Seperti yang diketahui, Presiden Joko Widodo pada 6 Maret lalu, resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan babak lanjutan PIT sudah dimulai. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengatakan bahwa saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang memikirkan turunan peraturan serta implementasinya ke daerah-daerah. “Kita harus memikirkan turunannya seperti apa, masukannya seperti apa, bagaimana sosialisasinya kepada para pelaku di daerah agar dapat bersinergi dengan pusat. Inilah yang menjadi hal penting dari berlangsungnya Rakernis DJPT ini,” ujarnya saat membuka Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT), 19 Maret 2023 yang lalu.
Ia mengungkapkan bahwa dengan adanya PIT berbasis kuota, nantinya pengelolaan perikanan akan membaik. Hal ini dikarenakan dalam satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sudah ada data berapa banyak jumlah nelayan, sarana dan prasarana lengkap, serta terjaminnya bahan bakar (BBM) solar subsidi bagi nelayan.
Agak miris jika kita membedah narasi yang diucapkan. Keberadaan nelayan di Indonesia sudah ada puluhan tahun, bahkan sejak negara ini merdeka. Namun butuh sebuah regulasi dan program yang melelang laut ke pihak asing, untuk kemudian membuat “nelayan Indonesia” lebih sejahtera. Seharusnya data komprehensif tentang jumlah nelayan, sarana dan prasarana lengkap, serta BBM bersubsidi, menjadi bare minimum atau hal-hal mendasar yang wajib diusahakan dan diadakan Pemerintah dengan ada atau tidaknya pihak asing dan investor yang masuk.
Selain itu, hal yang masih yang perlu dijadikan refleksi dan pengingat bagi para petinggi di KKP adalah lemahnya penafsiran dan identitas nelayan kecil. Pada PP PIT tidak disebutkan standar ukuran bagi kapal nelayan kecil. Tidak adanya standar ukuran dalam bentuk tonase akan membuat definisi nelayan kecil menjadi ambigu dan lemah disalahgunakan. Ambiguitas lainnya adalah definisi nelayan kecil dan nelayan lokal yang akan membatasi daya jelajah nelayan maksimal sejauh 12 mil.
Hal ini tentunya akan melemahkan proses identifikasi nelayan kecil yang nantinya akan menerima BBM bersubsidi. Lalu bagaimana kemudian Pemerintah akan menyalurkan BBM bersubsidi secara tepat sasar, jika kemudian mereka tidak dapat “mengenali” siapa nelayan kecil tersebut? Jangan sampai kemudian titik lemah ini justru menjadi gap yang mudah disenggol untuk melancarkan agenda-agenda pemerintah yang lain dan justru merugikan nelayan kecil.
Turunan dari regulasi PP PIT diharapkan bukan mendegradasi hak hidup dan hak mencari nafkah dari para nelayan kecil. Jangan sampai, fokus utama Pemerintah hanya melulu “mengelus-elus” dan memanjakan para investor dan aktor pemain besar di kancah kelautan dan perikanan, dan justru melupakan para pahlawan devisa negara – nelayan kecil.
***