AUDIENSI KORAL DENGAN KKP TERKAIT SANGIHE: BAGAIMANA KELANJUTANNYA?

Koalisi KORAL bersama-sama dengan Save Sangihe Island (SSI) pada 7 Juli 2022 yang lalu, melakukan aksi unjuk rasa didepan Ditjen Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM), sebagai upaya penolakan aktivitas pertambangan emas di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Selain aksi unjuk rasa damai di kedua tempat, Koalisi SSI dan Koalisi KORAL juga melakukan audiensi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam audiensi ini dihadiri oleh rekan-rekan perwakilan Koalisi SSI, Koalisi KORAL, Warga Pulau Sangihe, dan juga Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP disampaikanlah poin-poin dalam mendapatkan langkah konkrit penyelamatan Pulau Sangihe dari kepungan tambang. Selain poin-poin diatas, beberapa perwakilan 

Seperti diketahui, Pulau Sangihe merupakan sebuah pulau yang memiliki luas 736,98 km2 (dibawah 2.000 km2). Hal ini menjadikan Pulau Sangihe masuk dalam kategori pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). Menurut Pasal 35 huruf (K) UU PWP3K, dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak secara langsung dilarang melakukan pertambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya. 

Selanjutnya, Pasal 73 ayat (1) huruf (F) mengatur sanksi pidana dan denda penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf (K). Selain itu, penambangan emas di Pulau Sangihe yang akan dilakukan oleh PT TMS bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K, yang mengatur bahwa Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Perda Provinsi Sulawesi Utara Nomor 1 tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil provinsi Sulawesi Utara tahun 2017-2037. Dalam Perda tersebut jelas dan tegas tidak ada alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan.

Kehadiran PT TMS di pulau kecil Sangihe jelas-jelas, paling tidak berpotensi secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.  Saat ini, Izin Lingkungan PT TMS telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Manado. Meskipun belum berkekuatan hukum tetap, PT TMS tidak boleh melakukan aktivitas apapun karena kegiatan pertambangan merupakan aktivitas yang beresiko tinggi, sehingga dalam melaksanakan kegiatan harus mengacu kepada Izin Lingkungan, yang di dalamnya memuat AMDAL.

Kurang lebih karena temuan diataslah yang membakar semangat Koalisi SSI dan Koalisi KORAL untuk melakukan audiensi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam audiensi ini dihadiri oleh rekan-rekan perwakilan Koalisi SSI, Koalisi KORAL, Warga Pulau Sangihe, dan juga Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP disampaikanlah poin-poin diatas guna mendapatkan langkah konkrit penyelamatan Pulau Sangihe dari kepungan tambang. Selain poin-poin diatas, beberapa perwakilan dari SSI dan Koalisi KORAL juga menyampaikan pendapatnya.

Koalisi KORAL dalam kesempatan audiensi ini merinci dan mengungkapkan sejumlah langkah perjuangan masyarakat Sangihe melalui jalur hukum ada 2, yaitu:

  1. Menggugat izin usaha di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta
  2. Menggugat izin lingkungan di PTUN Manado. 

Pada hasilnya, gugatan di PTUN Jakarta tidak berbuah apa-apa. Gugatan tersebut ditolak karena harusnya masuk ke Pengadilan Umum. Akhirnya diajukan banding dan sedang berproses. Sementara gugatan izin lingkungan ke PTUN Manado berbuah manis; PTUN Manado meminta PT. TMS untuk sementara tidak berkegiatan per tanggal 2 Juni 2022. 

Namun nyatanya hal ini tidak diindahkan PT. TMS. PT. TMS per tanggal 11 Juni 2022 membawa alat berat masuk sebanyak 3 buah. 3 alat bor tersebut dimobilisasi dari Kalimantan dan terparkir di Pelabuhan Pananaru. Bukan hanya tidak menggubris putusan PTUN Manado dengan memasukkan alat berat, nyatanya PT. TMS juga sudah mulai bekerja diluar luas batas izin lingkungan yang diberikan PUPR Provinsi. Menurut salah satu anggota SSI, Jull Takaliuang, area izin lingkungan hanya seluas 65,48 Ha, namun nyatanya Kampung Bowone yang seharusnya luput dari area perusahaan, digusur tanpa adanya dialog dan konfirmasi dengan masyarakat setempat. 

Alat berat milik PT.TMS yang masuk ke salah satu Pelabuhan di Pulau Sangihe dan berhasil dihadang warga

Penolakan besar-besaran warga Sangihe bukan tanpa alasan yang jelas. Selain melanggar Undang-Undang dan regulasi yang berlaku serta terindikasi adanya missing link dalam perolehan izin mengadakan tambang, PT. TMS juga mengancam lingkungan yang menjadi hayat hidup lebih dari 58 ribu warga lokal di 80 desa. Apalagi ditambah keadaan alam lingkungan Pulau Sangihe yang masih bersih dengan hutan mangrove yang sangat bagus, namun sayangnya berada di sekitar area izin PT. TMS dan tentunya cepat atau lambat, akan terpapar efek tambang. 

KKP yang diwakilkan oleh Ahmad Aris, selaku perwakilan dari Dit.PRL Koordinator Pulau-Pulau Kecil dan Terluar mengatakan bahwa KKP sependapat bahwa pertambangan tidak diprioritaskan untuk pulau-pulau kecil dan seharusnya PT. TMS mendapatkan perizinan dari KKP terlebih dahulu, sesuai dengan mandat Undang-Undang yang berlaku yaitu UU No.1 Tahun 2014.  Selain itu ia menambahkan bahwa KKP harus dilibatkan dan berada di barisan paling depan karena KKP memiliki pengetahuan akan tipologi pulau-pulau kecil. Ditambah dalam pemanfaatan Pulau-pulau Kecil (P3K), harus diperoleh persetujuan dasar yaitu PKKPR (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut), persetujuan lingkungan, persetujuan mendirikan bangunan, dan persetujuan kesesuaian ruang yang harusnya dikeluarkan Bupati setempat.

KKP nantinya melalui Ditjen.PRL akan melakukan beberapa langkah-langkah untuk memberikan sanksi administrasi kepada PT. TMS dengan langkah awal melakukan pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan) dengan bukti-bukti yang dikumpulkan yaitu:

  1. Tidak adanya izin Penanaman Modal Asing (PMA).
  2. Dampak pelanggaran Pasal 35 huruf (K) UU PWP3K dan dikaitkan dengan denda-denda administratif.
  3. Seharusnya ada rekomendasi dan perizinan dasar sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK).

Selain itu menurut KKP, adanya beberapa kecacatan lain adalah dalam pemanfaatan P3K menurut KKP, harus memenuhi 3 perizinan dasar dan non-KBRI. Setelah izin usaha, barulah izin pertambangan bisa keluar, dimana izin RTRW adalah wewenang Bupati atau Kabupaten, namun dalam kasus PT. TMS yang mengeluarkan adalah Pemerintah Provinsi. Lalu untuk perizinan lingkungan dan dikeluarkannya PKKPR, KKP seharusnya memberikan perizinan terlebih dahulu.

Sementara perwakilan Koalisi KORAL, Parid Ridwanuddin mengajak turun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) untuk turut terlibat dalam sengketa ini. Apalagi menurut salah satu penelitian di tahun 2016 tertulis bahwa pulau-pulau kecil terluar di Indonesia masih ada 92 pulau dan 88 diantaranya terancam tenggelam dan terdapat 56 yang terdampak gempa bumi. Maka sangat diperlukan prioritas perlindungan pulau-pulau kecil dari industri ekstraktif, krisis iklim, dan gempa bumi. Hal ini disambut baik oleh KKP yang akan menindaklanjuti dengan bersurat ke PSDKP, bertemu dan berkomunikasi ke pimpinan PSDKP untuk mengadakan audiensi dengan SSI dan Koalisi KORAL secara offline.

Penyelamatan Pulau Sangihe dari kepungan tambang setidaknya menjadi momentum perjuangan masyarakat kecil menghadapi perusahaan tambang besar dan lemahnya perlindungan pemerintah dan regulasi. Sekali lagi, ketakutan dan keresahan masyarakat bukan tanpa alasan yang kuat.  Sudah terlalu banyak bukti konflik sosial-ekonomi dan kerusakan alam yang maha dasyat terjadi akibat pertambangan. Harimuddin dari Koalisi KORAL mengingatkan kenyataan yang dialami Pulau Bangka, dimana proses penyelesaian di Pengadilan berlangsung, namun proses pertambangannya masih juga bergulir disaat bersamaan. Yang tersisa hanyalah pemulihan dampak lingkungan dan dampak sosial yang membutuhkan waktu sangat lama. Apakah kemudian Pemerintah berdiam menghadapi ini? SSI dan Koalisi KORAL menaruh harapan besar dan berdiri bersama KKP untuk membantu masyarakat Pulau Sangihe menghadapi gempuran tambang. Kami yakin, KKP mampu bertindak bijak dengan hati nurani, dan berdiri bersama kami.

******