Jika berbicara tentang eksistensi nelayan, tentunya kita tidak bisa memperkirakan sejak kapan profesi ini ada. Namun kegiatan penangkapan ikan merupakan salah satu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan manusia sejak jaman purbakala. Keberadaan nelayan yang diakui sebagai profesi di Indonesia setidaknya bisa ditelusuri dengan keberadaan Ordonansi pada masa penjajahan Belanda tepatnya pada tahun 1916. Pada masa itu segala aktivitas perikanan diatur oleh pemerintah Belanda. Terdapat Ordonansi Perikanan Mutiara dan Bunga Karang yang mengatur perusahaan siput mutiara, kulit mutiara, teripang, dan bunga karang di perairan pantai dalam jarak tidak lebih dari 3 mil laut. Lalu berkembang dengan adanya Ordonansi perikanan untuk melindungi ikan (1920), Ordonansi penangkapan ikan pantai (1927), Ordonansi perburuan ikan paus di mana mengatur perburuan dan perlindungan ikan paus (1927), Ordonansi pendaftaran kapal-kapal nelayan laut asing (1938), Ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim (1939).
Indonesia memiliki luas lautan yang mencapai 70% dari luas kedaulatannya. Ini berarti laut dan wilayah pesisir mendominasi wilayah Indonesia dan seharusnya bisa menjadi ladang “emas” bagi warga pesisir. Namun realitanya tidaklah demikian. Keberadaan profesi yang sudah lebih dari seabad, ternyata tidak menjamin kesejahteraan nelayan. Menurut jurnal penelitian bertajuk Nelayan Indonesia Dalam Pusaran Kemiskinan ditegaskan, bahwa pemasukan nelayan di Kabupaten Lekok, Pasuruan saja misalnya hanya Rp15.000-40.000 per hari. Itupun seringkali impas dengan pengeluarannya dan atau bahkan tidak mendapatkan hasil. Tentunya jika berdasarkan ukuran Bank Dunia, pendapatan nelayan Indonesia masih masuk ke dalam kategori miskin dengan pendapatan US$2 per harinya.
Mungkin inilah yang membuat profesi nelayan semakin dikerdilkan dan tidak diminati oleh generasi muda. Figur nelayan yang pemberani bak lagu Nenek Moyangku (Seorang Pelaut) agaknya sudah digantikan menjadi figur masyarakat pesisir yang terpinggirkan dan bahkan miskin.
Apa Penyebabnya?
Ada beberapa penyebab kemiskinan di tengah-tengah nelayan Indonesia. Penyebab kemiskinan juga bukanlah hal yang sederhana untuk dijabarkan. Ada banyak variabel penyebab kemiskinan nelayan, yaitu:
- Belum adanya kebijakan, strategi, dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan.
- Adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan terganggu. Hal ini disebabkan oleh kondisi sumber daya perikanan telah mencapai kondisi “overfishing”, musim paceklik yang berkepanjangan, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
- Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas sosial ekonomi.
- Adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.
- Adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan.
- Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas mereka. (Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, 2006:1-2).
Poin nomor 4 dan 6 setidaknya saling berkaitan atau bisa disebut dengan aspek Opportunity Cost. Opportunity Cost adalah kesempatan atau kemungkinan lain melalui suatu usaha ekonomi selain menangkap ikan, belum maksimal diterapkan di tengah-tengah masyarakat pesisir. Pemberdayaan Nelayan masih belum maksimal dinaungi oleh Pemerintah yang seharusnya sudah menjangkau kemampuan dan skill Nelayan untuk bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan lebih efisien dan dapat meningkatkan nilai jual hasil tangkapan seperti pengolahan ikan dan sebagainya. Selain itu Pemerintah juga diharapkan mampu menyelesaikan ketergantungan nelayan pada tengkulak dan pemodal yang justru membuat pemasukan mereka jauh lebih banyak disalurkan untuk membayar modal dan utang.
Semua permasalahan ini patutnya dijadikan bahan refleksi bagi Pemerintah. Untuk bersifat reaktif tentunya mudah; ada masalah baru bereaksi dan bertindak. Namun yang paling penting justru tindakan proaktif dan antisipatif dari pemerintah untuk menangkal kemiskinan di akarnya sebelum tumbuh besar dan lebih sulit untuk “dipangkas”. Berdayakan nelayan bukan untuk menjadi pemain figuran dalam sektor kelautan dan perikanan, tetapi menjadi pemain utama yang disokong dengan pemantapan kemampuan atau skill, pengadaan sarana dan prasarana khusus untuk nelayan kecil, permodalan, serta upaya perlindungan bagi mereka.
******