KEBERLANJUTAN PULAU-PULAU KECIL: TINJAUAN HUKUM TERHADAP AKTIVITAS PERTAMBANGAN DI PULAU KECIL

Foto: Dokumentasi Humas Mahkamah Konstitusi

Sidang perkara uji materi terkait Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) terus berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Pada persidangan terbaru, pihak yang berkepentingan dari masyarakat Wawonii diwakili oleh Dr. Mas Achmad Santosa, seorang ahli hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).

Dalam paparannya, Mas Achmad Santosa menjelaskan sejumlah kajian tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan hukum lingkungan, terutama terkait konsep pembangunan berkelanjutan yang kuat. Dia menyoroti pentingnya menginterpretasikan prinsip keberlanjutan yang kuat, yang menekankan bahwa beberapa modal alam dan ekosistem memiliki fungsi yang tidak dapat digantikan. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditunjukkan sebagai contoh yang penting secara ekologis, sosial-ekonomi, dan kultural, namun juga sangat rentan terhadap risiko lingkungan.

Mas Achmad Santosa berpendapat bahwa Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K sejalan dengan prinsip keberlanjutan yang kuat, karena tidak memberikan ruang bagi kegiatan pertambangan di Pulau-Pulau Kecil. Hal ini konsisten dengan prinsip kehati-hatian yang diatur dalam UU PWP3K dan tujuan utama undang-undang tersebut untuk melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Lebih lagi, Mas Achmad Santosa menegaskan bahwa Pasal 35 huruf k UU PWP3K memberi ruang untuk kegiatan pertambangan karena mengandung larangan bersyarat. Namun, untuk menjaga konsistensi dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan yang berlaku, seperti Pasal 28H, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Pasal 3, dan Pasal 4 UU PWP3K, serta UU Lingkungan Hidup, maka Pasal 35 huruf k harus diinterpretasikan sehingga pengelolaan Pulau-Pulau Kecil tidak diperbolehkan untuk kegiatan pertambangan.

***


Sumber Utama: IOJI