PENDAKIAN YANG DINGIN DAN SEPI UNTUK PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN

Jika upaya mewujudkan keadilan bagi semua pekerja diibaratkan sebuah pendakian gunung, perjuangan untuk perlindungan pekerja migran, khususnya awak kapal perikanan, tak ubahnya mendaki di Pegunungan Himalaya. Sangat tinggi. Sangat dingin. Sangat sepi. Namun, di Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei tahun ini, pendakian itu terasa tak terlalu sepi. Di sebuah pemberhentian dengan permukaan landai setelah medan curam nan terjal, ada sosok pendaki lain yang mengaku siap melanjutkan perjalanan bersama kami. 

Kami adalah sekelompok organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap perlindungan awak kapal perikanan (AKP) migran. Adapun sesosok pendaki lain itu adalah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Maju Satu Langkah

“Kita harus menyatukan visi bersama untuk perlindungan [awak kapal],” tutur Judha Nugraha, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu RI.

Bukan pernyataan yang istimewa, memang. Namun yang istimewa adalah di mana pernyataan tersebut diucapkan, yakni dalam sebuah pertemuan lintas kementerian pada 15 April lalu. Pertemuan yang digagas oleh Kemlu tersebut untuk memulai proses menuju ratifikasi sebuah instrumen hukum internasional, Konvensi ILO 188 (K-188). Dengan meratifikasi K-188, dampak positifnya tak hanya akan dirasakan AKP migran, tetapi juga awak kapal ikan di seluruh penjuru negeri. Lebih dari itu, produk hasil tangkapan laut Indonesia pun akan lebih punya daya tawar di kancah industri perikanan global, karena nyaris dapat dipastikan tak ada unsur kerja paksa dalam proses penangkapannya.

Mengapa demikian? Karena K-188 mengatur dengan detail hal-hal tentang pekerjaan dalam penangkapan ikan untuk menjamin keselamatan awak kapal sejak masa perekrutan, penempatan, sampai pemulangan. Hal yang diatur mulai dari usia minimal awak kapal, waktu kerja dan istirahat, upah, akomodasi, fasilitas, hingga kesehatan dan jaminan sosial. Sebagaimana pekerja di darat, para nelayan atau awak kapal juga berhak mendapat perlindungan yang layak.

Hadir dalam diskusi tersebut perwakilan sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI, Kementerian Ketenagakerjaan RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Seharusnya ada Kementerian Perhubungan RI juga di sana, tapi tidak hadir entah karena apa.

Namun demikian, pertemuan tersebut tetap menjadi sebuah penanda bahwa Indonesia selangkah lebih maju untuk memiliki mekanisme perlindungan awak kapal ikan yang lebih baik. Konvensi ini akan menguatkan sejumlah regulasi terdahulu seperti UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, PP No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, dan beberapa peraturan lainnya.

Naik Satu Tingkat

Di luar upaya di tingkat nasional, Kemlu ternyata juga mendorong perbaikan perlindungan AKP di skala regional–Asia Tenggara. Tahun ini, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. Artinya, Indonesialah yang akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Artinya lagi, sebagai tuan rumah, Indonesia berhak mengusung isu-isu prioritas untuk menggalang dukungan dari negara anggota ASEAN lain. Apakah isu awak kapal termasuk di dalamnya? Ya, kurang lebih.

Berikut sedikit latar belakang agar kita satu persepsi mengapa isu awak kapal adalah prioritas:

  • ILO pernah menyatakan pekerjaan di kapal penangkap ikan sebagai salah satu profesi yang paling membahayakan, bahkan mematikan.
  • Negara-negara di Asia Tenggara banyak menyuplai awak untuk kapal-kapal penangkap ikan berbendera asing. Selain Indonesia, ada pula Filipina dan Vietnam.
  • Sejak 2014 hingga 2022, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) terus mencatat peningkatan kasus kerja paksa yang dialami AKP migran Indonesia di kapal asing.
  • Setiap tahun, hampir selalu ada AKP migran Indonesia yang meninggal saat bekerja di laut. Banyak dari kasus tersebut memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
  • Hingga kini, di Indonesia belum ada satu pun kementerian, badan, atau institusi yang mendata dengan jelas hal-hal mengenai AKP migran Indonesia – jumlah AKP, kapal tempat bekerja, masa bekerja, dan lainnya.

Para aktivis berdiri saat unjuk rasa di depan Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Jumat 9 Desember 2016. Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia menggelar unjuk rasa damai untuk mendesak perbaikan kebijakan penempatan dan perlindungan ABK asal Indonesia yang bekerja pada kapal penangkap ikan asing di luar negeri. Aksi unjuk rasa dilakukan sehari sebelum peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional yang diperingati pada 10 Desember.

Mengawali rangkaian pertemuan-pertemuan penting ASEAN tahun ini, awal Februari lalu menteri-menteri luar negeri berjumpa dan menyepakati sejumlah hal. Dalam keterangan pers yang dipublikasikan dari pertemuan tersebut, salah satu poinnya berbunyi: “We reaffirmed our regional commitment to protect migrant workers in the entire migration cycle as enshrined in the ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. We agreed to strengthen the protection of migrant workers through the adoption of an ASEAN Leaders’ declaration regarding the protection of migrant workers in crisis situations and an ASEAN Leaders’ declaration concerning the protection of migrants working in fishing vessels.”

Yang bisa kita harapkan dari pernyataan tersebut adalah bahwa akan ada sebuah deklarasi pernyataan komitmen di tingkat regional untuk perlindungan pekerja migran di kapal penangkap ikan. Dari deklarasi itu, tentu kita akan menantikan komitmen lebih lanjut semua negara anggota ASEAN. Mari kita tunggu bagaimana isi deklarasi tersebut. KTT ASEAN akan dihelat pada 9-11 Mei di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Lantas, Apalagi?

Jika perjuangan mewujudkan perlindungan bagi awak kapal perikanan migran ibarat pendakian di gunung yang sangat tinggi, sangat dingin, dan sangat sepi, bisa dibilang langkah-langkah Kemlu di atas ibarat secangkir teh hangat yang dinikmati di sebuah pos pemberhentian. 

Teh hangat yang disajikan sang pendaki ini terasa seperti secercah energi segar yang menambah semangat untuk melanjutkan perjalanan. Jadi… setelah ini apalagi? Lagi-lagi, selayaknya mendaki gunung. Rombongan pendaki perlu tetap saling memastikan semua berjalan seiring dan seirama hingga mencapai puncak. Saat ini bisa dibilang langkah kita cukup harmonis dengan Kemlu. Namun, akankah kita bisa merangkul kementerian lain untuk bergabung dalam pendakian ini?

***

Sumber Utama: Greenpeace Indonesia