RAPAT DENGAR PENDAPAT DPR & KKP: APA YANG PERLU DICERMATI?

RAPAT DENGAR PENDAPAT DPR & KKP: APA YANG PERLU DICERMATI?

Anggota Komisi IV DPR RI Muhtarom dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR RI dengan Eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (5/4/2022). (Gambar: dpr.go.id)

Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV DPR RI dengan Eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, di Gedung Nusantara, Senayan pada 5 April 2022 sebagai tindak lanjut Rapat Kerja yang diadakan pada 23 Maret 2022 yang lalu. Pada Rapat Kerja tersebut ada beberapa kesimpulan yang diambil oleh Komisi IV DPR RI yaitu:

  1. Meminta kepada Kementerian Keuangan untuk mengalokasikan anggaran pupuk bersubsidi kepada para pembudidaya ikan tradisional, dimana tahun 2022 adalah tahun transisi dari Kementerian Pertanian kepada KKP.
  2. Berkoordinasi dengan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk menambah kuota bahan bakar minyak (BBM) bagi nelayan. Mengingat di berbagai daerah terjadi kelangkaan solar yang luar biasa dan dirasakn oleh nelayan.
  3. Berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dalam rangka pemerataan peningkatan pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan bagian timur dengan memperhatikan prinsip ekologi berkelanjutan.
  4. Mengantisipasi dan mempersiapkan berbagai langkah adaptif dalam bentuk program dan kegiatan prioritas serta regular tahun 2023 secara efisien, berkualitas, terukur, tepat sasaran, akuntabel, dan transparan dalam rangka menyongsong pemulihan ekonomi paska Covid-19 menuju endemi dan perbaikan sistem tata kelola usaha kelautan dan perikanan

Selain empat kesimpulan diatas, RDP yang berdurasi 3 jam lebih ini membahas juga topik yang perlu dicermati, diantaranya juga terkait penangkapan ikan terukur dan kebijakan impor garam.

Subsidi BBM bagi Nelayan Kecil

Destructive Fishing Watch (DFW) pernah melaporkan pengaduan dari nelayan di Timur Indonesia, tepatnya di Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku mengenai tingginya biaya pengeluaran yang harus mereka keluarkan untuk pergi melaut. Mahalnya harga BBM menjadi salah satu faktor yang dikeluhkan.  Rencana pemerintah menaikkan harga jual dan harga listrik untuk minyak tanah bersubsidi (BBM) menuai protes dari para Nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Siswaryudi Heru, Ketua Bidang Hubungan Kementerian Panitia Pusat HNSI, mengatakan dalam waktu dekat, kebijakan kenaikan harga bahan pokok di masyarakat ‘mencekik’ nelayan (IDX, April 2022).  Subsidi BBM ini tentunya akan memperingan beban nelayan yang dalam periode berdekatan “ditabrak” dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM, tarif listrik, dan bahan bakar gas (BBG).

Langkah yang akan KKP tempuh untuk memberikan solusi pendistribusian BBM subsidi kepada nelayan yang disampaikan dalam forum RDP dengan Komisi IV adalah sebagai berikut:

  1. Pengusulan penyederhanaan penyaluran BBM bersubsidi melalui rencana revisi PERKA BPH Migas Np.17 Tahun 2019 sebagai tindak lanjut duplikasi aturan PERMEN KP No.13 tahun 2015 dan Perka BPH Migas No.5 Tahun 2015 (termasuk masa berlaku rekomendasi menjadi 1 tahun dari sebelumunya setiap operasi penangkapan ikan);
  2. Revitalisasi SPBN dan SPDN yang tidak operasional bekerja sama dengan BPH Migas dan PT. Pertamina. Serta mendorong koperasi atau swasta untuk membangun SPBUN di pelabuhan perikanan atau sentra perikanan;
  3. Digitalisasi penerbitan rekomendasi penyaluran BBM bersubsidi bekerjasama dengan BPH Migas, BRO, dan PT. Pertamina. Saat ini PUSDATIN KKP sedang membangun sistem yang diimplementasikan dengan aplikasi Mypertamina;
  4. Kerjasama dengan BPH Migas dan PT. Pertamina dalam penetapan jumlah kuota dan pasokan BBM bersubsidi untuk nelayan agar jumlahnya memadai. 

Terkait dengan subsidi BBM kepada nelayan kecil, tanggapan dari KORAL adalah harus diperjelas rantai penyaluran subsidi ini hingga sampai ke tangan nelayan. Pertama, definisi dan batasan penerima. Siapakah yang dimaksud dengan nelayan kecil? Kapal hingga ukuran berapa GT kah yang boleh menerima? Apakah kemudian pengusaha perikanan yang mempekerjakan kapal-kapal kecil juga termasuk dalam hitungan ini?  Kedua, salah satu persyaratan untuk menerima subsidi BBM adalah surat rekomendasi yang diberikan dinas terkait berdasarkan kuota. Dinas terkait, KKP, dan Pertamina atau BPH Migas harus memiliki skenario alur yang jelas dan ringkas serta efisien untuk bukan hanya memudahkan nelayan mendapatkan haknya, namun juga memastikan seluruh SPBU/ SPDN di sekitar wilayah pesisir memiliki pengetahuan yang sama akan program ini. Ada baiknya Pemerintah bekerjasama dengan komunitas, asosiasi, ataupun himpunan nelayan yang sudah tercatat secara badan hukum pada tiap provinsi, untuk membantu distribusi surat rekomendasi dan memberikan edukasi terkait kebijakan ini. Ketiga, pengawasan dari hulu ke hilir. Berbicara mengenai distribusi bantuan yang meringankan nelayan kecil, bukan jadi hal baru jika kemudian ada oknum tidak bertanggungjawab yang mengintai. Selain perlu adanya pencatatan dan data jumlah nelayan kecil yang terbaharui dan terverifikasi, Pemerintah dengan badan dan kementerian terkait juga harus melakukan pengawasan pada tiap rantai penyaluran misalnya di SPBU/ SPDN tertunjuk, dinas setempat, dan melakukan pemeriksaan kembali (crosscheck) ke para nelayan dan masyarakat kecil sebagai bentuk evaluasi.

Penangkapan Ikan Terukur

Salah satu proyek nasional di sektor kelautan dan perikanan adalah penangkapan ikan terukur. Penangkapan ikan terukur sendiri merupakan sebuah kebijakan pemerintah untuk perikanan tangkap dengan berdasarkan kuota dan zonasi. Kebijakan ini juga merupakan satu dari tiga fase utama yang dilakukan pemerintah dalam transformasi tata kelola perikanan nasional demi mewujudkan ekonomi biru. 

Catatan dari KORAL terkait pembagian zona dalam kebijakan penangkapan ikan terukur ini, masih banyak kelompok jenis ikan yang masih mengalami overfishing di Indonesia dan berstatus merah. Apalagi jika dapat disimpulkan, kondisi secara umum perikanan indonesia ialah fully fished atau fully exploited yang berarti beberapa kelompok jenis ikan tidak boleh ditangkap atau  ditambahkan lagi effort penangkapannya (penambahan izin, penambahan jumlah tangkapan, dan seterusnya). Hal ini menjadi catatan kepada pemerintah bahwa kebijakan kontrak bukan kebijakan yang tepat saat ini, tapi sebaiknya kebijakan untuk memulihkan stok ikan indonesia menjadi sehat dahulu dengan mengatur input dan output control. 

Selain itu keberadaan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Perairan Darat (WPPNRI-PD) juga bisa menjadi jawaban untuk mengurangi jumlah penangkapan ikan di laut. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 09 Tahun 2020, WPPNRI-PD adalah wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang terbagi ke 14 wilayah diseluruh Indonesia. Sumber perairannya adalah sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya (misalnya bekas galian, situ, dan embung). 

WPPNRI-PD yang diberdayakan dengan maksimal tentunya akan sangat membantu KKP dan Pemerintah dalam mewujudkan perikanan yang berkelanjutan dengan memperhatikan optimalisasi dan penunjukkan wilayah. Terutama bagi WPPNRI perairan laut yang sudah berstatus kritis (exploited atau fully exploited). Misalnya dengan menjadikan WPPNRI-PD sebagai sumber konservasi dan pengembangbiakkan sumberdaya ikan lokal untuk menjamin keberagaman ikan dan stok ikan sehat di wilayah tersebut. Bukan hanya itu, akan sangat mungkin rasanya bahwa pembudidayaan ikan di WPPNR-PD yang dioptimalkan, bisa menjadi sumber utama bagi kontribusi supply ikan lokal maupun untuk diekspor. Sehingga laut betul-betul dikhususkan untuk wilayah konservasi dan dialokasikan khusus untuk nelayan lokal dan masyarakat pesisir. 

Selain itu, pada RDP dengan Komisi IV, Anggota Komisi IV DPR RI Muhtarom juga menekankan kebijakan penangkapan terukur harus dibarengi dengan pengalokasian ruang bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengan (UMKM) untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa rencana Pemerintah untuk memberikan kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing tidak berpihak pada rakyat kecil dan bahkan semakin meminggirkan nelayan tradisional. Maka dari itu, Muhtarom menghimbau agar wacana ini dikaji ulang. Memperkuat pernyataannya, ia juga menambahkan kasus keluhan Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, yang mengatakan bahwa di Natuna sudah ada 850 kapal berukuran diatas 30GT yang beroperasi ataz izin Pemerintah pusat. Kebijakan penangkapan ukur dikhawatirkan justru akan mendorong lebih banyak kapal-kapal penangkap ikan besar yang masuk.

Impor Garam 

Indonesia merupakan negara  maritim dan salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Cuaca Indonesia juga cukup tropis dan mendapatkan sinar matahari yang cukup panjang. Dikaruniai begitu banyak faktor yang menguntungkan industri sektor kelautan dan perikanan, ironisnya kebutuhan garam di Indonesia justru banyak dipenuhi dari hasil impor. Rata-rata impor garam Indonesia mencapai 2,36 juta ton sejak tahun 2010-2020 yang lalu. Di 2020 sendiri, Indonesia mengimpor 2,61 juta ton garam. 

Pada 2021 yang lalu, pemerintah Indonesia melalui  rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021 lalu memutuskan untuk melakukan impor garam sebanyak 3,07 ton. Alasannya, pada 19 Maret 2021, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor dilakukan untuk kebutuhan garam industri. Sebab, belum semua produksi dalam negeri bisa memenuhi kualitas tersebut. Selain kualitas, kuantitas produksi garam Indonesia juga belum cukup memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Sementara di tahun 2022 ini, Pemerintah merencanakan untuk mengimpor 3 juta ton garam. Angka ini kemudian diminta Komisi IV untuk diturunkan menjadi 2,5 juta ton guna meningkatkan konsumsi garam produksi petambak lokal.

Kebijakan impor garam agaknya juga dipermudah dengan hadirnya Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana pada Pasal 37 Ayat 1, bahwa impor komoditas perikanan dan pergaraman dikendalikan oleh Pemerintah pusat. Lalu, pasal ini dijabarkan dalam PP No. 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perikanan dan Kelautan dan  Perikanan pasal 289 yang menyebut tidak ada batasan waktu impor garam. Menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, UU Cipta Kerja dan PP 27 tahun 2021 tetap mengizinkan impor garam, meskipun di Indonesia sedang musim panen garam. Pemerintah tinggal menyusun neraca pergaraman nasional di tingkat Kementerian Perekonomian.

Indonesia bukan tidak memiliki sumberdaya untuk menjadi produsen garam bagi semua kebutuhan, termasuk kebutuhan industri. Hanya butuh lebih banyak effort dan strong willing, Indonesia bisa belajar menggunakan teknologi untuk bisa memberdayakan sumberdaya garam yang ada untuk keperluan negeri sendiri.

Koordinasi Kerja Antar Pemerintah Pusat, Kementerian, dan Dinas Terkait

Dalam menit-menit awal dibukanya penjelasan kerja yang diberikan oleh Eselon I KKP terkait dengan permintaan anggaran dana pupuk bersubsidi dari KEMENKEU untuk diberikan kepada para pembudidaya ikan tradisional, Ketua Komisi IV DPR RI menginterupsi dengan pertanyaan mengenai koordinasi antar kementerian, yaitu tepatnya Kementerian Pertanian (KEMENTAN) dan KKP, dimana KKP diminta oleh Komisi IV untuk meminta data mengenai jumlah pembudidaya dari KEMENTAN agar dapat diverifikasi ulang. Namun hingga RDP, data tersebut belum diterima.

Koordinasi antar kementerian di Indonesia sepertinya masih menjadi tantangan yang harus diselesaikan agar kinerja menjadi lebih efisien. Perlu diingat bahwa Indonesia merupakan negara luas yang kompleks. Banyak stakeholder yang kemudian memiliki kepentingan, program, dan rencana kerja masing-masing. Padahal tidak jarang, jalan antara satu institusi atau suatu badan saling bersinggungan atau bahkan memiliki tujuan yang sama. Bukan hanya terkait subsidi pupuk saja dimana kita bisa melihat koordinasi yang dibutuhkan antar kementerian, tapi juga pada program atau isu lainnya seperti subsidi BBM dimana KKP harus bekerjasama dengan BPH Migas misalnya, atau pada kasus anak buah kapal (ABK) migran Indonesia yang memerlukan koordinasi yang terjalin baik dan cepat antar Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, dan kementerian serta dinas terkait lainnya.  Maka dari itu, antar kementerian dan badan atau instansi lainnya baik di pusat maupun daerah, harus saling berjibaku dalam melengkapi satu sama lain untuk kebaikkan Indonesia. Misalnya dengan perbaruan dan permudahan akses data antar kementerian. 

Pemerintah Pusat bukan hanya menjadi pembuat regulasi atau rencana jangka panjang ataupun pendek, namun juga menjadi penyambung mimpi dan harapan rakyat akan kesejahteraan hidup dan lingkungan. Harapannya KKP dan Pemerintah Pusat maupun daerah dapat bekerjasama dengan baik, transparan, jujur, dan berintegrasi dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat serta laut, untuk kehidupan sekarang dan di masa mendatang.

******