EDISI 2 HARI KELAUTAN NASIONAL – MENAMBANG HARTA DI DARAT, MENDULANG MAUT DI LAUT

Setiap tanggal 2 Juli Indonesia merayakan Hari Kelautan Nasional untuk meningkatkan kesadaran warga masyarakat akan kesehatan dan keamanan laut. Jika pada edisi sebelumnya kita membahas bagaimana industri penangkapan ikan yang eksploitatif dan masif dapat membahayakan laut, kali ini kita akan membahas mengenai pertambangan dan dampaknya pada laut.

Melimpahnya Aktivitas Penambangan dan Limbahnya di Pesisir dan Laut

Isu kedua dalam edisi Hari Kelautan Nasional adalah meningkatnya pencemaran laut karena aktivitas penambangan. Setiap kali KORAL membahas mengenai isu ini, rasanya sesak sekali melihat kerusakan yang ditinggalkan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan perairan laut. Penambangan di laut bukan hanya penambangan minyak bumi saja, tapi juga ada penambangan lain yang berdampak bagi kesehatan wilayah pesisir dan perairan seperti penambangan emas dan nikel di darat, hingga penambangan pasir di tengah laut. 

Di awal tahun 2023, VOA Indonesia pernah merilis sebuah artikel yang membahas mengenai limbah tailing PT. Freeport Indonesia yang merusak kawasan sungai di Mimika, Papua. Limbah sisa aktivitas tambang PT. Freeport selama puluhan tahun, terbawa melalui sungai-sungai di Mimika bahkan ke laut. John NR. Gobai, anggota DPR Papua dari Meepago menerangkan, terjadi pendangkalan di muara-muara sungai, baik yang ada di dalam area Freeport maupun yang di luar hingga sulitnya mendapatkan air bersih. Setidaknya, masyarakat di tiga distrik di Kabupaten Mimika, yaitu Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga, merasakan dampaknya. Dampak lainnya adalah sakit kulit yang dirasakan oleh anak-anak karena air bersih sangat amat sulit didapat. 

Dalam dokumen yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup, tercatat bahwa sudah sejak tahun 1974 hingga 2018, limbah tailing PT. Freeport ini dialirkan ke sungai Aghawagon dan sungai Ajkwa. Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 540 pada tahun 2002 dan SK inilah yang memungkinkan pembuangan tailing melalui dua sungai ini. Izin tersebut juga memperbolehkan tailing mengalir melalui 2 sungai lainnya yaitu sungai Otomona dan Minajerwi. Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa jumlah limbah tailing yang diproduksi Freeport adalah 167 juta metrik ton per hari dan tentu saja akan bermuara ke laut.

Hasilnya adalah, limbah yang bermuara ke laut ini bukan hanya mencemari ruang laut saja, tapi juga mencemari kualitas bahan pangan yang didapat dari laut. Seperti yang dikutip dari jurnal bertajuk Mercury Toxicity yang dirilis oleh National Center of Biotechnology Information (NCBI), merkuri yang terbawa akan sangat buruk dampaknya bagi manusia apabila terkonsumsi. Dampaknya adalah keracunan, gangguan fungsi saraf, paru-paru, hati, ginjal, dan jantung, hingga menghambat perkembangan janin dengan merusak DNA dan mengganggu aliran darah menuju otak.

Belum selesai pesisir dan perairan kita diracuni limbah tambang emas, tambang nikel saat ini makin meresahkan. Apakah kalian salah satu dari jutaan orang yang menonton wawancara bos smelter asal China yang ditegur anggota DPR RI karena tidak bisa berbahasa Indonesia? Dalam Rapat Dengar Pendapat itu diikuti oleh Plt. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Direktur Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian, Komisi VII, dan turut mengundang 20 direktur utama perusahaan smelter nikel.

Para pengusaha di bidang nikel ini dipanggil DPR RI karena terkait sejumlah permasalahan tata kelola niaga nikel saat ini. Dilansir dari data milik Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), secara keseluruhan, tambang nikel di Indonesia memiliki luas 520.877,07 hektare, tersebar di tujuh provinsi: Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Dengan luas 198.624,66 ha, tambang nikel terbesar di Indonesia berada di Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe memiliki 21.100 ha tambang nikel. Sebuah tambang nikel seluas 115.397,37 hektar di Sulawesi Tengah diikuti oleh tambang nikel seluas 198.624,66 hektar di Sulawesi Selatan.  Selanjutnya, terdapat tambang nikel seluas 16.470 ha di Papua dan 22.636 ha di Papua Barat. Sementara Maluku memiliki 4.389 ha tambang nikel, sedangkan Maluku Utara memiliki 156.197,04 ha tambang nikel.

Tambang nikel walaupun berada atau berpusat di darat, tidak berarti tidak akan berdampak pada laut dan ekosistem pesisir. Seperti tambang nikel di Morowali dan Papua misalnya. Di Morowali, konstruksi besar yang tidak terkendali di luar taman juga menyebabkan perubahan besar pada area di sekitarnya. Beberapa karyawan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan ketua asosiasi buruh di Indonesia mengeluhkan kepada tim riset dari Carnegie Endowment for International Peace, tentang kondisi lingkungan yang semakin menurun di kawasan sekitar taman nasional. 

Penurunan ini termasuk polusi udara karena debu yang parah, peningkatan banjir dan tanah longsor, dan penurunan kualitas air di daerah tersebut karena pembuangan limbah langsung berdampak ke mata air dan bermuara ke laut. Hal ini, pada gilirannya, berdampak negatif pada kesehatan dan mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar taman nasional, karena tangkapan ikan menurun dan begitu pula jumlah lahan pertanian karena kontaminasi dan perampasan lahan oleh kegiatan pertambangan dan pembangunan infrastruktur.

Sementara di Papua, tambang nikel tidak luput meracuni surga terumbu karang kebanggaan milik Indonesia – Raja Ampat. Tepatnya di Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat Kepulauan.  Dampak dari tambang nikel di wilayah tersebut adalah sedimentasi hasil erosi kawasan tambang, pencemaran air, dan hilangnya habitat ikan karena lokasi tersebut dibangun dermaga bongkar muat material nikel. Padahal sebelum ada tambang nikel, lingkungan di area tersebut mendapatkan rapor hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut Yusthinus T. Male, pengamat lingkungan dari Universitas Pattimura Ambon, Maluku, sedimen yang mengandung logam berat, terutama nikel (Ni), sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Selain itu, karena nikel membunuh larva karang, nikel lebih berbahaya bagi anemon laut daripada logam tembaga (Cu). Padahal, penduduk setempat mengandalkan laut sebagai sumber protein utama mereka. 

Sekarang beban laut akan bertambah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang berujung adanya celah legalisasi penambangan pasir laut untuk keperluan ekspor. Pemerintah sepertinya jumawa; menambang hasil bumi di darat berujung pada rusaknya lingkungan yang mungkin butuh lebih dari puluhan tahun untuk memulihkannya. Daratan sudah penuh dengan hasil aktivitas manusia yang merusak, jangan sampai laut juga turut makin sekarat. Ini sama saja kita akan menambang emas di darat, namun mendulang maut di laut. Padahal laut adalah sumber oksigen terbesar di bumi dan menyerap emisi karbon untuk membantu perbaikan iklim demi keselamatan umat manusia. 

Tinggal sebentar saja kerusakan yang dirasakan oleh keluarga kita di Morowali dan Papua dapat kita rasakan pula. Udara semakin panas, laut semakin tidak bersahabat. Semoga dengan artikel KORAL ini, kita semua, para pembaca terutama, dapat mengerti bagaimana krusialnya menjaga laut. Kita mampu dan bisa melakukan sesuatu untuk memastikan laut sehat dan lestari – gunakan jarimu, share artikel ini ke rekanmu yang lain, mulai hidup lebih ramah lingkungan, dan kritisi regulasi merusak buatan Pemerintah.

***