NELAYAN “MENARI” DITENGAH BADAI

Dunia perikanan tangkap bergerak makin kompetitif. Dipicu oleh pertumbuhan penduduk, trend kebutuhan dan penangkapan ikan global terus meningkat dari waktu ke waktu. Sementara sumberdaya ikan semakin berkurang. Tuntutan konsumen untuk proses dan kualitas produk perikanan juga semakin ketat. Ini menyebabkan tekanan terhadap kehidupan nelayan makin besar.

State of World Fisheries and Aquaculture 2022, melaporkan total produksi perikanan tangkap global tahun 2020 mencapai 90,3 juta ton. Nilai ini lebih tinggi 60% dibanding tahun 1960-an. Demikian pula konsumsi ikan per kapita mencapai 20,2 kilogram, atau telah meningkat dua kali lipat. Lebih dari 30% stok perikanan dunia sudah mengalami penangkapan berlebih (overfishing). Padahal, pangan laut berkontribusi 17% dari konsumsi protein hewani, dan bahkan lebih dari 50% di negara-negara Asia dan Afrika.

Uniknya, nelayan skala kecil memegang peran sangat penting, mencakup lebih 90% dari total pelaku perikanan global. Di Indonesia bahkan lebih besar lagi. Diperkirakan sekitar 40% total tangkapan ikan dunia adalah dari nelayan kecil. Ironisnya, meskipun sering dijuluki sebagai pahlawan pangan, posisi nelayan justru sangat rentan. Bahkan sering digambarkan sebagai profesi paling berbahaya dan beresiko di dunia.

Bukan Badai Biasa

Ditengah berbagai keterbatasan dan tingginya tekanan, nelayan Indonesia kini juga menghadapi tiga ‘badai’ yang tidak biasa. Yang mengguncang kuat sosial ekonomi bahkan mengancam kehidupan mereka.

Pertama, krisis iklim. Perubahan iklim mempengaruhi kondisi perikanan dan habitatnya, yang otomatis berimplikasi langsung pada kehidupan manusia. Proses pemanasan global telah menyebabkan memanasnya suhu laut, kenaikan permukaan air laut, mempengaruhi perubahan pola arus, angin, ombak serta hujan. Juga berpengaruh pada kelimpahan, pola migrasi, dan kemampuan hidup ikan. Perubahan suhu mempengaruhi pertumbuhan plankton dan pola gerak rantai makanan, baik secara vertikal maupun horizontal. Stok ikan terganggu. Pola distribusi ikan skala besar akan terjadi. Ikan akan bermigrasi mencari tempat yang lebih sesuai. Ini akan berimbas pada produktifitas dan pola operasional nelayan. Ketidakpastian usaha dan biaya perikanan makin tinggi yang selanjutnya berdampak pada sosial dan ekonominya. Yang menguatirkan adalah, dampak krisis iklim ini masih sering diabaikan dalam formulasi kebijakan dan program. Akibatnya, upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan secara global, masih menunjukkan hasil yang kurang meyakinkan.

Kedua, imbas Covid-19 belum tuntas. Pandemi Covid-19 sudah menjangkit seluruh dunia. Lebih 6 juta orang meninggal dan 600 juta orang terpapar. Seluruh sektor porak-poranda. Pembatasan mobilitas, aktifitas dan lalu lintas orang yang langsung melumpuhkan system logistik. Dunia perikanan juga terpukul hebat. Nelayan sulit atau tidak bisa melaut, mengakses bahan perbekalan, merekrut ABK, menangkap dan menjual hasil tangkapan secara normal. Sistem pasokan ikan baik untuk pasar domestik apalagi perdagangan internasional terhambat. Pelaku usaha baik skala kecil, menengah maupun besar terpukul.

Saat pandemi, Wiradana dkk (2021) menyebut permintaan ekspor perikanan berkurang hingga 40%. Kebutuhan hotel, rumah makan, dan konsumsi lokal terjun bebas. Upaya penangkapan ikan maupun pengolahan ikan menurun. Pabrik-pabrik pengolahan berhenti beroperasi. Distribusi produk perikanan berkurang. Volume kargo ekspor-impor menyusut 14-18%, dan kargo domestic 5-10%, bahkan lebih jauh. Proses clearance di pelabuhan tersendat. Jumah kru kapal, pabrik maupun pelaku perikanan juga otomatis berkurang. Lalu lintas kapal berkurang drastis. Daya beli untuk berbagai produk perikanan turun bahkan hingga 70%. Harga-harga melonjak tinggi. Biaya operasional makin meningkat dengan hasil yang berkurang.

Kini, periode puncak pandemic Covid-19 tampaknya sudah berlalu. Namun, situasi dan kebijakan antara satu negara dengan negara lainnya juga berbeda. Ada yang masih ketat karena jumlah terpapar masih tinggi. Ada pula yang sudah kembali kebijakan normal atau ‘new normal’. Otoritas Kesehatan Sebagian masih berhati-hati dalam beraktifitas. Bulan Agustus 2022 misalnya, pemerintah China masih mengeluarkan pembatasan untuk produk-produk perikanan Indonesia dengan alasan virus Covid yang masih berpotensi menjangkit. Aktifitas perikanan dan lalu lintas ikan pasca pandemi kini membaik. Meskipun masih jauh dari pulih seperti sebelum virus Covid berjangkit.

Ketiga, badai inflasi, harga dan BBM. Isu kenaikan harga berbagai bahan pokok dan BBM sudah bergulir cepat dalam beberapa bulan belakangan. Ini dipicu antara lain oleh dinamika politik internasional. Konflik Rusia-Ukraina yang melibatkan Amerika dan Eropa, eskalasi politik China dan Taiwan, menyebabkan tersendatnya sistem pasokan bahan pokok, minyak dan gas. Sehingga terjadi inflasi, meningkatnya harga bahan pokok dan BBM, serta terganggunya system logistik. Kenaikan harga BBM ini otomatis akan memicu kenaikan sarana transportasi dan logistic, harga produksi, operasional dan harga barang konsumsi maupun jasa lainnya.

Langsung atau tidak, kondisi ini memukul telak dunia perikanan di Indonesia. Bisa dipahami, sekitar 40-70% dari biaya nelayan adalah pada BBM dan perbekalan untuk melaut. Akibatnya, ribuan kapal ikan baik nelayan kecil maupun skala lebih besar parkir tidak beroperasi. Diperparah harga ikan berbagai jenis juga mengalami stagnan atau bahkan anjlok di berbagai lokasi. Belum ada alternatif modal usaha alternatif yang mudah dijangkau merata oleh semua nelayan dengan cepat. Apalagi postur nelayan Indonesia mayoritas adalah nelayan kecil, dengan kondisi ekonomi terbatas, tidak punya asset dan tabungan memadai. Sehingga tekanan ekonomi menjadi sangat besar.

Sejatinya, nelayan dibawah 30 GT ada subsidi BBM yang telah diberikan oleh pemerintah sejak tahun 2014. Namun proses, ketersediaan dan stabilitas harga yang didapatkan para nelayan masih jauh dari ideal. Bahkan subsidi BBM ini sering dikeluhkan jadi permainan oknum dan tidak tepat sasaran. Jumlahnya juga terbatas. Nelayan-nelayan yang berhak, justru sering tidak mendapatkan akses. Terpaksa membeli di pengecer dengan hargan yang jauh lebih tinggi. Daerah-daerah pesisir pelosok dan pulau-pulau kecil, bahkan membeli BBM dengan harga beberapa kali lipat dari harga resmi. SPDN khusus nelayan yang beroperasi dekat sentra-sentra nelayan juga terbatas jumlahnya. Sementara mengakses SPBU, sering mengalami kendala. Dalam kondisi ini, nelayan hanya punya pilihan memaksakan beroperasi yang artinya melakukan eksploitasi perikanan lebih besar, atau berhenti beroperasi. Namun apapun pilihan yang diambil, punya konsekuensi dan resiko yang besar.

Bagaimana bisa bertahan?

Nelayan sebenarnya sudah karib dengan ombak, bahkan badai. Namun menghadapi ‘gelombang badai’ yang begitu massif dan tidak biasa, mereka harus dibantu. Negara perlu memastikan mereka bisa tetap survive. Untuk itu, Langkah terobosan, taktis dan praktis perlu diantisipasi. Sambil menyiapkan strategi untuk jangka lebih panjang. Rencana dan kebijakan yang ada sebelumnya, perlu dikalibrasi lagi agar selalu relevan dengan dinamika yang ada. Ada beberapa prioritas yang perlu menjadi perhatian.

Pertama, perlu konsentrasi merapikan sistem rantai pasok perikanan. Saat ini, sistem rantai pasok perikanan tidak mengalir mulus dari hulu hingga hilir. Sebelum melaut, saat di laut, pasca melaut, hingga pemasaran dan distribusi, nelayan menghadapi banyak kendala. Termasuk terbatasnya akses modal, pasokan dan harga BBM, akses perbekalan dan sistem rantai dingin, sertifikasi dan kapasitas SDM, kualitas ikan, jaminan harga ikan dan pasar. Terobosan sistematis mengurangi barrier ini akan mengungkit signifikan kapasitas nelayan dan pelaku usaha.

Kedua, optimasi dan sinergi data melalui transformasi digital perlu diakselerasi. Sehingga bisa menjadi referensi kunci bagi efisiensi kebijakan, program dan operasional perikanan. Sebagian data perikanan belum direkam dan diintegrasikan optimal. Demikian pula beberapa aplikasi strategis sudah berhasil dibangun, namun belum menjadi ekosistem yang bisa menelusuri tata kelola perikanan dari hulu hingga hilir. Termasuk data jutaan nelayan, kondisi stok ikan, ratusan ribu kapal ikan berbagai ukuran (pusat-daerah), ratusan pelabuhan tangkahan, rumpon, ribuan cold-storage, sertifikasi, dan sebagaianya.

Ketiga, konsisten menerapkan kebijakan dan program perikanan yang berpihak (affirmative policies and programs) bagi nelayan dan pelaku usaha. Sistem perizinan, zonasi, sertifikasi, dan lainnya masih perlu disederhanakan. Nelayan tidak perlu mengurus lebih dari puluhan dokumen dan diperiksa berkali-kali diatas kapal. Berbagai inefisiensi dan proses biaya tinggi perlu terus dipangkas. Kendala pemasaran dan ekspor termasuk tarif ekspor ke berbagai negara, akses kargo dan sistem logistic, penolakan oleh buyers, perlu difasilitasi serius. Berbagai kendala ini membuat produk Indonesia kurang kompetitif dan berbiaya tinggi.

Keempat, prioritaskan kualitas dibanding kuantitas. Sudah lazim nelayan ingin menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Sayangnya, sering mengabaikan kualitas. Akibatnya ikan ditolak pembeli, harganya jatuh atau malah terbuang percuma. Kualitas tangkapan jauh lebih penting. Volume tangkapan kecil dengan kualitas ikan yang baik, nilainya bisa lebih tinggi dibandingkan sebaliknya. Apalagi ketika merambah ke pasar internasional.

Kelima, membangun kemampuan adaptasi dan daya tahan nelayan dalam kerangka dukungan manajemen usaha dan tata kelola perikanan yang lebih efisien. Mengurangi praktek IUU fishing, membuka akses fasilitas, mendorong sertifikasi dan standar perikanan yang lebih berkualitas secara massif.

Gelombang ‘badai’ beruntun bagi nelayan dan dunia perikanan belum akan reda dalam waktu dekat. Masih fluktuasi dengan banyak ketidakpastian. Sangat penting membantu mengurangi beban mereka. Kita berharap, nelayan dengan segala kerapuhan dan kegigihannya, bisa bertahan selamat melewati badai besar yang belum jelas ujungnya ini.

***

Sumber Utama: Destructive Fishing Watch (DFW)