PERANGKAP KERJA PAKSA DI KAPAL IKAN INDONESIA

Perangkap kerja paksa dimulai sejak gerbang perekrutan ilegal dibuka. Pada April 2022, Maruli, Anwar, dan puluhan orang lainnya yang akan menjadi Anak Buah Kapal (ABK) direkrut via media sosial dengan bersyaratkan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja. Diiming-imingi gaji Rp 12 juta (US$791) per bulan dan dijanjikan makanan, kopi, dan rokok selama bekerja di kapal, membuat para calon ABK ini tergiur dan melamar posisi tersebut. Ujung-ujungnya, mereka hidup di tempat penampungan sementara di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, dan seluruh aktivitas mereka dibatasi. Bukan hanya itu, selama menunggu pekerjaan pun, mereka tidak dibayar dan harus mengganti biaya selama berada di tempat penampungan.

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Pada 29 Mei 2022, mereka diarahkan dan dinaikkan ke kapal yang berlabuh di Pelabuhan Samudera Nizam Zachman, Jakarta. Kapal berbobot 130 GT itu, memperlihatkan tulisan KM Nudi III di badannya. Pada tanggal yang sama, kapal bergerak menuju tempat penangkapan ikan di Samudera Hindia dekat Sri Lanka. Total ada 38 ABK yang berada di atas kapal KM Nudi III. Kebanyakan dari mereka adalah ABK yang belum berpengalaman melaut atau menangkap ikan. Sebelum berangkat, Maruli dan kawan-kawan tidak mendapat pengarahan atau pelatihan apapun dari perusahaan maupun juragan. Selain itu, awak kapal penangkap ikan juga masih perlu mendapatkan kontrak kerja. Maruli dan ABK lainnya menanyakan hal ini pada hari pemberangkatan. Namun, bukannya mendapat kepastian, Maruli justru mendapat hinaan dan kata-kata kasar dari sang kapten. Tidak hanya itu, pemilik kapal juga tidak melakukan pemeriksaan kesehatan awak kapal untuk memastikan mereka dalam kondisi baik selama berlayar. 

Kondisi ini bertentangan dan tidak sesuai dengan yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, dan Penandaan Kapal Perikanan, serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan. Code of Conduct yang dimuat dalam Permen KP No. 33 Tahun 2021 tersebut mengatur syarat menjadi Awak Kapal Perikanan (AKP) harus memiliki buku pelaut, kompetensi, Perjanjian Kerja Laut (PKL), dan terdaftar di jaminan sosial.

Kondisi Kerja di Atas Kapal

Kondisi kerja di kapal juga jauh dari kata layak. ABK yang bekerja di KM. Nudi III mengatakan bahwa mereka makan seadanya, obat-obatan terbatas, tempat tidur seadanya, dan minum air putih yang berwarna kuning. Selama bekerja, para kru tidak pernah pergi ke darat. Selama kurang lebih delapan bulan, mereka bekerja mencari ikan untuk menjelajahi Samudera Hindia.

Selama melaut, hasil tangkapan akan dimuat ke kapal pengumpul untuk dijual di darat. Kapal pengumpul dan pengangkut kargo juga menyediakan logistik bagi awak kapal penangkap ikan, seperti beras, rokok, kopi, dan makanan lainnya. Ironisnya, fasilitas di atas kapal, seperti kopi, makanan ringan, dan rokok yang dijanjikan gratis kepada awak kapal penangkap ikan, malah dijadikan komoditas yang harus dibeli oleh ABK. Hanya beras saja yang tidak perlu dibayar. Kenyataannya berbeda dengan yang didapat Maruli di iklan lowongan kerja yang menyebutkan bahwa rokok, kopi, dan makanan ringan disediakan oleh pemilik kapal.

ABK biasanya akan berhutang terlebih dahulu untuk mendapatkan secangkir kopi, rokok, dan makanan ringan. Maruli menjelaskan bahwa kegiatan ini (biasanya disebut grosiran) merupakan usaha juragan dan perwakilan. Harga jual barang di atas kapal jauh di atas harga pasar normal. “Harganya naik. Satu bungkus rokok filter biasanya berharga Rp 21.000 (US$1,39), tetapi dijual kepada kru seharga Rp 25.000 (US$ 1,65). Kopi seharga Rp10.000 (US$ 0,66) per sachet tapi di kapal naik menjadi Rp20.000 (US$ 1,32) per sachet,” kata Maruli.

Fasilitas dan Kondisi Kerja ABK Kapal Penangkap Ikan di Kapal KM Nudi III. (Foto: DFW Indonesia)

Bukan hanya itu, kapten meminta ABK untuk menangkap ikan sebanyak yang mereka bisa selama istirahat. Jika ada anak buah kapal yang tidak mau melaut, maka perwakilan nakhoda tidak akan memberikan grosiran kepada anak buah kapal penangkap ikan. “Saya sering mengalaminya sendiri. Saya tidak memancing saat itu karena saya ingin istirahat lelah setelah mengangkat jaring. Tapi saat mau ambil grosiran, wakilnya malah memaki saya dengan kata-kata kasar lalu mencorat-coret badan saya dengan pulpen,” cerita Maruli.

Selain eksploitasi, para awak kapal juga mendapat tindak diskriminasi dan kekerasan. Selama atau di atas kapal Maruli, mereka sering mengalami intimidasi, kekerasan, bahkan ancaman pembunuhan. Pernah suatu hari seorang wakil kapten mendekatinya pada saat yang sama dan tiba-tiba memukulnya dan menendang wajah Maruli sampai berdarah. Setelah itu, Maruli diancam akan dibunuh oleh seorang wakil dengan senjata majelisnya. “Saya tidak tahu apa yang salah. Tiba-tiba saya dipukuli dan diancam akan ditembak dengan senjata rakitan,” kata Maruli. Mereka mengeluhkan jam kerja atau istirahat serta kondisi makan dan minum di atas kapal.

Air minum yang dikonsumsi para ABK diatas kapal berwarna kuning. (Foto: DFW Indonesia)

Untuk kebutuhan pangan yang menjadi hak mereka pun, jauh dari kata layak. Anwar menyebutkan, selama di kapal, mereka hanya makan ikan dan nasi setiap sarapan dan makan malam. Sayur yang menjadi sumber mineral dan vitamin jarang mereka konsumsi dan membuat mereka rentan terhadap penyakit. Air minum pun merupakan hasil sulingan air laut dan sering tercemar karat kapal karena disimpan di tempat yang tidak bersih. “Air yang berubah menjadi kekuning-kuningan terkontaminasi pipa palka yang berkarat,” kata Anwar. Ironisnya, ketika awak kapal penangkap ikan meminum air yang tidak layak, sedangkan nakhoda memiliki tempat penampungan air bersih yang khusus disimpannya di kapal.

Kerugian Terus Berlanjut Bahkan Pasca Berlayar

Sejak melakukan operasi penangkapan ikan selama delapan bulan terhitung sejak 29 Mei 2022, KM Nudi III akhirnya diterbangkan ke Pelabuhan Perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera Muara Baru Jakarta pada 20 Januari 2023. Total hasil tangkapan mencapai 400 ton. Setelah casting tangkapan selama beberapa hari, Maruli dipanggil oleh seorang pemuda. Maruli mendapatkan penjelasan mengenai rincian gaji yang akan diterimanya. Menurut perhitungan, pendapatan, dan utang selama delapan bulan bekerja, Maruli tidak menerima gaji, bahkan utang sebesar Rp 300.000. Untungnya, Anwar masih merasa lebih baik. “Mungkin karena saya menangkap lebih banyak ikan, saya masih diberi upah tunai Rp 9,8 juta,” kata Anwar.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan, pemerintah Indonesia belum sepenuhnya melindungi awak kapal ikan domestik. “Aturan pengurusan awak kapal penangkap ikan tidak memuat proses perekrutan dan pengawasan awak kapal penangkap ikan saat bekerja, padahal itu poin sensitif pelanggaran,” kata Abdi.

Detail slip nota yang dimiliki Maruli. Dapat dilihat di akhir, ada selisih jumlah pemasukan dan pengeluaran. (Foto: DFW Indonesia)

Akibatnya, perekrutan melalui banyak calo terjadi dan berkembang tanpa pengawasan sehingga menimbulkan kerugian bagi awak kapal ikan dan kemungkinan pemilik kapal atau perusahaan. Ia menyarankan agar regulasi tentang pengelolaan ABK dalam negeri harus dimutakhirkan dengan memasukkan aspek rekrutmen dan pengawasan ABK yang adil oleh Disnaker dan Perikanan Pusat dan Daerah.

Manager National Fishers Center, DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan selama Januari 2023, pihaknya menerima tiga pengaduan dari ABK kapal penangkap ikan dengan total 7 korban yang terindikasi menjadi korban percaloan yang berujung pada praktik kerja paksa, eksploitasi buruh. , dan bahkan perdagangan manusia. “Awak kapal penangkap ikan melaporkan kejadian tersebut dari Pelabuhan Perikanan Muara Baru Jakarta, pusat pendaratan dan distribusi ikan terbesar dan termodern di Indonesia,” kata Imam. Ia menambahkan, pada tahun 2022 ini jumlah pengaduan yang masuk NFC sebanyak 25 laporan, dengan total korban 86 orang.

***

Sumber Utama: Destructive Fishing Watch Indonesia