JANGAN ASAL TANAM, REHABILITASI MANGROVE BUKAN PROYEK CANDI DALAM SEMALAM!

Dalam mewujudkan bumi dan laut yang lebih sehat, keberlanjutan dan kelestarian lingkungan wajib dipertahankan dan dikembangkan. Banyak rencana dan cara dapat ditempuh, salah satunya adalah dengan memperluas kawasan alami yang menjadi habitat aman dan subur bagi flora dan fauna endemik. Salah satu habitat pesisir yang kaya manfaat adalah mangrove.

Mangrove atau bakau merupakan sebuah formasi tumbuhan yang tumbuh di daerah pesisir. Tumbuhan ini sensitif akan tingkat salinitas, tumbuh di tanah lumpur aluvial, dan dipengaruhi pasang surut air laut. Akar mangrove yang rapat dan terjalin berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), sekaligus melindungi spesies ikan dan udang dari predator yang lebih besar. Pohon-pohon semak juga merupakan rumah bagi tiram, teritip, bunga karang, dan anemon yang menempel di akar yang terendam. Berbagai jenis burung juga membangun sarangnya di atas pohon bakau, sementara lobster menggali di tanah berlumpur yang dalam. Bukan hanya itu, mangrove juga menjadi bagian dari blue carbon atau karbon biru; yang bertugas menangkap karbon dioksida dan menyimpannya di daun, cabang, akar, dan tanah. Dengan menghilangkan karbon dari atmosfer, ekosistem karbon biru membantu melawan perubahan iklim. Mangrove sendiri dapat menyimpan hingga 10 kali lebih banyak karbon per hektar daripada hutan berbasis lahan.

Maka dari itu, mangrove merupakan bagian penting dari ekosistem pesisir untuk menjaga bumi. Pemerintah Indonesia sendiri mempunyai sejumlah rencana dalam memperbaiki kualitas kawasan pesisir seperti dengan dibuatnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (RPP PPEM). Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, dimana  didalamnya ditetapkan mandat untuk rehabilitasi dan konservasi mangrove dengan total luasan 600.000 ha mangrove. Implementasi ini dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan dukungan dari berbagai provinsi dan komunitas mangrove yang signifikan.

Namun pada prakteknya, banyak tantangan yang harus dihadapi ketika komitmen rehabilitasi mangrove ini hendak dijalankan dan tidak sedikit dari tantangan itu yang justru bersinggungan dengan program Pemerintah lainnya.

Tantangan pertama adalah tumpang tindih kepentingan dengan program lainnya. Dalam RPJMDN 2020–2024, terdapat dua target untuk budidaya perikanan. Target pertama adalah meningkatkan produksi perikanan budidaya sebesar 8,5% per tahun dan pertumbuhan ekspor udang sebesar 8% per tahun melalui revitalisasi tambak di sentra produksi udang dan bandeng. Sementara target kedua adalah meningkatkan ekspor udang sebesar 250% pada tahun 2024.

Pembukaan lahan di pesisir untuk keperluan tambak udang justru menjadi salah satu penyebab mangrove tergusur. Menurut jurnal penelitian bertajuk “The Potential Of Indonesian Mangrove Forests for Global Climate Change Mitigation” (Murdiyarso et al., 2015) ditemukan bahwa deforestasi dan degradasi mangrove di sepanjang pesisir Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan pantai Utara Jawa adalah pengalihan fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang. 

Bukan hanya dengan tumpang tindih target di sektor perikanan budidaya saja, mangrove juga rasanya dianaktirikan dengan sejumlah program dan kebijakan lainnya. Program rehabilitasi mangrove diimplementasikan seperti “asal ada” saja. Dikutip dari Forest Digest, kegagalan pada program Badan Restorasi Gambut dan Rehabilitasi Mangrove (BRGM) justru banyak yang gagal dikarenakan perspektif rehabilitasi sebatas penanaman Rhizophora yang paling mudah dan terkenal. Padahal banyak jenis yang berbeda-beda (endemik) seperti misalnya jenis Avicennia spp atau dikenal dengan Mangrove Api-Api ataupun jenis Sonneratia yang cenderung toleran pada berbagai tingkat salinitas (tawar, payau, ataupun saline). 

Ada banyak alasan, mengapa kemudian BRGM cenderung mengambil jalan pintas. Pertama selain Rhizophora mudah ditemukan, genus ini juga cukup mudah dalam proses pembibitan. Lalu yang kedua adalah BRGM mungkin dikejar target. Pemerintah memberikan mandat penanaman mangrove di beberapa bagian di Indonesia seperti bak ingin membangun candi dalam semalam, cepat dan harus ada. Alhasil jalan pintas lah yang dipilih; menanam mangrove tanpa adanya studi dan penelitian lebih lanjut tentang kondisi alam dan pesisir. 

Masih berkaitan dengan paragraf diatas, padahal ada banyak faktor yang membuat mangrove dapat tumbuh dan bertahan. Faktor ini disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan fisik, kimia, dan biologi yang ada di lingkungan mangrove tersebut. Reaksi fisiogenetik terhadap habitatnya menyebabkan tumbuhan memiliki bentuk dan anatomi tertentu (Wibisono et al., 2011). 

Tentunya sebaran mangrove di pesisir sebelah barat Pulau Sumatera, beberapa bagian ada di pantai utara Pulau Jawa, sepanjang pesisir Pulau Kalimantan, Pesisir Pulau Sulawesi, pesisir sebelah Selatan Papua, dan beberapa pulau kecil lainnya memiliki faktor-faktor alam yang berbeda-beda dan lebih baik ditanami jenis mangrove yang disesuaikan pula. KORAL berharap BRGM, sebagai pihak yang memiliki mandat rehabilitasi mangrove, betul-betul mumpuni untuk secara serius memilih jenis tumbuhan mangrove yang sesuai dengan habitat, salinitas, dan tujuan penanamannya. Supaya program ini bukan cuma sekadar ada dan dijadikan bukti komitmen ekonomi biru terkait konservasi dan lingkungan.

BRGM dapat bekerjasama dengan banyak pihak untuk membantu kelancaran dan keberhasilan program ini. Misalnya saja dengan program Corporate Social Responsibility (CSR), non-government organization (NGO), dan tentunya dengan masyarakat adat atau masyarakat pesisir setempat. Mengajak masyarakat setempat tentunya harus diawali dengan edukasi dan sosialisasi bahwa kemudian ada resiko gundulnya wilayah pesisir dari mangrove. BRGM dapat mengambil contoh kejadian tsunami di Palu tahun 2018, dimana terdapat satu kampung pesisir yang rimbun mangrove, seluruh warganya selamat. Faktor keuntungan dari rimbunnya mangrove juga terkait lingkungan yang asri meningkatkan jumlah tangkapan ikan, ada peluang eco-tourism, dan lain sebagainya.

Rehabilitasi mangrove bukanlah proyek candi semalam; perlu banyak usaha, komitmen, dan ketelatenan jika betul-betul ingin merimbunkan pesisir. Rehabilitasi mangrove juga jangan dijadikan alasan untuk melanggengkan proyek-proyek eksploitasi Pemerintah lainnya dalam drama ekonomi biru, dengan sentimen bahwa Pemerintah sudah melakukan program lain untuk menunjang karbon biru dan kesehatan lingkungan pesisir. 

***