KUARTAL SATU BERLALU, KOMITMEN PEMERINTAH UNTUK KEBERLANJUTAN LAUT MASIH AMBIGU

Di tiga bulan pertama pada tahun 2023, sektor kelautan dan perikanan (KP) cukup banyak diterpa isu dan polemik, namun juga perbaikan. Kali ini, KORAL akan merekap isu-isu yang masih belum bisa diselesaikan ataupun masih mengancam sektor KP dalam tiga bulan terakhir.

Perppu Cipta Kerja dan Penangkapan Ikan Terukur: Dua Kebijakan yang Masih Dipertanyakan Tapi Buru-Buru Diimplementasikan

Dalam kuartal pertama di tahun 2023, Pemerintah Indonesia termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengesahkan dan memproses implementasi kebijakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PP PIT). Kedua kebijakan ini masih diselimuti banyak tanda tanya besar terkait aspek keadilan bagi lingkungan dan nelayan kecil serta masyarakat pesisir. 

Baru-baru ini, di salah satu artikel, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan bahwa pelaksanaan PIT diyakininya akan mengawal bantuan pemerintah untuk nelayan kecil menjadi lebih tepat sasaran. Dikutip dari Investor.id, Trenggono mengatakan “Sedang dalam proses berapa ideal (kuotanya). Yang paling krusial adalah kuota untuk kepentingan nelayan lokal tradisional yang kecil-kecil tadi. Krusialnya adalah jangan sampai kuota ini ketika diberikan malah dimanfaatkan oleh pelaku industri. Karena kuota ini tidak dikenakan PNBP. Ini tidak boleh, karena tujuannya untuk nelayan kecil tidak dikenakan PNBP sama sekali,” paparnya. Dalam hal pembagian BBM misalnya, nelayan kecil yang seharusnya paling berhak mendapatkan solar bersubsidi di SPBN (Investor.id, 2023). Penggunaan kata “nelayan kecil” sudah sering digaungkan ketika Pemerintah Pusat berbicara mengenai Perppu Cipta Kerja atau Penangkapan Ikan Terukur.

Namun, hingga saat ini, pertanyaan KORAL terkait definisi nelayan kecil dalam Perppu Cipta Kerja masih belum terjawab. Seperti yang diketahui, Perppu Cipta Kerja yang menghapus skala ukuran kapal dalam definisi nelayan kecil yang justru mengaburkan kriteria nelayan kecil itu sendiri. Tidak adanya kejelasan definitif mutlak berdasarkan angka yang dapat diukur akan menjadi celah bagi nelayan yang seharusnya bukan termasuk ke dalam golongan nelayan kecil untuk:

  1. Tidak melakukan atau menghindari kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan Kapal Perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2).
  2. Tidak melakukan atau menghindari kewajiban memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah serta kewajiban membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan (3).

Apalagi Perppu Cipta Kerja inilah yang menjadi landasan hukum dalam menetapkan dan mengundangkan kebijakan PIT sebagaimana yang disebut dalam konsideran kebijakan tersebut. Seperti diketahui, Perppu Cipta Kerja melegitimasi kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI), yang dibagi menjadi 6 zona dengan skema kuota penangkapan ikan. Bagaimana kemudian nelayan kecil akan merasakan dampak baik dari sejumlah kebijakan ini apabila kemudian tidak ada “tanda pengenal” bagi nelayan kecil itu sendiri? Jika kemudian landasan hukumnya saja tidak jelas mendefinisikan subjek hukum yang dimaksud, lalu bagaimana kemudian keadilan dalam penegakan hukum dapat diberlakukan?

Bukan hanya terkait nelayan kecil, masalah keadilan lingkungan dan wilayah konservasi pun masih belum terjawab. Bagaimana kemudian tindakan eksploitasi industri yang dilakukan di berbagai WPP NRI, mampu menjamin keberlanjutan ekosistem laut? Apalagi dengan fakta bahwa perubahan zona konservasi diperbolehkan untuk alasan investasi bukti keterpurukan pemerintah yang lebih pro-ekonomi bukan ekologi. 

Problematika pengawasan dan penegakan hukum terkait PIT juga masih dipertanyakan. Dalam Rapat Kerja Teknis yang digelar pertengahan Maret lalu, KKP diberikan pertanyaan-pertanyaan terkait teknis PIT di daerah. Salah satu pertanyaan yang paling sering dilontarkan adalah terkait pengawasan di lapangan, terutama di daerah. Untuk mengawasi dan menjalankan peraturan dari regulasi atau kebijakan yang dikeluarkan sebelum PIT saja, KKP dinilai masih belum mampu dan belum dapat memberikan hasil yang maksimal. Hal yang ditakutkan adalah, jika kemudian PIT diimplementasikan dengan begitu banyak pemain didalamnya, pengawasan dan penertiban akan menjadi jauh lebih tidak maksimal dan berujung pada luapan pelanggaran dan semakin besarnya celah ketidakadilan yang dirasakan nelayan-nelayan kecil.

Tambang di Laut Bak Maut yang Mengintai

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) menyerahkan 8 (delapan) dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dalam bentuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Timah Tbk pada awal Maret 2023 yang lalu. Dengan dikeluarkannya Surat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (SPKKPRL) yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu, terbukti sudah bahwa komitmen Pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan masih sangat dipertanyakan. 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (kiri) menerima cinderamata dari PT Timah Tbk. Sebelumnya, KKP menyerahkan delapan dokumen KKPRL kepada PT Timah Tbk. Foto : KKP

Kegiatan tambang laut bak usaha Pemerintah untuk mendekatkan sumber daya laut dan seluruh isinya pada maut. Padahal, Pemerintah baru saja membangga-banggakan agenda karbon biru untuk memerangi krisis iklim. Bagaimana tidak, dengan melegalisasi kegiatan tambang laut, Pemerintah makin menambah deretan bukti bahwa segala kebijakan yang ditetaskan tahun ini justru lebih pro investasi daripada ekologi karena dampak jangka panjang yang destruktif dan mendegradasi kesehatan dan keberlanjutan sumber daya laut dan justru mempercepat krisis iklim. 

Dari rangkuman kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan KKP selama 3 bulan pertama di tahun 2023, konklusi yang KORAL ambil adalah komitmen Pemerintah masih ambigu alias tidak jelas. Bak strategi dua kaki, Pemerintah seolah-olah pro ekologi dan nelayan kecil untuk menenangkan hati masyarakat namun dibaliknya tetap pro investasi atau investor dan pemain besar industri perikanan, dengan menggelar karpet merah bagi peningkatan aktivitas industri dan hilirisasi. 

Satu demi satu komitmen positif justru ditepis dengan regulasi dan kebijakan yang mengkhianati semangat komitmen tersebut. Apakah Pemerintah diburu target pemasukan dan capaian negara, sehingga semua regulasi dan kebijakan yang ditelurkan rasanya dikeluarkan dengan gegabah dan dalam jeda waktu singkat? Alih-alih berlomba-lomba menyelamatkan laut dan isinya, mereka justru berlomba-lomba menggadaikan alam dan masa depan generasi selanjutnya bangsa Indonesia. Mari kita sama-sama lihat dan awasi, seberapa besar reliabilitas Pemerintah dalam mewujudkan komitmen penyelamatan lingkungan dan ekosistem karbon biru di bulan-bulan mendatang. 

***