Indonesia sebagai negara kepulauan dengan perairan yang tinggi keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity), juga menjadi rumah bagi sekitar 117 jenis hiu dari 25 famili. Bukan hanya hiu, menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indonesia juga menjadi rumah bagi separuh dari 500 jenis ikan pari yang dapat ditemukan persebarannya di berbagai perairan Indonesia seperti Laut Jawa, perairan selatan Jawa, Selat Sunda, dan perairan utara Bali. Namun keberadaan mereka terekspos akan beberapa bahaya, termasuk didalamnya by catch atau tangkapan sampingan dari hasil aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan.
Tangkapan sampingan atau by catch ini umumnya terjadi dalam aktivitas penangkapan tuna dengan menggunakan alat tangkap seperti pukat cincin (purse seine), jaring insang (gillnet), dan rawai (longline); di mana kemudian hiu dan pari yang kebanyakan berukuran dewasa, yang ikut terjaring. Terjaringnya ikan hiu dan pari yang berukuran dewasa inilah yang kemudian dianggap akan membahayakan masa depan laut, karena kedua biota laut tersebut telah dalam usia yang sudah siap untuk berkembang biak.
Hiu dan pari merupakan hewan yang dilindungi secara hukum, salah satunya adalah dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 61/PERMEN-KP/2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan juga tercantum dalam jenis ikan yang dilindungi versi Appendices Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Polemik Pengawasan dan Penertiban serta Perlunya Edukasi
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa dasar regulasi yang mengatur mengenai tangkapan ikan yang dilindungi seperti Permen KP No. 61 Tahun 2018, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik yang mengatur tentang jumlah tangkapan hiu pari. Lalu juga ada Permen KP No. 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan.
Jika melihat konteks perdagangan dalam negeri, pengusaha harus memiliki Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan (SIPJI) sesuai dengan kuota tahun berjalan. Pemegang SIPJI wajib mengurus Surat Angkus Jenis Ikan (SAJI). Tangkapan sampingan atau by catch juga tetap harus dilaporkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP). PPP nantinya akan mencatat dan memverifikasi hasil tangkapan tersebut.
Namun celah penertiban dan pengawasan akan tangkapan hiu pari ini masih sangat besar. Ada beberapa faktor lemahnya penertiban dan pengawasan yaitu pendaratan hasil tangkapan di pelabuhan-pelabuhan tangkahan ataupun Unit Pengolahan Ikan (UPI) serta perdagangan ilegal.
Menurut Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, unreported fishing yang terjadi karena banyak pelabuhan tangkahan dan minimnya pengawasan. Abdi menambahkan, unreported fishing di Aru, Merauke misalnya, terjadi karena otoritas yang diberikan tanggung jawab untuk mengurus sektor kelautan dan perikanan hanya sekitar 40 orang. Sementara untuk armada pengawasan, hanya memiliki 2 speedboat Napoleon, 7 armada speedboat untuk mengawasi laut dengan luas dari 650.000 km² dan lebih dari 1.300 pulau. Alhasil, pengawasan dan penertiban pun tidak akan maksimal. Pencatatannya pun tidak ada data spesifik. Padahal di perairan Aru Merauke setiap tahun rata-rata menghasilkan 18,6 ton sirip hiu kering termasuk hiu pari.
Perdagangan ilegal pun tidak bisa diawasi dan ditangani dengan maksimal karena kurangnya pengawasan. Tidak sedikit kemudian oknum yang melakukan penangkapan ikan hiu dan pari dengan sengaja dan mengolahnya diatas kapal dengan cara penggaraman agar awet untuk kemudian langsung dijual.
Dari data penelitian yang dilakukan DFW Indonesia sejak tahun 2021 agaknya sudah menjadi jawaban atas pentingnya peningkatan penertiban dan pengawasan dengan menambahkan armada pengawasan di setiap wilayah area penangkapan ikan. Namun bukan hanya itu, peningkatan edukasi bagi pegawai Pelabuhan dan nelayan tentunya sangat penting. Bagi nelayan atau awak kapal penangkapan ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah pernah mengeluarkan pedoman umum penanganan hasil tangkap sampingan (by catch) yang dapat diakses disini.
***