Aktivitas pertambangan sudah menjadi hal yang dikenal luas oleh masyarakat. Mulai dari aktivitas pertambangan besar seperti tambang emas, minyak, batu bara dan timah oleh perusahaan-perusahaan asing, hingga pertambangan kecil yang dilakukan oleh individual atau dikenal dengan petambang tradisional. Diambil dari data yang dibagikan oleh Ditjen Mineral dan Batu bara (Minerba), tahun lalu realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tembus Rp75,15 triliun atau 192% dari target yang dipatok diawal tahun yakni Rp39,1 triliun. Salah satu penopang tingginya realisasi PNBP tentu tidak terlepas dari kondisi global yang mengkerek harga hampir semua komoditas tambang terutama batu bara yang tembus mencapai US$200an per ton. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ridwan Djamaluddin, naif bagi masyarakat untuk tidak melihat kegiatan pertambangan tidak mengubah lingkungan hidup, dengan melihat manfaat tambang bagi kehidupan, peran kekayaan alam itu bagi perekonomian Indonesia dan upaya pemerintah melakukan penguatan regulasi (BBC, 2021).
Namun, tidak bisa dipungkiri, sebagai “suatu kegiatan pengambilan endapan bahan galian berharga dan bernilai ekonomis dari dalam kulit bumi, baik secara mekanis maupun manual, pada permukaan bumi, di bawah permukaan bumi dan di bawah permukaan air,”, pertambangan tentunya bergesekan langsung dengan sumber daya alam dan lingkungan. Termasuk juga konflik yang menyerang masyarakat sekitar dan seluruh tatanan ekosistem yang ada didalam maupun disekitarnya. Tidak jarang, aktivitas pertambangan justru meruncingkan konflik sosial dan ekologi yang jarang bisa diselesaikan dengan tuntas dan berujung pada pemulihan lingkungan.
Menurut data yang dibagikan oleh Jaringan Tambang Merah (JATAM) pada Catatan Akhir Tahun (Catahu) dan Proyeksi Tahun 2021, ditemukan bahwa pada tahun 2020 lalu, tercatat 45 kasus konflik pertambangan. Jumlah ini meningkat hampir lima kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 2019, yakni 11 konflik. Jadi, jika dihitung sejak 2014-2019, saat dimana Presiden Jokowi berkuasa, terdapat 116 konflik pertambangan yang berhasil dicatat. Luasan konflik pertambangan sepanjang tahun 2020 saja sudah mencapai 714.692 hektar atau setara dengan tiga kali luas Kota Hongkong, jika dijumlahkan sepanjang 2014-2020 maka luasan konflik mencapai 1.640.440 hektar atau setara dengan tiga kali luas Pulau Bali. Selain itu, JATAM juga mencatat bahwa terdapat 45 konflik tambang dengan rincian: pencemaran dan perusakan lingkungan (22 kasus), perampasan lahan (13 kasus), kriminalisasi warga penolak tambang (8 kasus), dan pemutusan hubungan kerja (2 kasus). Dari total jumlah konflik itu, terdapat 13 kasus yang melibatkan aparat militer maupun polisi.
Dalam sebuah jurnal penelitian yang bertajuk Analisis Dampak Aktivitas Pertambangan Timah Laut Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Nelayan Kelurahan Matras, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka), dikatakan bahwa keberadaan tambang timah pada lingkungan laut dan pesisir berdampak pada penurunan pendapatan nelayan. Nelayan Kepulauan Matras mengutarakan bahwa adanya aktivitas pertambangan timah laut menyebabkan rusaknya daerah perairan yang biasa dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan. Secara tidak langsung akan memberikan dampak bagi perekonomian baik nelayan Kelurahan Matras ataupun nelayan dari luar daerah perairan tersebut hingga 69%. Pengakuan para nelayan mengungkapkan bahwa operasi tambang timah di wilayah pesisir laut telah mengurangi daya tangkap nelayan dan jarak melaut yang semakin menjauh (Haryadi & Wahyudin, 2018).
Serupa dengan efek pertambangan timah di Matras, pertambangan pasir di Kodingareng juga menghasilkan dampak negatif yang sama. Daeng Sahabu, seorang nelayan di Pulau Kodingareng, Makasar, Sulawesi Selatan, mengungkapkan bahwa akibat dari pertambangan pasir yang dilakukan oleh PT. Boskalis, terumbu karang tempat ia biasa mengambil ikan atau dalam bahasa lokal disebut Coppong Lompo dan Coppong Cadi, menjadi rusak dan mati. Hal ini menyebabkan ikan tidak lagi bermukim disitu dan hasil tangkapan mereka berkurang. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, kapal penambang pasir berukuran 230 meter dan beroperasi sejak Februari tahun 2020 lalu mampu membawa puluhan ribu kubik pasir laut dalam sehari untuk proyek reklamasi Makassar New Port (MNP).
Faktor kerugian sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal bukanlah satu-satunya dampak. Kerusakan wilayah konservasi seperti hutan mangrove dan terumbu karang, hingga penurunan kualitas lingkungan yang berdampak pada perburukan kualitas kesehatan warga juga menjadi dampak dari bengisnya pertambangan. Seperti yang dirasakan oleh warga Maba Pura, Halmahera Timur, Maluku Utara. Debu tambang nikel membuat polusi udara dan laut yang mengancam dan menghantui masyarakat. Muh. Ruh, salah seorang warga lokal mengatakan partikel debu seperti kristal bukan hanya membuat dada sesak, namun juga mencemari sumber air, sungai, dan laut. Tidak heran air disekitar menjadi merah karena limbah pertambangan nikel.
Kekhawatiran akan dampak yang sama dirasakan oleh warga pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Walaupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado telah mencabut dan membatalkan izin lingkungan yang telah diterbitkan untuk PT. Tambang Mas Sangihe (TMS), nyatanya Perusahaan yang investor terbesarnya berasal dari Kanada itu, masih saja memasukkan alat berat ke pulau ini. Juru bicara gerakan Save Sangihe Island, Samsared Barahama, pada saat itu mengatakan terdapat beberapa alasan rencana eksploitasi emas oleh TMS di Sangihe harus ditolak. Menurutnya, wilayah izin produksi yang diberikan sebesar 42 ribu hektare atau setengah dari luas Pulau Sangihe yang dihuni lebih dari 131 ribu jiwa. Pulau Sangihe memiliki luas 736,98 km2 (dibawah 2.000 km2). Hal ini menjadikan Pulau Sangihe masuk dalam kategori pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). Apalagi dalam proses penyusunan analisis dampak lingkungan (AMDAL), tidak melibatkan masyarakat Sangihe khususnya mereka yang tinggal di ring-1 lingkar tambang.
Selain tidak memenuhi kriteria dan perizinan sesuai Undang-undang, aktivitas pertambangan ini akan merusak kawasan hutan lindung Gunung Sahendaruman yang menjadi habitat satwa endemik Pulau Sangihe dan juga sumber mata air bagi masyarakat. Selain itu, ada dua kecamatan di Pulau Sangihe yang menjadi kawasan konservasi ikan, yaitu Kecamatan Kepulauan Tatoareng dan Manganitu Selatan yang menjadi kawasan konservasi ikan di Sangihe. Hal yang ditakutkan adalah aktivitas pertambangan skala besar yang dilakukan di pulau kecil ini akan merusak lingkungan dan menghilangkan satwa endemik, rusaknya sumber air, dan mencemari laut disekitar kepulauan Sangihe.
Berdasarkan data JATAM, sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang. Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau sekitar empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Bukan area yang kecil bagi kerusakan masif yang harus ditanggung masyarakat bahkan generasi berikutnya. Bagaimana kemudian degradasi lingkungan semakin meluas dan mendalam dengan adanya aktivitas ini. Penambahan ruang konservasi yang dilakukan Pemerintah pun ibaratnya hanya menutupi ‘luka’, bukan menyembuhkan. Keberadaan wilayah atau zona konservasi yang makin meluas harus dibarengi dengan penindakan aktivitas tambang yang semakin destruktif dan masif di berbagai wilayah di Indonesia.
Lingkungan dan area konservasi harus dijamin terbebas dari dampak aktivitas pertambangan apapun. Area konservasi pesisir maupun laut menjamin kelestarian dan kesehatan laut bagi masa mendatang. Berbeda dengan kegiatan pertambangan yang mengikis persediaan sumber daya alam bahkan tidak jarang merusak, keberadaan area konservasi justru menjamin ketersediaan habitat yang sehat bagi sumber daya alam seperti seluruh flora fauna laut, hewan-hewan lainnya seperti burung dan juga bagi manusia generasi berikutnya. Pemasukan negara seberapa besarpun tidak akan mampu mengembalikan apa yang sudah terlampau rusak cukup lama. Apakah ada jaminan dari Pemerintah untuk mampu memperbaiki lingkungan hidup yang rusak akibat pertambangan selama ini? Ataukah iming-iming tersebut hanyalah narasi pada naskah rencana corporate social responsibility belaka saja?
******