KASUS BARU SETELAH PP ABK MIGRAN DIKELUARKAN: 3 POIN YANG PERLU DIEVALUASI

SBMI bersama dengan Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai didepan MONAS dalam upaya menyebarkan awareness terkait nasib ABK Migran yang rawan eksploitasi dan perbudakan modern.

Pada akhir bulan Juni 2022 yang lalu, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Ketenagakerjaan Chairul Fadli Harahap mengkonfirmasi ada tujuh anak buah kapal (ABK) dari Indonesia yang kabur dari kapal berbendera Korea. Para ABK Indonesia melarikan diri dengan cara berenang sejauh 1.6 kilometer dan berujung pada salah satu diantaranya meninggal dunia. Kasus berbeda terjadi di Taiwan. Sebanyak 8 Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai ABK di kapal MV Jiang Ye akhirnya akan dipulangkan. Para ABK itu diketahui terdampar di Pelabuhan Taiwan dan tidak mendapat gaji selama 6 bulan bekerja oleh pemilik kapal. 

Dua kasus diatas setidaknya menjadi gambaran terbaru bagaimana kemudian ABK masih menjadi pekerjaan dengan resiko yang besar. Sejauh ini Pemerintah Indonesia sudah menyadari pentingnya perlindungan bagi ABK Migran yang bekerja di luar negeri dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) baru. Peraturan Pemerintah ini memiliki tujuan untuk membuat perekrutan lebih teratur dan terlacak prosesnya, dari awal hingga akhir. Sehingga tentunya keluhan-keluhan maupun kasus yang mengancam dan mengurangi kesejahteraan ABK bisa diminimalisir dan bahkan dihilangkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran merupakan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga mengumumkan sistem satu pintu dalam proses perekrutan ABK.

Namun masih ada beberapa hal yang tentunya perlu diperbaiki dan atau diperjelas, sehingga proses perlindungan ABK Migran menjadi lebih optimal dan dapat diimplementasikan dengan baik dan lancar. Pertama, yaitu penyebutan ABK Migran dengan istilah legal baru, “awak kapal perikanan migran” yang serupa pada aturan turunan dari Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Namun, perlu digaris bawahi bahwa peraturan mengenai ABK perikanan migran yang baru terbit merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, yang merujuk para ABK ini sebagai “pelaut perikanan”. Perbedaan terminologi dalam kedua regulasi ini nantinya dapat menjadi bumerang balik dan titik lemah hukum . Hal ini dikarenakan, akan sangat mungkin bagi perusahaan perekrut untuk berdalih bahwa perubahan dalam praktik rekrutmen tidak berlaku akibat istilah yang berbeda. 

Kedua, kekuatan legal dan peradilan yang jelas. Para ABK Migran membutuhkan integrasi dari berbagai badan untuk memastikan kesejahteraan mereka, termasuk proses peradilan dan bantuan hukum dari Pemerintah. Kasus yang biasanya terjadi adalah kecacatan proses perekrutan secara ilegal, penahanan dokumen dan penarikan dana ilegal dalam proses perekrutan, tidak dibayarkannya jaminan kesehatan dan gaji secara penuh selama bertugas, dan lain sebagainya. Tidak jarang perusahaan perekrut dan pekerja kemudian dapat lepas tangan ketika adanya sengketa peradilan dikarenakan ketidak ahlian petugas hukum di Indonesia dalam menangani permasalahan sengketa ABK Migran. Maka dari itu, dalam implementasi penegakan hukum, Pemerintah diharapkan mampu mengalokasikan petugas hukum dan peradilan yang paham mengenai kasus sengketa terkait pekerja migran. Apalagi dengan salah satu titik lemah pemberlakuan PP yang baru, yaitu  nasib ABK Migran yang ditempatkan manning agency setelah 7 Juli 2021 sampai dengan terbitnya PP 22/2022 ini. Hal ini tentunya membuat posisi mereka masih rawan dan terancam.

Ketiga, kewajiban pemuatan poin hak ABK Migran juga perlu diwajibkan pencantumannya dalam tiap perjanjian kerja. Pemerintah Indonesia perlu melakukan negosiasi dan menjalin kerja sama bilateral dengan negara penempatan ABK Migran. Hal ini guna menstandarisasi perlindungan ABK Migran Pelaut Perikanan (PP). Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengatakan poin yang perlu dibahas dalam memorandum of understanding (MoU) dengan negara penempatan, adalah: standar upah minimum, tata cara pembayaran upah, keselamatan dan kesehatan kerja, komitmen mutual recognition (pengakuan timbal balik) atas sertifikat pelatihan ABK Migran PP, mekanisme pelaksanaan joint inspection dan mekanisme pengawasan pemenuhan hak, mekanisme pengawasan pemenuhan hak ABK Migran yang bekerja di kapal berbendera bukan negara penempatan, pembebanan biaya penempatan; dan kerja sama penegakan hukum.

Dibuatnya PP baru dan skema satu pintu dalam permasalahan ABK Migran menjadi angin segar yang patut diapresiasi. Namun, Pemerintah tidak boleh cepat puas setelah merilis PP yang muncul sesudah gugatan 3 ABK kepada Presiden di bulan Juni yang lalu. Ketiga hal diatas setidaknya masih menjadi poin-poin penting yang perlu diperbaiki dan dievaluasi, karena menjadi hal substansial dalam pemenuhan kesejahteraan dan perlindungan ABK Migran atau awak kapal perikanan migran. 

******