PERBUDAKAN DI LAUT: DILAWAN DI AWAL ‘TUK HENTIKAN MAUT

Kru kapal perikanan bekerja tanpa adanya alat-alat untuk melindungi diri yang layak. Hal ini tentunya membahayakan keselamatan para pekerja (Foto: Greenpeace)

Pada tanggal 23 Agustus, dunia merayakan hari International Day for the Remembrance of the Slave Trade and Its Abolition; sebuah hari yang dijadikan sebuah peringatan akan perbudakan dan pertahanan. Di tahun 2023 ini, UNESCO mengeluarkan tema tersendiri yang bertajuk “Fighting Slavery’s Legacy of Racism Through Transformative Education”. Nyatanya, perbudakan masih ada dan masih terjadi hingga zaman modern ini.

Perbudakan modern di laut ini terjadi dalam beberapa bentuk; mulai dari perdagangan orang hingga mempekerjakan para pekerja perikanan dengan mengeksploitasi mereka dan tidak memberikan hak mereka sebagai pekerja bahkan sebagai manusia. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 634 aduan dari Awak Kapal Perikanan (AKP) migran yang menjadi korban kekerasan di laut antara tahun 2013 dan 2021. Mereka mengklaim bahwa sebagian besar kasus dikaitkan dengan praktik perdagangan orang. 

Disiksa di Lautan, Masih Dimalangkan di Daratan

Dalam kisah yang baru dipublikasikan oleh salah satu anggota koalisi KORAL; Greenpeace Indonesia, diceritakan kisah miris yang dialami seorang AKP Migran; sebut saja Syamsul. Di tahun 2019, PT Makmur Jaya Mandiri (MJM) yang sedang beroperasi di Tegal memberikan info lowongan pekerjaan menjadi awak kapal ikan. Awalnya, ia dijanjikan untuk berangkat pada Desember 2019. Namun nyatanya baru diberangkatkan ke Singapura pada Januari 2020.

Keanehan pertama adalah kapal tujuan tempat Syamsul akan bekerja. Awalnya, PT MJM menginformasikan bahwa mereka akan bekerja di kapal asal Taiwan. Namun sesampainya di Singapura, mereka ternyata bekerja di kapal Lu Huan Yuan Yu 117 yang berasal dari negara lain. Selama lebih kurang enam bulan, mereka bekerja 12 jam sehari bahkan lebih. Kekerasan fisik pun kerap kali diterima terutama pada mereka yang baru pertama kali bekerja di kapal ikan; mulai dari ditendang hingga dipukul dengan benda tumpul oleh mandor kapal. AKP Migran asal Indonesia dan Filipina juga acap kali didiskriminasikan. Bukan hanya tidur di tempat yang tidak layak, mereka juga hanya makan nasi dengan lauk cabai panjang rebus sehari-harinya. 

Foto kapal Lu Huang Yuan Yu 117 bersumber dari laman resmi North Pacific Fisheries Commission (NPFC).

Sementara di kapal ikan saudara yang bernama Lu Huan Yuan Yu 118, salah satu AKP asal Indonesia bernama Hasan Apriadi, AKP migran asal Lampung bernasib lebih naas. Ia meninggal di tengah laut dan jenazahnya disimpan di kulkas bersama dengan kardus cumi-cumi. Tiga orang ditangkap – mandor kapal Lu Huang Yuan Yu 118, Song Chuanyun, pria berumur 50 tahun dan juga dua orang karyawan PT MJM—Taufiq Alwi dan Totok Subagyo. Namun keadilan tidak berpihak pada Hasan. Pengadilan memutuskan mandor bebas dari semua tuduhan setelah tiga bulan persidangan. 

Sementara, dua karyawan PT MJM didakwa atas kasus yang Syamsul alami. Pada awalnya, jaksa dan polisi menggunakan pasal Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagai dakwaan utama, dan pasal UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) sebagai dakwaan alternatif. Namun, pengadilan malah menggunakan UU PPMI sebagai yang utama. Padahal Syamsul sudah menyertakan bukti seperti pembayaran gaji yang tidak sesuai dan bahkan tidak dibayarkan. Apalagi ditambah fakta bahwa PT MJM beroperasi secara ilegal karena tidak memiliki Surat Izin Perusahaan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI), Surat Izin Perekrutan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dan Surat Izin Untuk Penempatan Perekrutan Awak Kapal (SIUPPAK).

Seharusnya Syamsul mendapatkan ganti rugi atau restitusi sebesar 148 juta Rupiah. Namun sudah dua tahun berselang, uang tersebut tidak kunjung diberikan. Malahan, kedua pelaku – Taufiq dan Totok, sudah dikabarkan bebas dan tetap bisa melakukan kerja sama dengan manning agency asing untuk merekrut dan mengirim nelayan migran asal Indonesia. Syamsul dan rekannya malah harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kembali paspor dan buku pelaut milik mereka yang sempat ditahan dan diminta sebagai bukti di Pengadilan.

Pemberantasan Perbudakan Harus Dijegal dari Awal

Kisah Syamsul hanyalah satu dari begitu banyak kisah ketidakadilan dan perbudakan di tengah awak kapal perikanan migran. Mereka pergi mengadu nasib untuk kehidupan yang lebih sejahtera, tapi justru tidak sedikit yang hidup bak di neraka. Selama ini, tindakan yang dilakukan hanya bersifat proaktif setelah adanya laporan atau aduan. Padahal untuk menyelesaikannya harus dimulai dari tindakan preventif di awal.

Pada akar rumput, KORAL berharap Pemerintah bisa bekerja sama dengan organisasi kemitraan maupun juga di lembaga-lembaga pendidikan hingga RT/RW untuk memastikan warga masyarakat, terutama di daerah-daerah lumbung AKP seperti di Jawa Tengah yaitu Tegal dan Pemalang. Mengapa sampai ke lembaga terkecil seperti RT/RW atau sekolah? Hal ini dikarenakan perekrutan ilegal dapat dilakukan secara personal; dari orang ke orang. Maka edukasi dan sosialisasi harus dilakukan sedekat mungkin ke kelompok masyarakat yang rawan. Sejalan dengan tema International Day for the Remembrance of the Slave Trade and Its Abolition tahun ini, kisah pilu para AKP Migran harus selalu disuarakan agar menjadi pengingat dan pembelajaran bagi masyarakat dan Pemerintah.  Mengutip Sekretaris Jenderal United Nations, dengan menceritakan sejarah perbudakan, diharapkan kita dapat membantu melindungi mereka yang terancam dan menjadi penyambung lidah keadilan sehingga para korban dapat kembali mendapatkan hak dan martabatnya. 

Penanganan perdagangan manusia sendiri sudah dideklarasikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN pada Mei 2023 yang lalu. Dengan deklarasi ini, secara tidak langsung negara-negara ASEAN didorong untuk memasukan agenda perlindungan AKP migran ke dalam kerangka kerja mereka. Ada beberapa poin kerjasama yang perlu diprioritaskan (IOJI, 2023); yaitu (i) pengawasan dan penegakan hukum, (ii) pertukaran  informasi terkait kasus-kasus AKP migran, termasuk kasus perdagangan manusia, dengan mempertimbangkan aspek privasi, (iii) penetapan standar kerja yang layak (decent work) di kapal ikan dan kesehatan dan keselamatan kerja di kapal ikan, (iv) akses terhadap keadilan, termasuk pemulihan hak bagi AKP migran, (v) repatriasi dan reintegrasi AKP migran, serta (vi) sertifikasi dan pengakuan atas kemampuan (skills) AKP migran.

Disisi lain, keadilan harus terus dikawal hingga dapat ‘bersandar ke pelabuhan keadilan’. Hal ini dikarenakan tidak sedikit ketidakadilan yang berhenti sesudah kasus diulas di Pengadilan. Contohnya saja kasus Syamsul diatas. Pemerintah harus memastikan mereka mendapat bantuan hukum yang memastikan usaha-usaha untuk mendapatkan keadilan diproses hingga maksimal. Mulai dari bantuan Pengacara yang mengerti kasus dan regulasi baik nasional maupun internasional terkait AKP Migran, hingga ke kerjasama antar negara untuk memastikan hukum berlaku bagi pelaku yang berasal dari negara lain. Rasanya aparatur penegak keadilan seperti Hakim dan Jaksa juga harus diberikan pelatihan berkala oleh Kementerian terkait mengenai regulasi-regulasi seperti Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Pemerintah juga dapat memastikan seluruh oknum terkait dari manning agency, mandor atau kapten kapal, hingga perusahaan kapal ikan tidak dapat merekrut atau mempekerjakan kembali AKP Migran asal Indonesia hingga kurun waktu dan evaluasi lebih lanjut yang dilakukan oleh Pemerintah. 

Untuk menghentikan perbudakan di laut yang berujung maut, banyak pekerjaan yang harus dilakukan di awal. Pemerintah dan masyarakat harus saling bahu membahu melawannya di awal dan bahkan dari akar rumput untuk memastikan kisah Syamsul, Didi, dan Almarhum Hasan serta ratusan korban lainnya tidak akan terjadi lagi.

***