EKOSISTEM KARBON BIRU: LEMBAGA, REGULASI, DAN MASYARAKAT ADAT – PART II

Perempuan Enggros di Teluk Youtefa, Papua, sedang berkeliling di area hutan mangrove tempat mereka bias melakukan tradisi adat. (Foto: EcoNusa)

Pada bagian pertama (BACA: Ekosistem Karbon Biru: Lemabaga, Regulasi, dan Masyarakat Adat – Part I), KORAL telah membahas mengenai pentingan koordinasi antar Kementerian dan Lembaga serta komitmen Pemerintah dalam menyusun regulasi dan proyek nasional yang pro ekosistem karbon biru (EKB). Namun kedua hal tersebut tidak dapat terlaksana dengan maksimal tanpa adanya pengawasan dan penertiban. Disinilah peran masyarakat adat menjadi krusial. 

EKB Butuh Komitmen, Penegakan Hukum dan Pengawasan, serta Berbasis Masyarakat

Komitmen dalam menjalankan EKB bukan membutuhkan koordinasi dan kerjasama yang erat antar Kementerian dan Lembaga yang berhubungan langsung dengan ekosistem, namun juga aparat penegak hukum dań masyarakat. 

Seperti yang sudah KORAL jabarkan pada part-I, dari sektor kelautan dan perikanan, dasar hukum perlindungan akan EKB sudah dijamin dengan beberapa regulasi. Namun pada prakteknya di lapangan, aksi pembabatan dan pengalihfungsian lahan EKB secara ilegal juga masih terjadi. Seperti pada akhir Januari ini di  Batam, Kepulauan Riau. Dilansir dari Kompas, ratusan pohon mangrove atau bakau yang sempat ditanam Presiden Joko Widodo dalam rangka G20, rusak. Mangrove-mangrove tersebut dibabat secara ilegal oleh pembuat arang yang ada di jembatan lima pulau Rempang, Batam. Padahal Pemerintah telah mengucurkan dana Rp 1 Triliun untuk merehabilitasi dan menanam mangrove.

Dari hasil penelitian Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), penjatuhan sanksi administratif belum efektif untuk mendorong kepatuhan. Selain itu, tidak banyak juga kasus yang diproses menggunakan instrument penegakan hukum pidana. 

Tidak bisa dipungkiri, wilayah EKB Indonesia memang sangat luas. Jumlah sumber daya manusia untuk melakukan pengawasavn dan penegakan hukum tentunya tidak sebanding. Disinilah peran serta masyarakat menjadi krusial. 

Seperti yang kita tahu, Indonesia kaya akan tradisi dan budaya yang dilestarikan oleh masyarakat adat, termasuk masyarakat adat pesisir. Hampir seluruh wilayah pesisir Indonesia dihuni oleh masyarakat adat. Menurut data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat 550 komunitas adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, 377 area pesisir dan 182 di pulau-pulau kecil. Dari jumlah itu, 19 diakui melalui perda penetapan dan 112 dengan perda pengaturan. Masyarakat adat memiliki sejumlah peraturan yang diwariskan leluhurnya untuk menjaga wilayah mangrove, ekosistem pesisir, dan perairan. Seperti misalnya masyarakat adat perempuan Enggros di Teluk Youtefa, Papua, yang menjaga kesakralan dan kebersihan serta keberlanjutan hutan mangrove sebagai bagian dari tradisi Tonowiyat yang diwariskan leluhur mereka.

Dalam upaya meningkatkan pengawasan dan peran serta masyarakat adat, pemberian hak pengelolaan pesisir bagi masyarakat adat dapat dilakukan. Pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat, termasuk hak tenurial (sekumpulan hak yang mencakup hak mengakses dan hak pakai untuk mengelola, eksklusi, dan mengalihkan) perlu ditingkatkan. Sehingga mereka memiliki wewenang untuk membantu Pemerintah dalam menegakan keterbitan dan pengawasan EKB.

Oasis Penyelamat Dunia Dari Pemanasan Global

Dampak dan pengaruh keberadaan EKB yang subur dan berkelanjutan bagi Dunia. (Gambar: Wildflife Conservation Society)

Dalam konferensi pers di acara “Blue Carbon Ecosystem as Critical Natural Capital: Blue Carbon Ecosystem Governance in Indonesia” pada 30 Januari yang lalu, CEO IOJI Dr. Mas Achmad Santosa, SH., LL.M menekankan pentingnya EKB bagi dunia. Lebih lanjut, CEO IOJI menegaskan kembali bahwa bukti ilmiah peran EKB sangat jelas, yaitu sebagai solusi berbasis laut serta modal alam kritis untuk perjuangan kita bersama melawan perubahan iklim, apalagi BCE juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. 

Apalagi Indonesia adalah negara kepulauan, yang artinya sekitar 62% wilayah Indonesia adalah lahan subur bagi ekosistem karbon biru. Bahkan lebih besar dari hutan hujan tropis yang hanya sekitar 17%. Bak oasis di padang gurun tandus, tumbuhan dan pohon di ekosistem pesisir menjadi “penawar” karbon jahat yang dihasilkan manusia. EKB menyerap karbon dioksida melalui fotosintesis yang sangat membantu dalam penurunan tingkat pemanasan global.

Menguatkan pernyataan CEO IOJI, EKB bukan hanya menyediakan habitat bagi ikan, reptil, mamalia, burung, dan berbagai organisme invertebrata, ekosistem karbon biru mendukung penghidupan subsisten seperti penangkapan ikan. Ekosistem ini juga menstabilkan garis pantai dengan menyerap aksi gelombang dan gelombang badai, serta mencegah erosi pesisir guna melindungi kota dan infrastruktur manusia di daratan. Selain itu, ekosistem pesisir memperlambat penyerapan air hujan dan limpasan filter sehingga melindungi kualitas air. Kualitas dan habitat yang baik dan sehat, akan menjadi faktor utama terciptanya ekosistem biodiversitas laut yang kaya dan subur. 

Akan sangat konyol jika kemudian kita, manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang berakal budi, untuk merusak ekosistem karbon biru. Itu artinya, kita membunuh diri sendiri dan generasi mendatang, demi keuntungan dan kenyamanan yang hanya sesaat. Ayo selamatkan dunia dari pemanasan global dengan perbanyak, jaga, dan awasi wilayah ekosistem karbon biru!

***

Kilis resmi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dapat dilihat disini