MENANG DI PTUN JAKARTA: SAVE SANGIHE ISLAND MASIH BUTUH DUKUNGAN UNTUK HENTINGAN KEPUNGAN TAMBANG

PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS) kembali mencoba menyelundupkan dua alat bor besar masuk ke dalam Pulau Sangihe pada Hari Dirgahayu negara ini, di 17 Agustus yang lalu. Hal ini berselang sehari setelah Bupati Sangihe, Rinny Tamuntuan, mengeluarkan surat yang menegaskan bahwa PR. RMS masih dalam status penundaan operasional eksploitasi tambang. Hal ini menjadi kali kedua TMS melanggar keputusan Pemerintah. Sebelumnya PT. TMS per tanggal 11 Juni 2022 membawa alat berat masuk sebanyak 3 buah, ditambah PT. TMS juga sudah mulai bekerja diluar luas batas izin lingkungan yang diberikan PUPR Provinsi. 

Sebagai salah satu organisasi yang menemani warga Pulau Sangihe, WALHI melakukan pendampingan saat berkunjung ke Komnas HAM pada Jumat, 8 Juli 2022 lalu. Dalam pertemuan ini, Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga yang tertuang dalam surat bernomor 564/PK-HAM/VI/2022 yang mendesak Menteri ESDM untuk melakukan dua hal berikut, yaitu:

  1. Memerintahkan kepada PT TMS untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan menghentikan sementara waktu seluruh aktivitas/kegiatan usaha pertambangan di wilayah Kepulauan Sangihe dalam rangka menghormati putusan PTUN Manado Nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo sampai batas waktu dan/atau sampai adanya putusan yg telah berkekuatan tetap, atau ada penetapan lain di kemudian hari;
  2. Mengevaluasi kembali Kontrak Karya generasi ke VI antara PT TMS dan Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. B.143/Pres/3/1997 tanggal 17 Maret 1997 terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe dengan IUP seluas 42.000 ha dan IUP OP di Blok Bowone seluas 65,43 ha yang juga meliputi kawasan perkampungan/pemukiman penduduk, lahan perkebunan dan sarana/prasarana layanan sosial dasar.

Babak Selanjutnya

Tidak berhenti disini, Save Sangihe Island masih berupaya dengan melakukan tuntutan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan mengajukan banding untuk membatalkan putusan PTUN Jakarta Nomor 146/G/2021/PTUN.JKT tanggal 20 April 2022. SSI berharap PTUN Jakarta mengabulkan permohonan banding ini sebagai bentuk perhitungan kembali bahwa PT. TMS tidak layak dan tidak dapat beroperasi di Pulau Sangihe.

Akhir Agustus kemarin, doa SSI terjawab. PTUN Jakarta mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan Terbanding I yaitu Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya  PT. Tambang Mas Sangihe selama pemeriksa perkara sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, PTUN Jakarta juga mewajibkan KESDM untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe.

Harapan KORAL

Dengan adanya putusan ini, Dalam kurun waktu yang diberikan untuk menunda operasional PT. TMS, diharapkan Pemerintah melalui KESDM bukan hanya meninjau kembali operasional dari PT. TMS namun membatalkan izin perusahaan ini untuk beroperasi di Pulau Sangihe. Terlalu banyak bukti pelanggaran yang dilakukan PT. TMS dan juga resiko serta multiplier effect yang dapat menerpa Pulau Sangihe baik dari sisi lingkungan maupun sosial ekonomi masyarakatnya. 

Tidak semudah pernyataan dari CEO TMS, Tery Filbert pada GATRA, PT. TMS tidak bisa serta merta menyampaikan bahwa dampak negatif dari aktivitas pertambangan yang dilakukan perusahaan nantinya bisa diakomodir dengan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Kerusakan topografi dan sumber air bisa menjadi salah satu efek jangka panjang yang berlangsung hingga berdekade kemudian. Belum lagi hilangnya hewan-hewan endemik yang menghuni habitat alami mereka yang bahkan bisa punah karena aktivitas pertambangan skala besar. Hewan-hewan ini akan terdampak karena rusaknya habitat mereka dan juga efek dari polusi yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan. Banyak spesies hewan tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang disebabkan oleh gangguan lahan yang terlibat dalam penambangan. Apalagi pada habitat unik seperti tebing, gua, dan hutan tua yang tidak dapat dipulihkan. 

Lingkungan dengan segala keunikannya, bukan terjadi dalam kurun waktu 1 hari saja. Butuh waktu berabad-abad bagi suatu wilayah untuk berkembang, butuh begitu banyak air dan pohon untuk memastikan cadangan air dibawah tanah, butuh waktu beratus-ratus tahun bagi hewan-hewan untuk berevolusi dan bertahan didalam gempuran perubahan. Janganlah PT. TMS menjadi maruk. Janganlah KESDM menutup mata telinga akan hal ini. CSR Perusahaan tidaklah cukup untuk mengembalikan lingkungan yang sudah rusak dan dapat memulihkannya seperti sediakala. Sudah terlalu banyak poin yang disampaikan untuk menjadi landasan penolakan aktivitas pertambangan oleh PT. TMS di Pulau Sangihe (BACA: KOALISI SSI TOLAK TAMBANG EMAS YANG BERPOTENSI MERUSAK KEPULAUAN SANGIHE ). Jika kemudian PT. TMS masih diberikan izin beroperasi, saatnya kita semua pertanyakan intensi dari Pemerintah dalam merelakan bumi pertiwi dirusak secara legal.

******