TAPMI: PELAUT MIGRAN ADALAH PEKERJA MIGRAN

Pada tanggal 7 Februari 2024, Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) memainkan peran kunci sebagai “Pihak Terkait” dalam uji materi atau judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 127/PUU-XXI/2023. Dalam persidangan yang berlangsung pada Rabu, 6 Februari 2024, TAPMI memberikan keterangannya secara langsung di hadapan Majelis Hakim MK.

TAPMI  menegaskan kerangka argumentasinya bahwa pelaut migran seharusnya diakui sebagai pekerja migran, dan hal ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pandangan TAPMI, pengakuan ini penting untuk memastikan perlindungan hak-hak mereka sebagai pekerja migran, termasuk hak atas upah yang adil, kondisi kerja yang aman, serta akses terhadap pelayanan kesehatan dan keamanan sosial.

Dalam penyampaian keterangannya sebagai “Pihak Terkait” di hadapan Mahkamah Konstitusi, Kuasa Hukum TAPMI, Matthew Michele Lenggu, S.H., menegaskan bahwa “Pemohon” tidak memiliki kerugian konstitusional atas keberadaan norma Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Perlindungan Pelaut Migran Indonesia (UU PPMI) No. 18/2017.

TAPMI turut menjelaskan bahwa ketentuan pasal terkait justeru telah memberikan kedudukan dan kepastian hukum yang jelas bagi awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran sebagai pekerja migran Indonesia.

TAPMI juga menjelaskan bahwa ketentuan pasal terkait telah memberikan kejelasan norma dan lingkup pelindungan bagi pelaut migran Indonesia, termasuk bagi mereka yang bekerja di kapal niaga maupun di kapal perikanan berbendera asing di luar negeri. Hal ini terjadi melalui kontrol dan pengawasan menyeluruh dari pemerintah pada proses bisnis perekrutan dan penempatan yang melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat, perwakilan pemerintah di luar negeri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, hingga pemerintah desa.

Dengan adanya kontrol dan pengawasan yang menyeluruh ini, diharapkan bahwa proses perekrutan dan penempatan pelaut migran Indonesia dapat dilakukan secara transparan, adil, dan sesuai dengan standar hukum dan hak asasi manusia. Ini juga memastikan bahwa pelaut migran memiliki akses terhadap informasi yang jelas tentang hak-hak mereka, kewajiban yang harus dipenuhi oleh majikan, serta mekanisme untuk melaporkan pelanggaran hak mereka jika diperlukan.

Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Mattew bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No. 18/2017 telah sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan telah memberikan kepastian dan pelindungan hukum bagi awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran sebagai Pekerja Migran Indonesia.

TAPMI juga turut mengklarifikasi bahwa dalam hukum internasional, awak kapal niaga dan perikanan migran yang bekerja di kapal ikan berbendera asing di luar negeri juga diakui sebagai pekerja migran. Para “Pemohon” telah salah dalam menafsirkan definisi pekerja migran dan pelaut yang diatur dalam Pasal 2 International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (ICRMW), sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012.

Pekerja migran didefinisikan oleh Pasal 2 ayat 1 ICRMW sebagai seseorang yang akan, tengah, atau telah melakukan aktifitas yang dibayar di suatu negara di mana ia bukan merupakan warga negara. Selanjutnya, Pasal 2 (c) ICRMW menyebutkan bahwasanya ‘the term “seafarer”, which includes a fisherman, refers to a migrant worker employed on board a vessel registered in a State of which he or she is not a national’. Atau dalam Bahasa Indonesia adalah “istilah “pelaut” yang mencakup nelayan, mengacu pada seorang pekerja migran yang dipekerjakan di atas kapal yang terdaftar di suatu Negara yang ia bukan merupakan warga negaranya”. Berdasarkan definisi di atas, pelaut, termasuk awak kapal perikanan, jelas dimasukkan sebagai bagian pekerja migran. 

Menurut TAPMI, “Pemohon” juga salah dalam menafsirkan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 3(f) International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (ICRMW), yang menyatakan bahwa ‘Konvensi ini tidak berlaku bagi: pelaut dan pekerja pada suatu instalasi lepas pantai yang belum memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja’.

Artinya, norma-norma pelindungan yang terdapat dalam ICRMW secara jelas berlaku bagi pelaut yang telah memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja. Ini menunjukkan bahwa pelaut migran yang telah memenuhi syarat tersebut memiliki hak-hak yang dilindungi dan diakui berdasarkan ketentuan konvensi internasional.

Lebih lanjut, TAPMI juga berpendapat bahwa keberadaan pengecualian dalam Pasal 3(f) ICRMW tidak menghapus atau menggugurkan status pelaut migran sebagai pekerja migran, sebagaimana yang telah ditegaskan dan dimaksudkan dalam Pasal 2(c) dari konvensi tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memahami kerangka dan substansi sebuah perundang-undangan, termasuk dari suatu konvensi, secara komprehensif, bukan secara parsial.

Dalam petitumnya, TAPMI memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan dari “Pemohon” yang menginginkan agar Pasal 4 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Penolakan tersebut dianggap sangat penting untuk membangun landasan normatif konstitusional sekaligus memberikan penegasan yang konklusif bahwa norma dari pasal yang disengketakan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan, penolakan ini diharapkan turut memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh, adil, dan tidak diskriminatif bagi seluruh pekerja migran Indonesia, termasuk bagi pelaut niaga migran dan pelaut perikanan migran Indonesia.

***

Sumber Utama : Greenpeace Indonesia 

Narahubung:

  • Matthew Michele Lenggu, S.H., Kuasa Hukum TAPMI, +6285920641931
  • Kirana / SBMI, Perwakilan Tim Kampanye dan Media TAPMI, +6282384034349