Selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada sektor kelautan dan perikanan cukup menimbulkan polemik. Terdapat sejumlah perbedaan dari periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi dengan yang kedua. Selama periode pertama yaitu sejak tahun 2014-2019, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berada dibawah naungan Susi Pudjiastuti yang memimpin KKP atas tiga pilar yaitu kesejahteraan, keberlanjutan, dan kedaulatan. Ada beberapa kebijakan yang mantan Menteri Susi keluarkan yaitu seperti pemberantasan illegal, unregulated, unreported fishing (IUUF) seperti pelarangan alat tangkap cantrang, pelarangan transhipment, pengaturan penangkapan lobster dan ekspor benih lobster, rajungan, dan kepiting bakau, dan masih banyak lagi.
Lalu pada masa kepemimpinan periode kedua, KKP berada dibawah naungan Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri KP yang baru. Kebijakan yang dikeluarkan pun mengusung paradigma baru yakni ekonomi biru (blue economy). Paradigma ini sebetulnya masih menimbulkan tanda tanya, karena hampir tidak ada perbedaan orientasi dan ranahnya dengan ekonomi kelautan (ocean economics). Ekonomi biru justru menimbulkan banyak ketidakadilan dan mengekspos kelautan dan perikanan akan resiko-resiko besar.
Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pada masa sesudah 2019 inilah yang kemudian menjadi gambaran perbedaan kontras pada sektor KP. Jika dibedah satu per satu, terdapat 14 kebijakan yang justru mendegradasi semangat ekologi sejak tahun 2019 seperti Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam konteks Kelautan dan Perikanan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan, PP No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta masih banyak lagi.
Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan orientasi Pemerintahan Kedua Joko Widodo yang justru mengarah pada pertumbuhan ekonomi dengan cara merampas ruang laut dan sumber dayanya, sehingga memicu ketidakadilan dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Kentalnya aroma privatisasi dan komersialisasi demi menggenjot nilai investasi baik untuk investor dalam negeri maupun asing pun santer tercium. Banyak pakar bidang kelautan, ekonomi, dan politik pemerintahan yang menggambarkan privatisasi sektor kelautan dan sumber daya. Misalnya Carothers dan Chambers (2012) yang mendefinisikan privatisasi sektor kelautan sebagai proses mengalokasikan dan memberikan hak-hak akses maupun kontrol sumberdaya kelautan yang bersifat akses terbuka, milik publik maupun negara kepada pihak swasta/korporasi. Tindakan semacam ini tergolong praktik neoliberalisme dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan cara meliberalisasi pengelolaanya lewat mekanisme kelembagaan. Cirinya, menguatnya hak kepemilikan pribadi dibarengi mekanisme pasar besar (free market) dan perdagangan bebas.
Kelak diyakini bakal menyejahterakan masyarakat (free trade) (Knott & Neis, 2016). Dalam privatisasi berlaku hal serupa mencakup: (i) sumberdaya ikan; (ii) akses ruang laut; (iii) kontrol tata kelola; dan (iv) pengetahuan perikanan (Schlüter et al., 2021). Akibatnya, perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing) tak terelakkan. Korban dari kebijakan berorientasi privatisasi adalah nelayan tradisional. Akibat privatisasi berdampak secara sosial ekonomi bagi nelayan: utangnya menggunung, pendapatannya merosot, timbul kerentanan volatilitas keuangan, kehilangan hak menangkap ikan, dan dominasi swasta mengontrol aktivitas perikanan.
Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua bukan hanya menghadirkan polemik, namun juga mengukir tragedi yang menunggu kita didepan. Isi dari artikel KORAL kali ini ditulis berdasarkan Refleksi Kebijakan Kelautan dan Perikanan 2022 dan Outlook 2023 – Privatisasi Kekayaan Pesisir-Laut, Perdagangan Pulau Kecil, Hingga Pertaruhan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir sebagai bentuk refleksi dan pembedahan kebijakan-kebijakan terkait sektor KP oleh Pemerintah serta pandangan para Pakar dan sejumlah penelitian, yang dapat Anda baca dan unduh di Website kami www.koral.info.
Menyambut Hari Nelayan yang dirayakan tiap tanggal 06 April ini, besar harapan kami, Pemerintah Indonesia mau membuka hati dan telinganya, serta menyediakan waktu untuk lebih memikirkan nasib nelayan dan masyarakat Indonesia, terutama terkait keberlanjutan dan kedaulatan. Apalagi setelah adanya senandung yang bernada anti kritik yang dikeluarkan salah satu Menteri pada akhir Maret yang lalu, seolah-olah menjadi penanda bahwa Pemerintah tidak perlu masukan dari orang diluar pemerintahan karena dianggap tidak tahu apa-apa. Padahal justru masyarakatlah yang akan menjadi korban pertama dari ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan Pemerintah dalam mengeluarkan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut.
***