Pada Kamis, 11 April 2024, pukul 21.54 ICT, laporan mengejutkan diterima oleh National Fishers Centre (NFC) tentang enam pekerja kapal perikanan domestik (AKP) yang nekat melompat ke Laut Arafura dekat Kepulauan Aru. Insiden ini mengungkap realitas kelam di balik praktik penangkapan ikan ilegal, yang ternyata juga mencakup perdagangan manusia. Dari enam AKP yang melompat, satu dinyatakan hilang, dan kejadian ini memicu penyelidikan mendalam oleh NFC dan otoritas terkait.
Keberangkatan Menuju Laut Arafura
Sebelum berangkat, para pekerja ini direkrut oleh calo informal di Pelabuhan Perikanan Juwana melalui iklan di Facebook. Kebanyakan dari mereka adalah pengangguran yang putus asa mencari nafkah. Mereka dijanjikan gaji dan tunjangan hari raya yang menarik, tetapi kenyataannya, banyak dari mereka tidak diberikan kontrak kerja resmi dan bahkan ada pekerja di bawah umur yang melanggar undang-undang ketenagakerjaan Indonesia.
Pada 26 Maret, kapal KM MUS berangkat membawa 60 AKP menuju Laut Arafura. Perjalanan ini memakan waktu 11 hari, dan setibanya di perairan tersebut, mereka mendapati kapal besar dengan bendera Indonesia, namun diawaki oleh pekerja Tiongkok. Saat KM MUS mendekati kapal, 60 AKP dipecah masing-masing menjadi Run Zeng 03 dan 05. Sesampainya di Run Zeng, AKP disuruh segera bekerja menurunkan ikan dari Run Zeng ke KM MUS.
Kondisi Kerja yang Memprihatinkan
Di kapal Run Zeng, kondisi kerja sangat jauh dari yang dijanjikan. Para pekerja dipaksa bekerja memindahkan ikan dengan jam kerja yang panjang tanpa istirahat. Para pekerja Indonesia juga harus berbagi ruang tidur yang sempit, berbeda dengan pekerja asal Tiongkok yang mendapatkan fasilitas lebih baik. Makanan yang disediakan pun merupakan sisa dari dapur pekerja Tiongkok, dan untuk minuman, mereka hanya bergantung pada air hujan dan air dari pendingin udara.
Komunikasi antara pekerja Indonesia dan Tiongkok di mediasi oleh Sanusi, salah satu AKP yang bisa berbahasa Tiongkok karena pernah bekerja sebagai migran di Taiwan. Meskipun tidak ada kekerasan fisik, tetapi pelecehan verbal dari kapten dan pekerja Tiongkok kerap terjadi.
Mogok Kerja dan Ancaman
Setelah tiga hari bekerja, AKP menyadari bahwa mereka seharusnya menerima tunjangan hari raya. Ketidakjelasan tentang hak mereka memicu mogok kerja. Sanusi ditunjuk untuk bernegosiasi dengan kapten Tiongkok, tetapi tanggapan yang mereka terima tidak memuaskan. Para pekerja mengancam akan melompat ke laut jika tuntutan mereka tidak dipenuhi dalam 30 hari.
Potensi Kerugian Negara dan Rekomendasi
Run Zeng 03 dan 05 menggunakan trawl double rig dengan ukuran masing-masing 870 GT. Aktivitas mereka berpotensi menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 4.020.000.000 karena alih muatan ilegal dan transaksi bahan bakar yang tidak sah. Selain itu, perdagangan manusia ini menunjukkan eksploitasi rentan sosial dan finansial AKP.
DFW merekomendasikan tindakan berikut untuk pemerintah Indonesia:
- PSDKP-KKP untuk menyelidiki PT Monster Laut Indonesia sebagai pemilik manfaat KM MUS dan keterlibatan dalam praktik ilegal ini.
- Meningkatkan pengawasan di wilayah perbatasan, terutama pada kapal berbendera asing.
- Berkoordinasi dengan Interpol untuk melacak dan mengejar Run Zeng 03 dan 05.
- Menyelidiki praktik perdagangan manusia dalam bisnis perikanan.
- Melakukan inspeksi rutin terhadap kapal perikanan.
- Meminta Kementerian Luar Negeri untuk memastikan keselamatan dan penyelamatan pekerja Indonesia yang masih berada di Run Zeng.
Kasus ini mengungkapkan bahwa di balik industri perikanan, masih terdapat banyak praktik eksploitasi yang melibatkan perdagangan manusia dan pelanggaran hak asasi. Pemerintah dan pihak terkait perlu mengambil langkah tegas untuk mengakhiri praktik ini dan melindungi pekerja yang rentan dari eksploitasi yang tidak manusiawi.
***
Sumber utama : DFW Indonesia