WORLD ENVIRONMENTAL HEALTH DAY: BUMI SEHAT, MANUSIA SELAMAT VS MANUSIA TAMAK, BUMI RUSAK

Lingkungan sekitar kita, tempat kita tinggal, makanan yang kita makan, dan udara yang kita hirup, semuanya berkontribusi terhadap kesehatan kita. Sangat penting untuk hidup di lingkungan yang sehat yang meningkatkan kualitas hidup kita. Kesehatan Lingkungan adalah cabang kesehatan masyarakat yang berfokus pada hubungan antara manusia dan lingkungannya. Hal ini membantu dalam membina komunitas yang sehat dan lebih aman yang dapat membantu manusia dan lingkungan untuk berkembang. Hal ini juga membantu dalam mempromosikan pentingnya kesehatan manusia dan kesejahteraan mereka.

Hari Kesehatan Lingkungan Sedunia atau World Environmental Health Day dicanangkan oleh Federasi Internasional Kesehatan Lingkungan atau The International Federation of Environmental Health (IFEH). IFEH sendiri merupakan badan federasi yang telah bekerja selama tiga puluh dua tahun terakhir untuk memperbaiki permasalahan kesehatan yang mengancam manusia. Federasi ini pada tahun 2011 mencanangkan Hari Kesehatan Lingkungan Sedunia yang diperingati setiap tahun pada tanggal 26 September.

Tema besar World Environmental Health Day 2023 adalah “Global Environmental Public Health: Standing up to protect everyone’s Health each and every day. (Kesehatan Masyarakat Lingkungan Global: Berdiri untuk melindungi Kesehatan Semua Orang Setiap Hari)”  Salah satu pesan dari IFEH adalah kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan saling bergantung satu sama lain seperti misalnya sanitasi dan air bersih. 

Tentunya ketergantungan antara manusia dan alam juga terjadi di sektor kelautan dan perikanan. Lalu, aktivitas apa sajakah yang meningkatkan resiko rusaknya kesehatan lingkungan dan ancaman bagi manusia tersebut?

Eksploitasi di Laut dan di Pulau-Pulau Kecil

Laut dan pulau-pulau kecil sedang tidak baik-baik saja. Kegiatan dan aktivitas ekstraktif dengan resiko kerusakan alam dalam jangka panjang seperti penambangan pasir dan minyak, kebijakan dan program-program eksploitatif seperti lumbung ikan nasional, Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja dengan dibukanya peluang peralihan fungsi pesisir menjadi daerah komersial seperti pertambakkan dan area konservasi yang dapat beralih fungsi demi kepentingan proyek strategis nasional (PSN) menjadi ancaman besar bagi kesehatan lingkungan.

Buktinya sudah banyak didepan mata. Mulai dari tingginya tingkat kekeruhan dan gelombang laut yang terjadi akibat pendalaman laut di wilayah Kepulauan Kodingareng (BACA: PERJUANGAN MASYARAKAT KODINGARENG MEREBUT KEMBALI WILAYAH TANGKAPNYA) yang berujung pada tingginya resiko kecelakaan kerja saat nelayan menangkap ikan. 

Lalu bukti lainnya adalah terkontaminasinya wilayah adat dan hutan mangrove di Kampung Enggros, Teluk Youtefa – Papua yang disebabkan aktivitas pembangunan  di kota dan juga pembangunan jembatan Holtekamp dan jalur dayung untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) (BACA: ANTARA UU CIPTA KERJA, PESISIR, DAN MASYARAKAT ADAT). Hasilnya, sumberdaya hutan mangrove seperti kepiting dan kerang terkontaminasi limbah timbal. Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Cendrawasih, Hasmi, mengatakan masyarakat di Teluk Youtefa berisiko mengalami efek dari paparan logam berat timbal, atau plumbum (Pb), akibat mengkonsumsi kerang dan ikan yang mengandung logam berat tersebut seperti keracunan, letih lesu loyo, hingga rendahnya IQ pada anak (BBC, 2021).

Lalu dari industri penangkapan ikan, tentunya overfishing menjadi ancaman utama. Salah satunya adalah legalisasi penangkapan ikan skala besar dalam wujud Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Kebijakan Penangkapan ikan terukur (PIT) dirasa masih jauh dari kata “matang” untuk diangkat dan diimplementasikan secara langsung di lapangan. Alih-alih memperbaiki kesejahteraan nelayan dan menyelamatkan lingkungan, PIT yang masih “prematur” ini justru berbahaya dan mengekspos laut Indonesia pada resiko overfishing, kerusakan lingkungan dan membahayakan sumber daya ikan karena eksploitasi, makin menurunnya tingkat kesejahteraan nelayan, dan membuat profesi nelayan semakin tidak diminati. Apalagi belum adanya stock assessment per jenis ikan di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPPNRI). Hal ini tentunya membahayakan sumber daya ikan dan keseluruhan rantai ekosistemnya. Jika kemudian ikan dalam satu level yang sama, misalnya ikan Pelagis punah, maka akan berdampak pada rantai makanan diatas maupun di bawahnya dan berujung pada perubahan rantai makanan dan kerusakan ekosistem.

Lalu kemudian ada kegiatan pertambangan. KORAL sudah membahas beberapa kegiatan pertambangan yang merugikan rakyat kecil di beberapa pulau di Indonesia seperti Pulau Wawonii (BACA: MENAMBANG MAUT DAN KEHANCURAN EKOSISTEM DI PULAU KECIL: KOMITMEN PEMERINTAH CENDERUNG KERDIL) dan Pulau Sangihe (BACA: LEBIH BERHARGA DARI EMAS: SANGIHE HARUS SELAMAT DARI TAMBANG!) Mulai dari rusaknya sumber mata air yang menyebabkan tidak adanya pasokan air bersih di Pulau Wawonii akibat pertambangan nikel, hingga habisnya hutan hijau dan polusi air laut dan pesisir di Pulau Sangihe. 

Bumi Sehat = Manusia Selamat vs Manusia Tamak = Bumi Rusak

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2016), masalah lingkungan global menyebabkan lebih dari 12,6 juta kematian setiap tahunnya. Selain permasalahan yang disebutkan, termasuk polusi tanah dan air, kontaminasi air dan paparan bahan kimia, radiasi ultraviolet, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Menurut data, lebih dari 100 penyakit dan cedera dapat dikaitkan langsung dengan permasalahan kesehatan lingkungan. Seringkali, isu-isu ini mempunyai dampak terbesar terhadap masyarakat miskin dan sudah mempunyai kerentanan layanan kesehatan yang signifikan.

Maka dari itu diperlukan kesadaran untuk menghadapi hal ini; bahwasanya lingkungan dan manusia adalah satu. Bukan entitas terpisahkan yang tidak saling berdampak satu dengan yang lainnya. Ketamakan manusia berujung pada kerusakan alam. Alhasil, alam yang rusak juga meningkatkan resiko kematian dan kepunahan manusia.

Lucunya, manusia seolah-olah jumawa. Merasa Bumi diturunkan pada kuasa mereka, seluruh sumberdaya alam dikuras habis. Pemerintah sebagai perwakilan rakyat rasanya sudah memiliki kesadaran dengan adanya pengakuan bahwa Bumi sedang mengalami krisis. Dalam beberapa kesempatan, rencana-rencana yang mengatasnamakan perbaikan lingkungan pun dinarasikan di dalam berbagai jenis forum. Namun seberapa jauh komitmen tersebut betul-betul terlaksana? Apabila kemudian hingga saat ini justru regulasi-regulasi dan proyek nasional malah berkompetisi melonggarkan peluang eksploitasi alam dan kerusakan. 

Rasa tamak untuk melelang sumberdaya alam demi pundi-pundi uang milik sejumlah pihak harus dimusnahkan. Bibit itu lah yang menjadi cikal bakal regulasi macam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, proyek nasional Penangkapan Ikan Terukur, percobaan pemberian izin baru pada Baru Gold untuk berproduksi di Pulau Sangihe setelah izin PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS) dicabut, dan masih banyak lagi.

Sesuai tema World Environmental Health Day tahun ini, pertanyaan KORAL adalah dengan siapa Pemerintah berdiri? Bersama rakyat untuk mengembalikan Bumi Nusantara yang sehat, asri, dan berkelanjutan; atau berdiri bersama Investor dan kaum oligarki dengan melelang sumberdaya alam melalui sejumlah regulasi dan proyek antipati lingkungan?

***