HARI HIU PAUS: ANCAMAN BAGI HIU DAN LANGKAH YANG PERLU DIAMBIL – PART 2

Hiu paus (Rhincodon typus) merupakan ikan terbesar di dunia dengan panjang mencapai 12,65 meter dan berat 21,5 ton. Hal ini pula yang menjadikannya salah satu ‘primadona’ pariwisata laut yang berkaitan dengan fauna laut yang ditemui di habitat aslinya. Tidak heran jika kemudian Hiu Paus menjadi salah satu daya tarik pariwisata seperti yang sudah dilakukan di Maladewa dan memberikan pemasukan tahunan sebesar 130 miliar Rupiah. 

Namun, sejak tahun tahun 2016, Hiu Paus masuk dalam Daftar Merah untuk Species Terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status terancam punah (endangered). Jika di artikel 1 (BACA: Hari Hiu Paus:  Ancaman Bagi Hiu Dan Langkah Yang Perlu Diambil – Part 1)  KORAL membahas mengenai ancaman serta peran Pemerintah, di artikel ke-2 ini, KORAL akan membahas mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk menyelamatkan Hiu Paus.

Regulasi Lengkap, Apa Yang Kurang?

Kepatuhan dan keberhasilan Indonesia sebagai salah satu negara anggota dari CITES masih dapat dikatakan belum sepenuhnya berhasil patuh akan perjanjian ini. Efektivitas kepatuhan Indonesia akan CITES masih belum memenuhi secara lengkap ketiga indikator yang menghubungkan perilaku negara dengan kepatuhan yaitu: output, outcome, dan impact. Nyatanya, dalam proses menjalankan kepatuhan, Indonesia masih dirasa belum berhasil dalam mengedukasi staf maupun warga masyarakat guna mencapai perubahan perilaku dan kesadaran dalam melakukan aktivitas pelayaran atau penangkapan ikan. 

Pemerintah Indonesia harus secepatnya menyelesaikan kelengkapan infratstruktur dan regulasi praktikal untuk segara fokus ke lapangan sehingga memperkecil ruang kegagalan perlindungan bagi fauna ini. Ada dua hal yang bisa Pemerintah lakukan yaitu kelengkapan regulasi di tingkat nasional dan daerah. Pemerintah dapat membuat regulasi baik secara nasional maupun di tingkat daerah. Hal ini guna hadirnya Negara yang semakin dekat dalam mengatur, mengayomi, dan melindungi lingkungan di lingkup terdekat dengan masyarakat melalui Peraturan Daerah. Regulasi ini diharapkan mampu memberikan ikatan hukum dan kompensasi atau ganjaran yang jelas bagi pihak-pihak yang melanggar atau lalai sehingga menyebabkan fauna ini mati.

Cara kedua adalah dengan mengadakan kegiatan atau tindakan preventif misalnya dengan menyelenggarakan penelitian yang disebarluaskan. Hal ini mengacu pada keberadaan Hiu Paus di laut Indonesia, status kepunahan, implikasi dari kepunahan hiu akan degradasi laut dan efeknya terhadap manusia, hingga kegiatan yang mengancam keberadaan hiu. 

Cara ketiga adalah menambahkan armada pengamanan dan kepatuhan di lapangan terutama pada musim-musim migrasi fauna raksasa ini. KKP dapat bekerjasama dan mengadakan koordinasi dengan badan terkait seperti BAKAMLA untuk menjaga dan mengingatkan kapal-kapal besar yang bermobilisasi agar waspada akan keberadaan Hiu Paus di jalur pelayaran mereka. Selain itu, penertiban jaring tangkap juga dapat dilakukan. Apalagi dengan kasus by catch  yang tidak sedikit terjadi di Indonesia

Petugas pemerintah dan warga urunan uang untuk membantu mengganti jala dan mesin perahu milik nelayan demi menyelamatkan hiu paus (Rhincodon typus) yang tersangkut di dalam jaring ikan di perairan Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Dilansir dari laman KKP, Pemerintah Indonesia sudah menyadari ancaman terbesar bagi keberadaan Hiu Paus. Dikutip langsung dari laman tersebut, dikatakan “..ancaman kehidupan Hiu Paus di perairan Indonesia masih ada melalui aktivitas perikanan dan pelayaran baik secara sengaja maupun tidak. Upaya konservasi dan edukasi Hiu Paus di Indonesia perlu untuk terus digalakkan.” 

Sejauh ini, tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia masih sejauh kegiatan sosialisasi, edukasi, konservasi, dan monitoring. Misalnya seperti yang dilakukan Badan Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar yang terpusat pada perairan Botubarani Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Namun selain usaha konservasi dan monitoring yang dilakukan, ada baiknya jika KKP menargetkan perlindungan lebih bagi hiu paus dengan menertibkan jalur pelayaran yang rawan dilewati oleh hiu paus. Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) dapat membantu menertibkan jalur pelayaran ini. Selain itu, KKP juga dapat mengalokasikan sejumlah upaya dalam memetakan jalur migrasi biota laut besar seperti hiu dan hiu paus sehigga kapal-kapal besar dapat memprediksi keberadaan mereka dan waspada dalam aktivitas pelayarannya.

Hiu Paus memainkan peran penting dalam menunjang tatanan ekosistem laut. Hal ini tentunya akan menimbulkan multiplier effect mulai dari terganggunya rantai makanan laut hingga punahnya hewan dan tumbuhan laut lainnya.  Jika populasi hiu menurun, rantai makanan di lautan ikut terganggu dan kemungkinan besar satwa laut lainnya pun akan berkurang. Selain itu keberadaan Hiu Paus juga menjadi upaya dalam menjaga kelestarian biota laut langka (eksotik) serta memastikan adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui pengembangan pariwisata bahari 

Kepatuhan yang hanya terbatas pada instrumen regulasi saja, tidak akan menghentikan laju kematian dan kepunahan Hiu Paus dan menghentikan ancaman kepunahan mereka. Pemerintah harus memastikan upaya perlindungan turun hingga ke akar rumput. 

******