TANGGUL LAUT RAKSASA, BUKAN SOLUSI TEPAT ATASI  KRISIS IKLIM SERTA PERCEPAT KEBANGKRUTAN EKOLOGIS DARATAN DAN PERAIRAN PULAU JAWA

Pada penyelenggaraan seminar nasional awal tahun ini, Pemerintah memiliki wacana terkait pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall di Pantai Utara Pulau Jawa sebagai solusi persoalan mengenai kehancuran ekologis di Pulau Jawa. Wacana tersebut dikemukakan ke publik melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang merupakan arahan dari Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.

Seminar tersebut dihadiri oleh  sederet menteri kabinet Indonesia Maju, yakni Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan; Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono; Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto; Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian; Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Menteri PUPR, Bob Arthur Lombogia; serta pejabat yang mewakili Kemenko Marves, dan BRIN.

Airlangga Hartarto, selaku Menko Perekonomian memberikan alasan mengapa proyek tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall di kawasan Jawa Utara mendesak untuk dikebut, terutama dalam konteks mengatasi masalah banjir rob dan melindungi kawasan pertumbuhan ekonomi. Wilayah tersebut mencakup 5 wilayah pertumbuhan, 70 kawasan industri, 5 kawasan ekonomi khusus, dan 5 wilayah pusat pertumbuhan.

Walhi menyebut bahwa proyek tersebut bukanlah solusi yang tepat atas persoalan kehancuran ekologis Pulau Jawa. Karena, selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau kecil.

Dalam hal ini, WALHI telah menerbitkan buku yang berjudul Java Collapse pada tahun 2012 lalu. Buku ini menjelaskan kehancuran dan kebangkrutan sosial-ekologis Pulau Jawa akibat sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam di wilayah darat Pulau Jawa dari era kolonial sampai era pasca reformasi. Oleh karena itu, daya dukung ekologis Pulau Jawa sebenarnya telah hancur.

Lihat, JAVA COLLAPSE; Dari Kerja Paksa Hingga Lumpur LAPINDO

Parid Ridwanuddin, selaku Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi menyebutkan bahwa selama ini wilayah pesisir utara Jawa, mulai dari Banten sampai Jawa Timur, telah dibebani izin industri skala besar yang menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah secara cepat. Maka dari itu, jika Pemerintah ingin menghentikan penurunan muka tanah di pesisir utara Jawa, solusinya bukan dengan membangun tanggul laut raksasa, tetapi dengan mengevaluasi dan mencabut berbagai izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa.

Alih – alih menjadi solusi atas persoalan banjir rob, justru pembangunan tanggul laut raksasa akan mempercepat kebangkrutan sosial sekaligus kebangkrutan ekologis Pulau Jawa karena memperluas kehancuran dari daratan ke pesisir, laut, dan pulau kecil.

Giant Sea Wall Mengancam Perairan Utara Jawa
Pembangunan proyek tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall dirasa akan menghancurkan wilayah laut atau perairan Pulau Jawa bagian utara yang selama ini menjadi wilayah tangkapan ikan ratusan ribu nelayan tradisional. Hal ini juga ditambahkan oleh Parid. 

“Sebab, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pada tahun 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 388.200.000 meter kubik. Jumlah ini sangat besar untuk kebutuhan reklamasi di Jakarta saja” Jelasnya. 

Selain itu, ambisi pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall akan mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati yang ada di perairan pulau Jawa bagian utara. Seperti spesies ikan Pari Jawa atau Urolophus Javanicus yang belum Lama ini dinyatakan punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dalam perhelatan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), 11 Desember 2023 lalu Spesies ini diketahui memiliki habitat di perairan utara Jawa, khususnya di Teluk Jakarta.

Menurut para ahli, adapun penyebab kepunahan ini dapat berupa penangkapan ikan yang over exploited serta kehancuran ekosistem pesisir dan laut akibat aktivitas industri. Dikhawatirkan, dalam jangka panjang, ambisi pembangunan tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall akan mempercepat kepunahan spesies flora dan fauna lainnya di perairan Pulau Jawa selain itu juga mengancam stok sumber daya ikan sebagai sumber protein masyarakat.

Kerugian Ekonomi Masyarakat di Sektor Perikanan
Pada tahun 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, merilis sebuah kajian yang berfokus pada dampak proyek reklamasi Pulau C dan D di Teluk Jakarta. Kajian tersebut, berjudul “Dampak Sosial Ekonomi dan Rekomendasi Kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta,” memberikan pemahaman mendalam tentang implikasi proyek tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall  terhadap sektor kelautan dan perikanan. Meskipun perlu dicatat bahwa kajian ini belum menyelidiki dampak kerugian dan kehilangan ekonomi masyarakat di sektor perikanan di lokasi lain di pesisir utara Jawa, implikasinya dapat diasumsikan setara atau bahkan lebih besar.

Dokumen Dampak Sosial Ekonomi dan Rekomendasi Kebijakan Reklamasi Teluk Jakarta itu mencatat sebagai berikut:

  1. Setiap wilayah perairan yang hilang seluas 1 ha menyebabkan kerugian ekonomi yang diterima oleh nelayan adalah Rp 26.899.369,- per orang per tahun. Total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp 137.536.474.541,- per tahun. Nilai tersebut mengasumsikan nelayan masih dapat beroperasi pada wilayah perairan di atas Teluk Jakarta yang tidak mengalami pengurukan lahan. Bila kegiatan nelayan berhenti secara total, nilai kerugian ekonomi yang diterima nelayan mencapai Rp 101.312.544 per orang per tahun dengan nilai total mencapai Rp 766.632.021.205. Nilai ini diperoleh berdasarkan penghitungan valuasi ekonomi dengan teknik effect on production yang menghitung besaran surplus konsumen dari kegiatan penangkapan ikan.
  2. Setiap unit usaha budidaya kerang hijau yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian pembudidaya sebesar Rp 85.599.135,- per unit per tahun. Jumlah unit budidaya kerang hijau tercatat sebesar 1.155 unit sehingga total kerugian mencapai Rp 98.867.000.590,- per tahun. Nilai ini diperoleh berdasarkan penghitungan valuasi ekonomi dengan teknik effect on production yang menghitung besaran surplus konsumen dari kegiatan budidaya kerang hijau
  3. Setiap luasan 1 ha tambak yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian sebesar Rp 27.992.943,- per tahun. Luas tambak perikanan di Teluk Jakarta tercatat sebesar 487 ha sehingga menyebabkan total kerugian Rp 13.632.563.241,- per tahun. Nilai diperoleh berdasarkan penghitungan valuasi ekonomi dengan teknik residual rent yang nilai manfaat ekonomi bersih dengan proyeksi 10 tahun ke depan dan tingkat suku bunga sebesar 5%.
  4. Setiap pedagang perikanan memiliki potensi kerugian sebesar Rp 76.488.078 per tahun atau Rp 6.374.007 per bulan. Jumlah pedagang yang tercatat berdasarkan hasil identifikasi lapangan adalah 1.561 orang sehingga nilai total kerugian sebesar Rp 119.397.890.393/tahun. Nilai kerugian akan terjadi bila pedagang perikanan tidak lagi dapat melanjutkan usaha karena tidak adanya pasokan ikan dari nelayan. Nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai manfaat bersih dengan proyeksi 10 tahun ke depan dan tingkat suku bunga 5 %.
  5. Setiap pengolah hasil perikanan memiliki potensi kerugian sebesar Rp 97.797.274,- per tahun atau Rp 8.149.773 per bulan. Secara statistik jumlah pengolah tercatat sebesar 472 orang sehingga dapat diperoleh potensi kerugian sebesar Rp 46.160.313.328,- per tahun. Nilai tersebut diperoleh dari hasil rata-rata nilai manfaat ekonomi bersih dengan proyeksi selama 10 tahun kedepan dengan tingkat suku bunga sebesar 5%.

Berdasarkan akumulasi data tersebut, proyek tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall akan memperluas kerugian dan kehilangan ekonomi yang dirasakan oleh nelayan dan para pelaku perikanan lainnya di pesisir utara Jawa.

Hancurkan Mangrove, Bukan Solusi Tepat Hadapi Krisis Iklim
Pemerintah juga mengklaim bahwa proyek Tanggul Laut Raksasa atau Giant Sea Wall ini merupakan skenario mitigasi krisis iklim di pesisir utara Jawa. Namun faktanya, proyek ini bukan solusi tepat untuk menjawab krisis iklim yang dihadapi oleh masyarakat pesisir. Sebaliknya, proyek tersebut justru berpotensi mempercepat degradasi ekosistem mangrove yang telah lama terjadi di pesisir utara Jawa. Kasus penurunan luas mangrove di Jawa Tengah menjadi contoh konkret dampak beban industri yang berat di wilayah tersebut.

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2010, luas mangrove di pesisir utara Jawa Tengah mencapai 1.784.850 hektar, namun pada tahun 2021, mengalami penurunan signifikan menjadi hanya 10.738,62 hektar. Hal serupa terjadi di pesisir Jakarta, di mana luasan mangrove saat ini hanya mencapai kurang dari 25 hektar, sementara sebelum adanya proyek reklamasi, luasannya lebih dari seribu hektar.

Baca  juga, Kertas Posisi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia

Ironisnya, kehilangan luas mangrove di pesisir utara Jawa menjadi kontradiktif dengan upaya kampanye dan diplomasi pemerintah Indonesia di dunia internasional. Pemerintah telah gencar mempromosikan Indonesia sebagai pusat mangrove dunia dalam rangka mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim. Lebih dari itu, pada perhelatan COP28, Indonesia mendapatkan kepercayaan sebagai Ketua Bersama Aliansi Mangrove untuk Iklim atau Mangrove Alliance for Climate (MAC), yang terdiri dari 34 negara yang berkomitmen pada restorasi dan konservasi mangrove.

Namun, proyek reklamasi di pesisir utara Jawa dapat dianggap sebagai solusi palsu terhadap krisis iklim. Tindakan ini jelas bertentangan dengan upaya global untuk memulihkan ekosistem mangrove, yang diakui sebagai bagian krusial dari strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Kehilangan luas mangrove akibat proyek ini menciptakan ketidakselarasan antara komitmen internasional yang diumumkan oleh Indonesia dan tindakan konkret di tingkat lokal.

Giant Sea Wall Menggusur Nelayan
Pembangunan tanggul laut yang masih berlanjut di Jakarta telah menjadi ancaman serius terhadap kelangsungan hidup para nelayan di pesisir utara Jakarta. Hasil analisis risiko dari pembangunan fase A NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) yang dilakukan oleh Kementerian PUPR menunjukkan bahwa sekitar 24.000 nelayan di Jakarta Utara berpotensi menghadapi risiko penggusuran.

Penggusuran ini membawa konsekuensi serius terhadap mata pencaharian masyarakat nelayan, karena mereka harus direlokasi ke wilayah lain yang mungkin memiliki akses yang jauh dari laut dan kapal. Dampak sosial ekonomi yang mungkin timbul dari penggusuran ini perlu menjadi perhatian utama, terutama ketika masyarakat nelayan harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan mencari sumber mata pencaharian baru.

Keputusan pemerintah untuk merencanakan pelatihan dan membuka lapangan kerja baru bagi nelayan yang terdampak penggusuran, alih-alih melindungi identitas mereka dengan menjaga aksesibilitas terhadap laut, rencana ini dapat menimbulkan ancaman hilangnya identitas nelayan akibat pembangunan NCID di Teluk Jakarta semakin besar.

Pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall nampaknya tidak menyentuh persoalan substantif yang dihadapi oleh masyarakat. Di Jawa Tengah, contohnya, pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak (TTLSD) telah menimbulkan sejumlah masalah yang masih perlu diatasi. Antara lain, adanya relokasi kawasan ekosistem mangrove seluas kurang lebih 40 hektar, yang berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.

Selain itu, pembangunan ini juga membatasi wilayah tangkap nelayan tradisional, memberikan tantangan baru terhadap mata pencaharian mereka. Persoalan sosial lainnya juga mungkin muncul sebagai konsekuensi dari pembangunan ini. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari proyek infrastruktur besar seperti ini, dan memastikan bahwa kepentingan ekologis, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat menjadi bagian integral dari perencanaan dan pelaksanaan proyek.

Menyadari dampak yang signifikan dari pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall, tampaknya tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain untuk menghentikan rencana tersebut. Sebagai alternatif, fokus dapat dialihkan ke pemulihan sosial ekologis di Pulau Jawa, baik daratan maupun perairannya, sebagai agenda utama dalam rencana pembangunan.

 ***

Sumber Utama : WALHI

Informasi lebih lanjut
Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, [email protected]
Fahmi Bastian, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Tengah, [email protected]