FENOMENA BANJIR ROB MERUAK, DEGRADASI LINGKUNGAN MULAI TERKUAK
Pada bulan Mei 2022, fenomena banjir rob terjadi di beberapa provinsi di Indonesia seperti di Lampung, Semarang, Pekalongan, Surabaya, dan Nusa Tenggara Barat. Fenomena banjir rob merupakan pola fluktuasi muka air laut yang dipengaruhi oleh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama oleh bulan dan matahari terhadap massa air laut di bumi (Sunarto, 2003 dalam Desmawan dan Sukamdi, 2012) sehingga mengakibatkan pasang surut air laut dan kenaikan muka air laut. Selain disebabkan secara natural, banjir rob juga dapat terjadi karena faktor-faktor lainnya seperti dorongan air, angin, atau swell (gelombang yang bergerak dengan jarak sangat jauh meninggalkan daerah pembangkitnya), badai di laut, serta pencairan es kutub yang dipicu oleh pemanasan global (Karana dan Supriharjo, 2013). Hal ini senada dengan data yang dikeluarkan pada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), dimana permukaan laut bisa naik sekitar dua meter, di akhir abad ini dan peristiwa ekstrem permukaan laut yang dulu terjadi sekali dalam satu abad akan terjadi tiap tahun. Selain itu, aktivitas pemompaan air tanah yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, dan reklamasi pantai, eksploitasi lahan pesisir yang mengakibatkan abrasi dan intrusi air laut, perubahan fisik lingkungan juga memicu terjadinya banjir rob (Wahyudi [2007], Asdak [1995]).
Fenomena banjir rob pada sejumlah provinsi menjadi penanda penurunan kualitas lingkungan negara ini. Selain aktivitas manusia yang makin membludak dan merusak, keberadaan proyek-proyek nasional yang banyak memakan ruang lingkungan menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir rob. Misalnya saja pengalihan fungsi hutan mangrove yang digubah untuk menjadi ruang pembangunan jalan tol di Semarang. Seperti diketahui, Pemerintah akan merelokasi 46 hektare kawasan bakau atau mangrove yang terkena pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak, Jawa Tengah. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa kawasan mangrove tersebut tersebar di tiga lokasi di lahan yang akan dijadikan tol pada ruas Semarang hingga Sayung (CNN Indonesia, 2022).
Padahal lahan hutan mangrove merupakan benteng pelindung kawasan pesisir dari abrasi dan ombak kencang, yang bisa menangkal laju tinggi ombak agar tidak masuk ke kawasan pesisir. Pembangunan yang ‘katanya’ mengangkat aspek keberlanjutan dan memperhatikan lingkungan, justru malah menjatuhkan nilai keanekaragam hayati dan merusak lingkungan itu sendiri alih-alih untuk kemajuan ekonomi dan peradaban manusia. Parahnya banjir rob yang menggenangi Semarang ini sudah diakui pula oleh Kementerian PUPR. Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Teknologi, Industri dan Lingkungan sekaligus Juru Bicara Kementerian PUPR Endra S. Atmawidjaja mengatakan bahwa pasang air laut +210 cm mdpl dapat disebut ekstrim bila dibandingkan catatan pasang surut 5 tahun terakhir.
Dampak akibat banjir rob meliputi berbagai aspek kehidupan seperti:
Aspek Kehidupan Masyarakat : terganggunya aktivitas hidup masyarakat mulai dari timbulnya penyakit, terkontaminasinya air tanah dengan air laut, terganggunya aktivitas belajar-mengajar dan pekerjaan, hingga rusaknya harta benda dan kediaman warga.
Aspek Geografis : banjir rob juga dapat mengubah bentang alam, misalnya dengan mengikis tepian pesisir dan menyebabkannya abrasi. Sedimen yang terbawa banjir dan tersuspensi ini akhirnya mengendap, menyumbat dasar sungai dan aliran air, melumpuhkan organisme air, dan menghancurkan habitat. Erosi dan sedimentasi lebih berdampak negatif pada ekosistem yang sudah terdegradasi atau termodifikasi berat. Selain itu juga membahayakan hewan-hewan yang terbawa banjir rob.
Aspek Ekonomi : diluar kesulitan yang dihadapi oleh pekerja atau pengusaha pada umumnya karena banjir rob, nelayan dan nelayan pembudidaya menjadi dua mata pencaharian yang paling terdampak. Tingginya gelombang dan intrusi air laut ke tambak membuat nelayan dan nelayan pembudidaya tidak dapat melaut atau merusak tambak milik mereka dan merugikan mereka ratusan ribu hingga jutaan rupiah per hari nya.
Bukannya mengembalikan fungsi hutan mangrove dan penghentian pembangunan di wilayah ruang laut yang merusak, informasi terakhir, solusi yang dihadirkan justru dengan pembuatan tanggul di wilayah terdampak dan pada proyek jalan Tol Semarang-Demak. Padahal kawasan Jawa Tengah sendiri sempat pernah merasakan dampak positif dari rimbunnya hutan mangrove. Warga Kelurahan Mangunharjo, Semarang – Jawa Tengah yang secara giat melakukan pelestarian ekosistem dan upaya konservasi mangrove di daerah mereka, kini tinggal menikmati hasilnya. Pada 1997 lalu, tingkat abrasi di wilayah Kelurahan Mangunharjo sangat tinggi, dimana kerusakan wilayah pesisir yang disebabkan oleh abrasi mencapai 150 hektare, bahkan merambah sepanjang 3,5 kilometer ke arah pemukiman warga. Masyarakat setempat lalu melakukan penanaman mangrove di sekitar bibir pantai untuk mencegah abrasi dan pengikisan tanah yang disebabkan oleh air. Hingga per tahun 2020, luas hutan mangrove di Kelurahan Mangunharjo mencapai 62,83 hektare.
Namun, Mangunharjo tidak bisa berdiri sendirian dalam mengembalikan hutan mangrove di pesisir Semarang kembali asri dan rimbun. Perlu adanya tindakan masif dan kolektif dalam pengembalian fungsi pesisir menjadi hutan mangrove dan bukan “hutan baja dan aspal jalanan” yang harus dilakukan dari ujung ke ujung, dan pemerintah lah yang punya andil dalam menghadirkan perubahan ini.
Jika kemudian prioritas pemerintah adalah pembangunan berbasis ekonomi, maka tidak heran apabila degradasi lingkungan akan terus bergulir dan bertambah parah. Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jateng Iqbal Alma mengatakan bahwa penggunaan ruang laut ini dikhawatirkan akan ‘mengundang’ bencana alam seperti banjir rob yang sudah melanda Semarang berhari-hari. Bukan hanya pembangunan jalan tol Semarang-Demak saja, tetapi juga pembangunan lainnya yang mengambil ruang pesisir seperti Kawasan Ekonomi Khusus Kendal, Kawasan Industri Terpadu Batang, Jatengland Industrial Park Sayung, dan Kawasan Industri Wijayakusuma juga mengancam degradasi dan abrasi di wilayah pesisir menjadi lebih rawan bencana. Ujung-ujungnya banjir rob juga akan semakin sering terjadi dan bertambah parah.
Lucu rasanya melihat cara Pemerintah membenahi masalah yang ada di negeri ini. Sama seperti solusi menambal dan membuat tanggul, Pemerintah seolah mencari jalan untuk menambal dan menutupi masalah yang ada lalu menutup mata pada kenyataan rusaknya lingkungan akibat ketamakan. KORAL berharap, Pemerintah tidak takabur dan beranggapan bahwa tanggul buatan manusia bisa menyelamatkan negara ini dari keterpurukan ekosistem dan bencana di masa depan. Jika solusi yang dihadirkan cuma solusi ‘setengah matang’ untuk jangka waktu pendek, pembuatan tanggul mungkin bisa menangani bencana banjir rob dengan level seperti ini. Tapi apakah ada garansi jika kemudian di masa depan, tidak ada bencana banjir rob yang lebih besar lagi dan mungkin lebih luas? Apakah kemudian solusinya adalah membuat tanggul yang lebih tinggi dan luas lagi? Mau tunggu sampai kapan? Pemerintah sadar bahwa bencana yang dihasilkan alam juga harus diselesaikan secara alamiah dengan melakukan pelestarian ekosistem dan upaya konservasi mangrove secara besar-besaran di wilayah pesisir di seluruh Indonesia. Hentikan rencana pembangunan yang memangkas ruang laut, wilayah pesisir, serta merusak keanekaragaman hayati dan wilayah konservasi sekarang juga!
******