BANJIR IUUF: MULAI DARI PENYELUNDUPAN BENIH LOBSTER HINGGA PENYU


BANJIR IUUF:
MULAI DARI PENYELUNDUPAN BENIH LOBSTER HINGGA PENYU

Pada bulan Mei, kita merayakan begitu banyak hari nasional yang mengingatkan kita akan kecintaan pada tanah air.  Namun agaknya bulan Mei tahun 2022 ini berbeda. Selain memperingati Hari Buruh di awal bulan, dimana kita terngiang akan ketidakadilan dan jauhnya kehidupan anak buah kapal (ABK) dari kesejahteraan, di awal-awal minggu bulan ini mimpi buruk itu terulang kembali. 

Deretan Kasus dalam Kurun Waktu 2 Minggu

05 Mei 2022, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Ditpolairud Polda Sumatera Selatan mengungkap tindak penangkap ilegal dan penyelundupan 158.000 ekor benih bening lobster (BBL) setelah sebelumnya mereka berhasil mengungkap upaya penyelundupan 506.600 ekor. Kepala Stasiun KArantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Palembang, Yoyok Fibrianto mengungkapkan bahwa dari hasil penangkapan tersebut berhasil diamankan 156.200 ekor BBL jenis pasir dan 2.600 ekor BBL jenis mutiara. Selain itu berhasil juga diamankan satu high-speed craft (HSC) atau kapal hantu dan 7 orang tersangka. 

06 Mei 2022, KKP berhasil menggagalkan aksi jual beli telur penyu yang dilakukan di Facebook oleh pemilik akun bernama “SDM”. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Laksamana Muda TNI Adin Nurawaludding mengatakan bahwa tim PSDKP Morowali berhasil mengungkap bahwa “AK” warga Desa Wosu, Kota Bungku, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah yang merupakan pemilik akun Facebook bernama ‘SDM’ telah ditetapkan sebagai tersangka jual beli online satwa dilindungi.

15 Mei 2022, KKP bersama dengan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan menggagalkan penyelundupan 30.911 BBL di Bandara Internasional Juanda Surabaya, Jawa Timur. Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Surabaya I, Suprayogi, mengungkapkan bahwa BBL tersebut akan diangkut memakai pesawat maskapai Scoot Tiger Air. Dalam pengungkapan ini terdapat 26.895 ekor jenis pasir dan 4.016 jenis mutiara. 600 diantaranya disisihkan petugas sebagai barang bukti di persidangan.

Kitab Hukum Perlindungan  Hewan Laut dan Realitanya

Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mengatur perlindungan hewan laut seperti penyu dan BBL. Untuk penyu, Indonesia memiliki beberapa peraturan seperti peraturan perundang-undangan Pasal 21 ayat (2) huruf E Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dan Peraturan Pemerintah (PP) No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa telah tertuang larangan aktivitas perdagangan penyu dalam keadaan hidup, mati, maupun bagian tubuhnya. Selain peraturan dalam negeri, peraturan internasional mengenai jual beli hewan dilindungi juga ada. Dalam regulasi Internasional, perlindungan terhadap telur penyu sebagai bagian tubuh dari penyu yang merupakan satwa liar yang dilindungi diatur dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yaitu perjanjian multilateral untuk melindungi tanaman dan hewan yang terancam punah. CITES disusun sebagai hasil dari resolusi yang diadopsi pada tahun 1963 pada pertemuan anggota International Union for Conservation of Nature (IUCN). Konvensi dibuka untuk ditandatangani pada tahun 1973 dan CITES mulai berlaku pada 1 Juli 1975. Konvensi yang saat ini memiliki 183 anggota ini bertujuan untuk melindungi satwa liar dan tumbuhan dari perdagangan internasional yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam kepunahannya. Sebagai hewan yang terancam punah penyu masuk ke dalam daftar Appendiks I, II, III yang secara dilarang untuk diperdagangkan karena populasinya hampir punah. Berikut ini isi dari ketiga Appendiks tersebut:

  • Appendiks I: Berisi daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional karena teracam kepunahannya.
  • Appendiks II: Berisi daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam kepunahannya bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan yang tegas. 
  • Appendiks III: Berisi daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks I atau Apendiks II.

Namun pada realitanya, perdagangan penyu ataupun telur penyu masih terjadi. Salah satunya yang diungkap pada sebuah Jurnal Penelitian bertajuk “Penegakan Hukum Terhadap Perdagangan Telur Penyu” yang dikeluarkan oleh Universitas Mulawarman pada tahun 2020.  Dalam penelitian itu disebutkan bahwa perdagangan penyu dan telur penyu dikarenakan masih adanya permintaan (demand) dari masyarakat untuk keperluan perdagangan bagian tubuh maupun koleksi hewan yang diawetkan dan adanya pemahaman di masyarakat bahwa telur penyu dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan stamina dan vitalitas sehingga keberadaan perdagangan telur penyu di kota Samarinda sampai saat ini masih bisa ditemukan dibeberapa kios yang menyediakan makanan khas di Kota Samarinda. Selain itu, menurut data WWF Pada tahun 2004, terdapat 403 penyu yang bertelur, kemudian menjadi 340 ekor pada tahun 2008, 224 ekor pada tahun 2009, 231 ekor di tahun 2010 dan 259 ekor pada tahun 2011.

Sementara untuk BBL, sejak kasus korupsi ekspor BBL yang dilakoni mantan Menteri KP Edhy Prabowo pada tahun 2020 yang lalu, Indonesia kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagai Perubahan UU No.45 Tahun 2009 dan UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 17 tahun 2020. Kedua peraturan ini memberikan ancaman pidana bagi para pelaku penyelundupan dan melarang kegiatan ekspor benur dengan ancaman pidana delapan tahun.

Di satu sisi, kita wajib mengapresiasi kinerja dari KKP dan sejumlah lembaga terkait lainnya dalam mengungkap dan menghentikan beberapa kasus penyelundupan hewan laut terlindungi seperti BBL dan Penyu. Kerja keras lembaga terkait dan kerjasama dengan masyarakat dan komunitas tentunya sangat dibutuhkan dalam mencegah perdagangan hewan-hewan dilindungi ini. Namun sepertinya, Pemerintah harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini hingga ke akarnya.

Tidak dapat dipungkiri, sama seperti konsumsi telur Penyu akibat masih adanya demand di masyarakat, penyelundupan BBL juga dikarenakan masih adanya demand baik di dalam negeri maupun di luar. Komoditas harga lobster bisa mencapai 1,5 juta Rupiah per kilogramnya dengan harga benih lobster berkisar paling murah di harga Rp2.500 untuk benih lobster air tawar hingga Rp20.000 untuk benih lobster mutiara. “Peluang” ini untuk sebagian orang menjadi “ladang emas” yang pastinya menggiurkan. 

Hal pertama adalah konsistensi upaya edukasi masyarakat, patroli/ pengawasan, dan penertiban di pasar ikan yang terduga menjadi pasar jual beli BBL atau hewan dilindungi lainnya maupun rumah makan yang diduga mengadakan menu hewan-hewan dilindungi seperti penyu atau sirip hiu. Pemerintah juga harus berjibaku dan bekerja sama dengan negara-negara tujuan ekspor seperti Singapura dan Vietnam contohnya. Kerjasama lintas negara ini dibutuhkan untuk merampungkan dua sisi – penjual dan pembeli, sehingga kejadian seperti ini tidak terulang lagi.  Kelengkapan dan kemampuan armada pun juga harus ditingkatkan dalam melakukan pengawasan dan penanganan. 

Salah satu contoh penanggulangan dan pencegahan kepunahan lobster yang baik telah dilakukan oleh Kabupaten Pangandaran. Pemerintah Kabupaten Pangandaran menolak adanya pembudidaya baby lobster di Kabupaten Pangandaran. Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Pangandaran (DKPKP) Dedi Surachman, mengatakan, tidak akan mengeluarkan izin untuk nelayan yang akan budidaya baby lobster (Detik.com, Mei 2022) dengan merilis Surat Edaran Tentang Penangkapan Lobster Nomor : 523/0409/DKPKP/III/2021 tertanggal 15 Maret 2021. Hal ini dikarenakan usaha budidaya ini justru akan  mengganggu ekosistem biota laut dikarenakan hilangnya salah satu rantai makanan dari keseluruhan ekosistem. Selain itu kerugian lainnya yang juga dirasakan adalah kelangkaan lobster berukuran besar yang siap tangkap.

******