajian lebih lanjut perlu agar bisa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. “Jika norma dalam undang-undang tersebut dirasa sudah tidak relevan atau perlu penyesuaian pengaturannya, mungkin perlu diusulkan untuk revisi terhadap ketentuan tersebut,” tegas dia.

Tentang PKL, Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Sulawesi Utara Ady Candra memberikan tanggapannya. Menurut dia, sampai sekarang masih sering terjadi para AKP mengalami hambatan di lapangan karena implementasi PKL yang tidak berjalan baik. Salah satunya, karena belum semua pemilik kapal perikanan memahami akan pentingnya keberadaan PKL bagi mereka dan AKP. Dia menilai, perlu dilakukan sosialisasi lebih banyak dengan menggunakan pendekatan persuasif kepada para pemilik kapal. “Pelaksanaannya bisa dilakukan bertahap berdasar ukuran kapal perikanan serta mengatur mekanisme transparansi dalam sistem pengupahan AKP,” tambah dia.

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan berbagai jaminan sosial harus diberikan kepada masyarakat kelautan dan perikanan. Hal ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.

Saat Pemerintah Indonesia sedang fokus untuk menguatkan peran PKL sebagai salah satu bentuk perlindungan kepada AKP, di saat yang sama laporan dari para AKP terus bermunculan. Salah satunya, yang diterima oleh National Fishers Center (NFC).

Manager NFC Imam Trihatmadja dalam keterang resmi kepada Mongabay Indonesia, mengatakan bahwa selama periode enam bulan terakhir yang dihitung sejak Januari 2022, NFC sudah menerima sebanyak 19 pengaduan dari nelayan dan AKP.

Dari 19 pengaduan tersebut, korban yang berasal dari pekerja sektor perikanan dan nelayan jumlahnya mencapai 63 orang. Dari semua itu, sebaran kasus yang berasal dari dalam negeri sebanyak 12 dan pengaduan yang berasal dari AKP Indonesia yang bekerja di KIA sebanyak 7 kasus.

Dia menjelaskan, dari semua kasus yang sudah dilaporkan ke NFC, sebagian besar adalah berkaitan dengan kasus AKP yang tidak mendapatkan pembayaran gaji selama bekerja, asuransi dan jaminan sosial yang tidak jelas, penipuan, dan repatriasi. “Pihak dalam pengaduan tersebut yang paling sering dilaporkan adalah manning agent, pemilik kapal perseorangan dan perusahaan pemilik kapal,” jelas dia.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan juga memberikan tanggapannya tentang tata kelola AKP dan nelayan Indonesia yang masih terus dilakukan sampai detik ini oleh Pemerintah Indonesia dan para pihak lainnya. Menurut dia, perbaikan tata kelola memang mutlak harus dilakukan karena penduduk Indonesia yang bekerja sebagai AKP dan nelayan jumlahnya sekitar 2,2 juta jiwa orang. Mereka itu, ada yang bekerja untuk kapal ikan di dalam negeri, dan juga tak sedikit untuk KIA. “Dan juga bekerja secara mandiri dalam usaha penangkapan ikan skala kecil,” ungkap dia.

Selain itu, dia mengakui kalau kegiatan penangkapan ikan merupakan sektor usaha yang memiliki tingkat resiko tinggi, berbahaya, sulit, dan kotor. Untuk itu, perlindungan terhadap para pekerja yang terlibat dalam usaha terebut wajib dilakukan oleh para pihak terkait.

Melalui NFC, para AKP dan nelayan yang bekerja pada usaha perikanan tangkap diharapkan bisa aktif untuk memberikan aduan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Peran tersebut, menjadikan NFC sebagai platform yang bisa menghubungkan AKP dan nelayan dengan pihak lain yang berkaitan. Suhufan menyebutkan, sejauh ini banyak masalah, kejadian dan keluhan kegiatan penangkapan ikan yang berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan kurang mendapat perhatian oleh pemerintah dan pelaku usaha. Padahal, beberapa ketentuan-aturan dan pasar internasional telah mensyaratkan pentingnya aspek perlindungan sosial, uji tuntas hak asasi manusia, dan pemenuhan standar ketenagakerjaan dalam kegiatan penangkapan ikan. Kata dia, salah satu prinsip tanggung jawab sosial dalam kegiatan penangkapan ikan adalah jaminan kesetaraan dan kesempatan yang adil bagi semua pihak yang terlibat, dengan cara penyediaan mekanisme pengaduan dan akses ke pemulihan pekerja yang menjadi korban.

Dalam konteks tersebut, NFC hadir sebagai alternatif pengaduan AKP dan sekaligus melengkapi layanan pengaduan yang selama ini telah ada. Selain sebagai layanan pengaduan, NFC memberikan layanan edukasi, rujukan dan data management terkait dengan AKP.

Desakan Ratifikasi

Di sisi lain, desakan untuk memberikan perlindungan lebih baik kepada para pekerjaan perikanan yang berprofesi sebagai AKP juga terus disuarakan oleh banyak pihak sejak beberapa tahun terakhir. Kampanye tersebut, utamanya adalah desakan untuk melaksanakan ratifikasi peraturan internasional yang berlaku. Aturan yang dimaksud, adalah norma perlindungan bagi AKP yang dibuat Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) atau Konvensi ILO Nomor 188 (ILO C-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno belum lama ini memberikan tanggapannya kenapa AKP Indonesia masih mengalami nasib yang tidak baik saat bekerja di atas kapal perikanan milik pelaku usaha negara lain. Menurut dia, karena hingga sekarang belum ada aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) berkaitan dengan tata laksana rekrutmen dan penempatan AKP yang menjadi turunan dari UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. “Itu semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya eksploitasi terhadap AKP Indonesia,” ucap dia.

Ketidakjelasan aturan di dalam negeri, juga dinilai akan bisa melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia di level internasional. Kondisi tersebut bahkan akan semakin memburuk, jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi ILO 188 belum dilakukan diratifikasi.

Greenpeace Indonesia pada momen sebelumnya juga menjabarkan secara rinci kenapa perlindungan kepada para AKP Indonesia saat ini masih lemah. Penyebabnya, karena jaminan hukum masih bersifat sangat umum, belum secara khusus ditujukan untuk AKP. Hal tersebut membuat nasib para AKP selalu bergantung kepada perjanjian yang disepakati dengan pemilik kapal sebelum berangkat bekerja. Fakta tersebut menjadi ironi, karena peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya sudah ada, meski berlaku secara umum.

Selain UU No.18/2017, ada juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan untuk melengkapi Permen KP No.42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan. Kemudian, ada juga UU No.17/2008 tentang Pelayaran. Pada Pasal 151 dibahas tentang kesejahteraan para AKP yang meliputi gaji, jam kerja dan jam istirahat, jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke tempat asal, kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi akibat mengalami kecelakaan, kesempatan untuk mengembangkan karier, pemberian akomodasi, fasilitas untuk rekreasi, nutrisi, dan pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja. Terakhir, adalah UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang di dalamnya tidak ada klausul yang secara khusus mengatur tentang pelaut.

Secara umum, persoalan yang masih terjadi adalah lemahnya komitmen untuk jaminan perlindungan hukum, yang di dalamnya mencakup penyusunan Rancangan PP tentang Perlindungan AKP yang sejalan dengan standar internasional, serta ratifikasi ILO C-188. Kemudian, perlunya dilaksanakan sinkronisasi antara pendidikan dan pelatihan bagi pelaut dan AKP yang sesuai dengan Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga Bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F). Masalah berikut, adalah belum rapinya tata kelola yang mengatur perusahaan yang melaksanakan penempatan kerja bagi para pelaut dan AKP. Serta tidak adanya sumber data terpadu untuk menelusuri keberadaan pelaut dan AKP Indonesia yang bekerja KIA.

Diketahui, sejak dua tahun lalu Pemerintah Indonesia sudah berjanji akan mempercepat proses ratifikasi ILO C-188 agar bisa memberikan perlindungan kepada para TKI yang bekerja sebagai AKP pada kapal perikanan asing.

Dengan melakukan ratifikasi, maka Negara bisa melaksanakan tujuan dasar perlindungan kepada AKP, yaitu memastikan bisa merasakan kondisi kerja yang layak di atas kapal perikanan. Itu berarti, ada syarat minimal yang harus diberikan kepada para AKP untuk bisa bekerja di kapal perikanan, baik di dalam atau luar negeri.

Selain persyaratan layanan, ada juga persyaratan berupa akomodasi dan makanan, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, perawatan kesehatan, dan jaminan sosial. Semua persyaratan itu hanya bisa diberikan, jika ILO C-188 dilakukan ratifikasi.

Selain Indonesia yang tengah berjuang, ada juga 18 negara yang lebih dulu melakukan ratifikasi ILO C-188 dan sudah menerapkannya, yaitu Angola, Argentina, Bosnia dan Herzegovina, Kongo, Estonia, Prancis, Lithuania, Maroko, Namibia, Norwegia, Senegal, Afrika Selatan, Thailand, dan Inggris Raya. Sementara, empat negara yang sudah ratifikasi namun belum menerapkan (not in force), adalah Belanda, Polandia, Portugal, dan Denmark. Khusus Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sempat menyebutkan pada 2019 sudah ada kesempatan untuk melaksanakan ratifikasi.

Tetapi, kesempatan yang datang pada 7 Mei 2019 itu tidak bisa dilaksanakan, karena Pemerintah menyatakan belum siap untuk melaksanakan ratifikasi, mengingat belum dilakukan optimalisasi sejumlah peraturan perundang-undangan di dalam negeri dengan mengadopsi ketentuan dalam ILO C-188.

Dengan melaksanakan ratifikasi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo menyebutkan kalau itu tak hanya akan menjadi bukti kepedulian Negara kepada para AKP, namun juga mendorong terciptanya praktik kerja tanpa ada paksaan dan perbudakan. Pentingnya melakukan ratifikasi, karena dalam UU No.13/2002 tidak mengenal pelaut atau pekerja di atas kapal perikanan, dan jam kerjanya tidak berlaku untuk pekerjaan di atas kapal. Semua itu tertuang dalam Pasal 77 Ayat 3. Kemudian, UU No.18/2017 juga dinilai sudah salah dalam menyebut nomenklatur Pelaut. Padahal, istilah Pelaut Awak Kapal atau Pelaut Perikanan tidak dikenal dalam konvensi-konvensi internasional. Begitu juga, Konvensi ILO tidak mengakui pelaut sebagai pekerja migran, meski profesi tersebut banyak dilakukan di luar negara asal dari pelaut.

******

Sumber Utama: Destructive Fishing Watch Indonesia