PENGAWASAN SUMBER DAYA LAUT HARUS BERBASIS MASYARAKAT LOKAL

Koordinator Nasional DFW-Indonesia, Moh Abdi Suhufan.

PENGAWASAN SUMBER DAYA LAUT HARUS BERBASIS MASYARAKAT LOKAL

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan menyatakan pengawasan sumber daya laut yang dilakukan di berbagai daerah seperti Papua dan Maluku harus berbasis masyarakat lokal dan jangan bersifat sentralistik. “Tidak masuk akal jika indikasi pelanggaran harus dilaporkan ke Jakarta, padahal laporan tersebut membutuhkan upaya penanganan dan respons cepat,” kata Abdi di Jakarta, Jumat.

Menurut Abdi, upaya pengawasan laut melalui sistem Pokmaswas atau pengawasan berbasis masyarakat yang didorong oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk menjaga sumberdaya laut Indonesia belum terlalu efektif. Hal ini dinilai belum mampu mendeteksi dan menangkal aktivitas kelautan dan perikanan yang merusak, eksploitatif dan pencurian ikan ilegal. Ketidakmampuan ini, lanjutnya, disebabkan karena jauhnya rentang kendali pengaduan, ketidakjelasan alur dan mekanisme pengaduan, lemahnya orientasi pengawasan berbasis masyarakat, dan minimnya anggaran yang tersedia.

Abdi mengemukakan, hasil pemantauan yang dilakukan pihaknya pada beberapa wilayah konservasi di Papua dan Maluku, peran dan fungsi Pokmaswas belum berjalan secara efektif karena keterbatasan daya dukung dan lemahnya kapasitas. “Dalam kawasan Suaka Alam Perairan Aru bagian Tenggara di Maluku banyak ditemukan indikasi eksploitasi penyu, hiu, pencurian ikan, dan pelanggaran jalur oleh kapal ikan yang terjadi tanpa bisa dicegah karena ketidaktahuan masyarakat akan melaporkan ke mana,” kata Abdi.

Dirinya meminta kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah Provinsi Papua dan Maluku agar dapat merumuskan strategi yang lebih implementatif agar pengawasan laut berbasis masyarakat bisa lebih efektif. “Perlu ada orientasi yang lebih jelas tentang peran dan fungsi kelompok pengawas serta bagaimana mereka melaporkan kejadian di wilayah perairan mereka. Petunjuk teknis yang ada saat ini sangat sentralistis dan terbukti tidak efektif mencegah kegiatan pelanggaran di laut,” paparnya.

Abdi kemudian mengusulkan agar unit pengaduan masyarakat perlu tersedia pada tingkat desa atau kecamatan yang dikelola secara kolaboratif oleh unsur pengawas atau penegak hukum. “Hotline pada tingkat lokal perlu disediakan untuk memudahkan pelaporan dan pengaduan kasus oleh masyarakat,” kata Abdi.

Sebelumnya, KKP bersama-sama dengan Badan Keamanan Laut (Bakamla) bertekad untuk memperkuat aktivitas patroli pengawasan dalam rangka menjaga sumber daya laut di kawasan perairan nasional. “Penguatan pengawasan di laut sangat penting, terlebih KKP akan menerapkan kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjaga ekosistem laut tetap terjaga,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono saat bertemu Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia di KKP, Jakarta, Rabu (18/5).

Menteri Trenggono mengatakan, melalui program kebijakan penangkapan terukur tersebut, maka aktivitas penangkapan ikan diatur dalam sistem kuota sesuai zona penangkapan. “Selain kita punya tim dari PSDKP sebagai pengawas laut, Bakamla juga menjadi salah satu badan yang memiliki peran penting yang dapat ikut serta dalam pengawasan penangkapan terukur dengan melibatkan kapal-kapal patroli dan teknologi pemantauan yang dimiliki,” ujar Trenggono.

Menteri Trenggono menerangkan, prinsip dalam penangkapan ikan terukur adalah pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkeadilan dengan berpegang pada kelestarian sumber daya ikan dengan pembatasan kuota penangkapan sesuai dengan potensi yang diperbolehkan. Dengan demikian, lanjutnya, peran pengawasan menjadi sangat penting untuk memastikan kegiatan penangkapan ikan di laut berjalan sesuai ketentuan.

******